webnovel

Sedikit canggung

Setelah akhirnya Khanza berhasil menghabiskan sepiring makanan yang di sediakan oleh ibu nya tadi, dia merasa kekenyangan hingga keluar keringat. Sepertinya sang ibu sengaja menambah porsi makannya karena dia tidak mau makan sejak jatuh sakit.

"Hah, rasanya kenyang sekali." Ujar Khanza menghela nafas sesak sembari bersandar di kepala sofa. Dia memang sangat kekenyangan.

"Kau makan sangat banyak, anak pintar." Ucap pak Gibran mengelus lembut rambut Khanza di ujung kepalanya.

"Cih, memangnya aku anak kecil." Balas Khanza menepis pelan tangan pak Gibran. Membuatnya terkekeh-kekeh menahan tawa akan sikap Khanza yang demikian.

"Wah, makanannya sudah habis. Hmm... Jadi apa harus menunggu pak guru mu datang dulu baru akan makan?" Ibu Khanza keluar kembali dari arah dapur. Dengan gugup pak Gibran merubah posisi duduknya untuk sedikit jauh dari Khanza. Ibu Khanza memperhatikan sejenak dengan mengerutkan keningnya. Namun dia berusaha menepis dengan apa yang kini di pikirkannya.

"Eh, bu. Ehm, tugas saya sudah selesai. Sepertinya saya harus segera pulang, Khanza sudah makan sangat banyak dan meminum obatnya." Pak Gibran menyapanya lebih dulu dari Khanza untuk menutupi kegugupannya.

Khanza meliriknya kemudian dengan sengit, dalam hati Khanza menggerutu. Baru juga sampai disini sebentar, sudah akan pergi kembali. Dia belum puas menatap sosok yang dirindukannya namun membuatnya kesal juga setelah beberapa hari. Niatnya yang sudah dia pikirkan matang-matang untuk memilih melepaskan diri saja, kini tidak lagi muncul di benaknya.

"Tuh, lihat. Bahkan tatapannya sudah sangat tajam dan kuat di banding tadi, bu. Hihihi," ucapnya lagi meledeki Khanza.

Ibu Khanza tersenyum menggelengkan kepalanya. Lalu pak Gibran beranjak berdiri hendak pulang, karena dia merasa jika tatapan ibu Khanza kali ini penuh dengan pengawasan. Seolah dia sudah mulai cemburu akan hubungannya dengan puterinya, Khanza.

Akhirnya pun Khanza mengangguk paksa setelah pak Gibran berpamitan untuk segera pulang. Tak mungkin rasanya jika Khanza bersikeras menahannya untuk tetap berada dirumah Khanza. Terlebih lagi jika Arumi sampai melihatnya. Kakaknya begitu jeli dalam urusan hal ini, sudah tentu akan membuatnya berada dalam masalah besar dengan berbagai macam pertanyaan yang mengintrogasinya.

Malam pun datang, Khanza lebih memilih diam di kamar dengan berselimut menutupi tubuhnya. Sembari mengutak atik ponselnya, dia sedang berbagi cerita tadi pada Chika sahabatnya.

Tak lama kemudian ibu Khanza memasuki kamarnya setelah mengetuk pintu kemudian. Khanza menolehnya sebentar lalu fokus pada ponselnya lagi. Setelah di tahunya sang ibu membawa makan malam untuk nya.

"Ayo, makan malam dulu." Ucap ibu Khanza yang kemudian duduk di sisinya.

"Bu, Khanza masih sangat kenyang. Makan siang tadi sangat banyak, aku hampir sesak nafas karena sangat kekenyangan."

Mendengar puterinya berkata demikian sembari jemarinya mengutak atik keyboard ponselnya. Ibu nya menyipitkan kedua matanya menatap wajah puterinya itu, Khanza menyadarinya. Tapi dia tetap berpura-pura acuh. Dia tahu ibunya pasti akan memaksanya.

"Hmm.. Apakah ibu harus menemui pak guru Gibran lagi nih, supaya kau mau memakan habis makan malam yang sudah ibu bawakan ini?" Goda sang ibu. Dia ingin memastikan ekspresi Khanza saat ini. Benar adanya, Khanza lalu menghentikan jari jemarinya yang sejak tadi meliuk-liuk menekan tombol di ponselnya. Sikapnya sedikit gugup dan salah tingkah, wajahnya sedikit memerah.

"Ah, ibu. Jangan menggoda ku, aku dan pak Gibran tidak ada hubungan apa-apa. Kami hanya sebatas guru dan murid, itu saja." Jawab Khanza dengan gugup. Dia berusaha tetap tenang meski gerakan bibirnya bisa terbaca oleh sang ibu.

"Hei, ibu hanya bercanda saja. Mengapa kau begitu gusar?" Tanya ibu nya lagi.

"Ada apa? Hmm... Apakah si manja yang menyebalkan ini buat ibu kesusahan lagi?" Kali ini Arumi tiba-tiba memasuki kamar Khanza. Dengan sigap Khanza memberikan sebuah isyarat pada ibunya.

"Eh, apa itu? Kenapa kalian saling menatap hah? Dan kenapa kalian tiba-tiba diam saat aku masuk. Padahal sejak tadi kalian berdebat capres." Ujar Arumi kembali dengan menaikkan nada suaranya.

