webnovel

Amarah Eros

Namara melangkah masuk melewati jalan sebelumnya diikuti oleh Elise. Ketika dia tiba di dekat tangga kebetulan ada pelayan yang baru masuk ke istana Bulan. Pelayan itu membawa dua kotak yang disusun atas bawah.

"Ah, kebetulan," ucap pelayan itu yang kemudian mendekati Namara.

"Nona, makan siang sudah siap," katanya.

Namara hendak menerima sendiri, tetapi Elise sudah terlebih dahulu mengambilnya. "Terima kasih," ucap Elise. Pelayan itu hanya tersenyum dan berbalik pergi.

Hattchhii!

"Kenapa di istana Bulan tidak ada dapur sendiri?" tanya Namara dengan suara sengaunya. Dia sudah tidak peduli lagi dengan bersinnya.

"Sebenarnya di sini juga ada dapur. Namun, karena Tuan Eros tidak selalu ada di istana jadi dapur itu nyaris tidak terpakai," terang Elise.

"Jadi kalian menerima makanan dari dapur istana utama?" Elise mengangguk.

"Bukankah itu merepotkan? Ngomong-ngomong di mana dapur itu?" tanya Namara sambil berjalan menaiki tangga. Dia berpura-pura menanyakan itu dengan asal.

"Itu … sedikit sulit dijelaskan. Nona tahulah istana ini sangat luas. Jika aku menjelaskan mungkin Nona tidak akan bisa memahaminya."

Balasan Elise cukup mengecawakan Namara. Dia sudah sangat ingin tahu di mana letaknya. Kemudian dia bisa menyusup ke dapur dan meracun makanan mereka semua.

Hahaha, ide itu kedengarannya sangat sederhana dan sepele. Namun, Namara tahu untuk mencapainya dia butuh banyak usaha dan waktu.

Namara berhenti di depan ruangan luas yang ada di seberang kamar. Dia duduk di kursi yang ada, lalu Elise membukakan kotak yang berisi makan siang.

Beberapa piring berisi makanan yang berbeda ditempatkan di atas meja. Di antara makanan itu ada sepotong bebek panggang yang mengeluarkan aroma anggur.

Melihat makanan itu membuat dia teringat dengan ayahnya. Dulu ayahnya sangat suka bebek yang sebelum dipanggang direndam terlebih dahulu dengan anggur. Aromanya sangat autentik.

Elise mengambil air cuci tangan dan memberikannya pada Namara. Sebenarnya harus diakui di sana Namara mendapatkan perlakuan baik dari para pelayan. Setidaknya mereka tidak kejam seperti yang dia bayangkan.

"Nona, makanlah. Setelah ini kau harus beristirahat untuk memulihkan diri," ucap Elise.

Namara baru saja akan mencomot bebek panggang ketika tiba-tiba mendengar suara langkah kaki dari ujung tangga. Dia refleks menoleh dan langsung melihat pria itu, Eros bersama dengan Lyco.

Perasaan Namara menjadi tidak enak. Apalagi ekspresi kedua pria itu terlihat cukup muram dan dingin. Jangan bilang kalau dia sudah tahu tentang pertemuannya dengan Leor?

Namara dan Elise saling memandang. Sejujurnya mereka berdua merasakan hal yang sama. Gusar dan cemas.

Eros menghentikan langkahnya tak jauh dari Namara. "Apa kau baru saja menemui Leor?" Suaranya terdengar dingin, tidak ramah dan … Namara bisa merasakan amarah di dalamnya.

"Tuan—"

"Tuan, itu Tuan Leor yang meminta agar Nona datang menemuinya. Itu bukan salah Nona," sambar Elise yang langsung memotong ucapan Namara.

"Dan kau mengizinkannya pergi?" Eros menatap dingin pada Elise. "Bukankah kau sudah tahu aturan yang berlaku di sini?!"

Tubuh Elise sedikit gemetar. Dia langsung berlutut di lantai dengan perasaan takut. "Tuan, maafkan aku."

Eros mendengkus. "Lyco, beri dia hukuman yang pantas!"

Dia sudah pernah memperingatkan para pelayan agar tidak pernah berhubungan dengan Leor. Namun, hari ini Elise sendiri mengantarkan Namara menemui pria itu. Dia tidak pernah menoleransi kesalahan seseorang.

"Baik!"

"Tuan, jangan, kumohon! Aku tidak mungkin menolak permintaan Tuan Leor. Dia adalah … calon kepala klan." Elise mencoba memohon dan meminta pengertian, tetapi Lyco tetap menyeretnya pergi.

Namara menggigit bibirnya dengan perasaan bersalah. "Dia tidak bersalah, Tuan. Seharusnya aku yang dihukum," lirihnya.