"Yeee.. Apaan sih kak, aku dan ibu hanya bercanda saja. Sebab dia memaksaku untuk makan malam, padahal aku masih kenyang."

Jawab Khanza menoleh ke arah kakak nya, Arumi. Dia tak ingin kakak nya mulai curiga dan berpikir jauh.

"Hem, baiklah. Jangan banyak makan jika kau masih kenyang, nanti kau gendut." Balas Arumi dengan cetus, lalu menghempaskan tubuhnya duduk di sisi Khanza. Bersebrangan dengan sang ibu yang telah lebih dulu duduk di sisi Khanza.

"Ngapain kakak kesini? Aku mau tidur. Sedang tidak ingin di ganggu."

"Ih, songong. Kakak hanya ingin memastikan apakah kau sudah pulih atau belum, tapi sepertinya kau sudah sembuh. Wajahmu sudah tidak pucat lagi, nih. Kakak bawakan snack kesukaan mu." Ujar Arumi dengan nada galak.

Walau begitu dia tetap perhatian dan peduli pada sang adik, lalu dia memberikan satu kresek cemilan kesukaan Khanza. Dengan mata melebar dan senyuman sumringah Khanza menatapnya. Dia begitu senang mendapat banyak cemilan dari sang kakak.

"Hmm.. Kalau begini, aku mau sakit aja terus. Jadi kakak akan selalu membawakan aku banyak snack, hehe." Ucap Khanza tertawa nyengir lalu membuka dengan cepat satu bungkus snack kentang rasa BBQ.

"Hei, jangan terlalu banyak nyemil. Kau baru pulih dari demam, nanti kau panas lagi." Bantah sang ibu meraih satu kresek snack di depan Khanza.

"Iih, ibu. Berikan padaku, aku tidak akan memakan semuanya. Aaaah, ibu." Khanza merengek manja pada ibunya di depan Arumi. Kemudian Arumi mentertawai adiknya itu, sang ibu pun tak mau tahu. Dia bawa kembali snack ringan yang di bawakan oleh Arumi ke luar kamar dan kini hanya tinggal Arum dan Khanza saja berdua.

"Kakak. Ih, kakak sih. Kenapa memberinya di depan ibu, jadi di rampas kan." Decak Khanza pelan, seraya memanyunkan bibirnya.

"Sudahlah, nanti akan kakak belikan lagi. Lagian itu bukan dari kakak, itu dari... Ehm, Denis. Hehe, tadi dia dan Dirga datang ke tempat kerja kakak. Denis sangat cemas mendengar kau sakit, jadi dia sengaja membelikan snack tadi. Baik kan dia? Hehe."

Seketika Khanza melotot menatap Arumi dengan mulut menganga yang masih berisikan snack yang di kunyahnya tadi. Dia pikir Arumi lah yang membelikannya, tapi nyatanya dari seorang laki-laki yang pernah menyatakan perasaannya padahal itu adalah malam pertama dia bertemu dengan nya.

"Cih, ambil saja. Aku tidak mau memakannya lagi." Dengan kesal Khanza menyodorkan snack itu pada Arumi. Membuat Arumi kesal dan memelototinya marah.

"Kamu ini. Kenapa sih? Denis itu baik. Dia tidak seperti mantan mu Jordi, yang breng*** itu. Denis anak baik, dia juga sopan." Bela sang kakak memuji Denis. Kemudian Khanza berbaring kembali menarik selimut hingga menutupi kepalanya. Dia tahu jika kakaknya begitu gencar ingin menjodohkan Khanza berpacaran dengan Denis adik Dirga, pacar kakaknya itu.

"Eeh, Za. Kakak lagi ngomong," bentak Arumi menarik-narik selimut Khanza agar terbuka kembali untuk melihat wajah Khanza yang ka sembunyikan saat in membelakangi sang kakak.

"Aduuuh. Kakak, jangan menariknya lagi. Aku mendadak kedinginan, aku mau istirahat. Keluar aja sana!" Jawab Khanza mengusir cetus Arumi.

"Ih, anak ini. Kakak belum selesai ngomong, Za." Arumi pun tak mau kalah, dia masih menarik-narik selimut Khanza.

"Aaaaaakh, kakaaaak. Bisa gak, jangan maksa. Aku dan Denis baru kenal, jangan memintaku untuk menerimanya jadi pacar." Bentak Khanza kemudian setelah dia membuka kembali selimutnya dengan kasar. Arumi terkejut mendengar Khanza berkata dengan nada marah demikian.

"Cih, dasar. Hah, baiklah. Kakak keluar, istirahatlah. Kakak hanya ingin meyakinkan saja, jika Denis itu cowok baik-baik. Kau tidak akan menyesal memilihnya jadi pacar."

"Tauk ah." Jawab Khanza membalik badannya lagi. Dia sunggub tampak kesal dengan sikap kakaknya itu, yang mulai memaksanya untuk menerima Denis. Sementara dalam hati Khanza detik ini masih terukir indah nama pak Gibran. Dengan hubungan yang terlarang sebagai selingkuhan.

Próximo capítulo