Eros langsung menatap Namara dengan dingin. "Kau pikir kau tidak akan dihukum?" Setelah itu dia langsung menyeret Namara ke kamar.

"Aku sendiri yang akan menghukum budak seks yang melakukan kesalahan!" desisnya.

Namara meringis ketika Eros mencengkeram pergelangan tangannya. Rasanya seperti pria itu mengerahkan banyak kekuatan untuk meremukkan pergelangan tangannya.

Dia mencoba meronta, tetapi Eros tidak memedulikan sama sekali. Pria itu benar-benar menakutkan jika sedang marah.

Brakkk!

Eros menutup pintu dengan kasar lalu melempar Namara hingga tersungkur ke lantai. Dorongan itu terlalu keras hingga tanpa sengaja pelipis Namara membentur tembok marmer.

Kepalanya langsung terasa pusing. Tangannya bergerak memegangi kepalanya. Bisa dirasakan ada sesuatu yang lembab di sana. Ternyata pelipisnya berdarah.

"Apa kalian berkomplot?" tanya Eros dengan penuh penekanan. Dia bahkan tidak peduli dengan luka Namara.

"Tidak," balas Namara. Dia menggertakkan gigi menahan amarah yang menjalari hatinya.

"Lalu untuk apa dia ingin bertemu denganmu?!" bentak Eros.

Namara menahan napasnya. Sekarang dia semakin yakin antara Eros dengan Leor pasti memiliki konflik tersembunyi. Namun, saat ini dia tidak bisa banyak berpikir. Tubuhnya tidak keruan, kepalanya juga pusing.

"Benar-benar tidak berguna!" Eros mengangkat tangannya lalu cambuk perak langsung muncul.

Refleks Namara bergidik melihat itu. Tubuhnya langsung menyusut ke tembok. Wajahnya menjadi semakin pucat saja.

"Kau pernah dicambuk Verna, tetapi kau belum pernah merasakan bagaimana cambukanku," ucap Eros dengan nada yang lebih pelan.

Tubuh Namara menjadi tegang. Dia menggeleng beberapa kali. Tidak, dia tidak mau dicambuk. Rasa sakit bekas cambukan dulu masih membekas di benaknya dengan sangat jelas.

"Tuan, tolong maafkan aku. Aku berjanji … tidak akan menemuinya lagi," pinta Namara. Terdengar getaran dalam suaranya. Dia jelas merasa takut.

Sayang sekali Eros tidak sebaik itu. Dia mengangkat tangannya dan suara cambukan yang sangat keras langsung bergema bersamaan dengan jeritan Namara yang memilukan.

"Kau tahu apa salahmu sekarang?!"

Cetteerr!

Sekali lagi Namara merasakan sengatan rasa sakit. Garis merah langsung tercetak di pakaiannya. Dia tidak tahan untuk menjerit. Itu benar-benar puluhan kali lebih sakit dari cambukan Verna.

"Aku berjanji … tidak akan menemuinya lagi." Namara mengulang kata-katanya.

Eros berjalan mendekati Namara lalu menyeretnya naik ke tempat tidur. "Kau tidak akan mengerti jika tidak mendapat hukuman," ucapnya. Matanya masih dingin, pertanda bahwa kemarahan masih menguasainya.

Namara menjadi semakin takut. Pria itu belum mau menghentikan hukumannya. Kemudian dia melihat Eros yang merobek pakaiannya dengan kasar. Sekarang dia mulai ditelanjangi.

Eros kembali mengangkat cambuknya dan Namara hanya bisa memejamkan mata dengan takut. Sekali lagi cambukan yang menyakitkan menghantam kulitnya yang telanjang.

Sekali ….

Dua kali ….

Tiga kali ….

Namara menjerit keras. Suaranya menggema di seluruh kamar. Air mata menetes membasahi kedua pipinya. Namun, itu adalah kesalahan.

"Jangan menangis di hadapanku!" bentak Eros. Itu adalah peraturan yang sudah pernah Eros katakan.

Akhirnya Namara menghentikan tangisannya. Perlahan dia mengusap air mata. Benar, dia tidak bisa diam dan pasrah seperti ini.

Dia harus berpikir …. Dia harus berpikir.

Eros hendak mencambuk lagi. Pada saat itulah Namara segera mengangkat tangan untuk menghentikannya.

"Tolong, ber … henti. Aku mengerti, Tuan memiliki perselisihan dengan Tuan Eros. Iya …, kan?" tanya Namara dengan sedikit takut.

Benar saja. Eros langsung menghentikan cambukannya. Kemudian pria itu menatap Namara dengan curiga. "Kau berkomplot dengannya?" Dia mendesis.

Próximo capítulo