"Kak, ayo pulang!" dengan tergesa-gesa Khanza mengajak sang kakak untuk segera pulang detik ini juga, sedangkan sang kakak masih dengan penuh pengkhayatan menikmai hidangan didepannya. Makanan di kafe tersebut sungguh enak, jadi wajar saja jik banyak sekali pengunjung yang datang.
"Eh? Pulang? Ya ampun, Za. Ini baru jam berapa, kakak masih kangen sama pacar kakak." Jawab Arumi dengan wajah memelas menatap sang adik, berharap dia mau mengurungkan niatnya untuk segera pulang.
"Kalo kakak masih ingin disini, aku pulang duluan." Jawab Khanza cetus sembari menarik tas gandengnya di kursi.
"Eeeh, iya-iya. Tunggu sebentar, ehm.. itu.. makananmu belum habis kan, mubadzir. Gak boleh buang makanan begitu," bantah Arumi kembali.
"Ehm, adik manis. Kenpa buru-buru begitu, kita baru ketemu kan. Ayo habiskan dulu makanannya, atau… kau mau menambah lagi? Kakak akan traktir." Ujar Dirga mencoba merayu.
"Heh, traktir? Bukankah daritadi kita makan karena di bayar oleh sesorang?" Jawab Khanza cetus.
"Za!!! Apaan sih?" Arumi membentaknya seketika saat di dengar sang adik tiba-tiba bersikap cetus setelah dari ruang toilet. Di tatapnya dengan tajam sang adik, begitupun Khanza yang tak mau kalah menatap tajam ke arah sang kakak.
"E,eh… baiklah, baiklah. Ayo kita pulang saja, masih ada lain waktu untuk kita dinner kembali sperti ini. Mungkin kafe ini kurang cocok untuk Khanza, jadi biar nanti kami akan mencari kafe yang lebih pas dan cocok." Kali ini Denis yang ambil alih berbicara, untuk meredakan peperangan bathin diantara kedua kakak beradik itu.
"Hem, ok. Kita pulang saja, ayo yank. Sudah jangan merah lagi pada adik Khanza, ayo kita keluar bersama." Ajak Dirga merangkul lengan Arumi, dia menurutuinya untuk keluar bersama lebih dulu. Sedangkan Denis masih setia menunggu Khanza untuk keluar bersama menyusul Arumi dan Dirga.
"Khanza, maafkan aku ya." Denis mencoba mengajak Khanza berbicara untuk lebih akrab. Karena dalam hati Denis seja tadi, dia mulai jatuh cinta pada pandangan pertama sejak perkenalan tadi dia selalu diam-diam memperhatikan Khanza.
"Eh? Maaf? Untuk apa? Aku tidak sedang marah padamu. Maaf jika sikapku menyinggung mu."
"Tidak, aku hanya merasa jika mungkin kau tidak nyaman dengan sikapku yang terus saja memperhatikanmu sejak tadi." Jelas Denis menghentikan langkah Khanza sejenak.
Hem, ya, itu salah satu yang membuatku juga ingin segera pulang. Karena kau selalu menatapku sejak tadi, itu membuatku tidak nyaman. Hati Khanza menggerutu dengan kesal. Lantas Khanza kembali mempercepat langkahnya untuk keluar dari kafe dan menyusul Arumi yang sudah menghilang dari pandangan Khanza.
Tanpa Khanza sadari, di dalam kafe pak Gibran melihatnya tanpa sengaja. Hingga membuatnya sampai mendongakkan kepalanya untuk membenarkan bahwa yang dilihatnya memang benar Khanza. Dlam hati pak Gibran bertanya-tanya.
"Ya, benar. Itu Khanza, tapi siapa laki-laki itu? Dia terus menatap Khanza dengan lekat." Tanya pak Gibran dalam hati.
"Ada apa, Pa?" tanya Bianca, istri pak Gibran. Sembari dia ikut mendongakkan kepalanya mengikuti gelagat suaminya menatap lurus ke arah pintu masuk kafe ini.
"Eng, tidak ada apa-apa sayang." Jawab pak Giban kikuk namun berusaha dia sembunyikan rasa penasarannya di balik senyuman yang ia lempar pada istrinya. Dengan polos nan lugu istrinya membalas senyuman itu, tanpa rasa curiga sedikitpun.
Sementara saat tiba di halaman luar, Denis kembali menghentikan langkah Khanza dengan menarik lengan Khanza lembut.
"Za, aku…"
"Apa lagi?" tanya Khanza dengan nada cetus. Membuat Denis gusar menggaruk-garuk daun telinganya berulangkali.
"Cepetan ngomongnya, ah." Ujar Khanza kembai menaikkan nada bicaranya.
"Bolehkah aku menjadi pacar mu?" Denis melontarkan kata itu dengan sangat tegas.
"Apa? Bisa kau ulangi ucapanmu itu?" Khanza ingin mencoba meyakinkan apa yang di dengarnya barusan.
"Aku ingin menjadi pacarmu, Za." Ujar Denis mengulang ucapannya dengan tegas. Sontak saja Khanza tertawa terbahak-bahak di depan Denis, membuat Denis kebingungan melihat sikap Khanza yang demikian.
"A,apa terdengar lucu?"
"Ups, sory Nis. Kau ini sungguh lucu, atau kau memang sudah biasa begini jika bertemu dengan wanita yang baru kau kenal?" Kini mimik wajah Khanza berubah sedikit judes menatap wajah laki-laki yang baru saja menyatakan perasaannya itu.
"Maksudmu aku ini Playboy, begitu?"
"Ucapanmu barusan menilaimu demikian. Ah, sudahlah. Aku akan berpura-pura tidak mendengarnya." Dengan sikap acuh Khanza beranjak pergi melewati Denis yang sedang berdiri tegak di depannya kini.
"Aaakh, menyebalkan. Dari awal aku sudah menduganya jika kakak pasti sudah merencanakan hal ini sejak lama. Dia pikir aku tidak memiliki cowok saat ini." Ucap Khanza menggerutu sendiri sembari berjalan namun tiba-tiba saja kembali dia tersadar satu hal, hatinya kembali merasakan pedih yang entah di sebabkan karena apa.
"Yah, aku sudah memiliki pacar saat ini bukan? Pa-car. Apakah itu pantas untuk di sebut pacar?" Khanza menarik nafasnya dalam-dalam dan menyeka air matanya. Lalu kemudian dia melihat ke kanan dan ke kiri untuk mencari dimana sosok sang kakak, bahkan ini sudah sampai di depan motor bututnya yang terparkir sejak tadi. Pada akhirnya dia mendengar suara sayup tawa nakal dan manja dari arah mobil yang tak jauh di depan sana, Khanza mengenali betul suara itu, itu adalah suara sang kakak yang sudah bisa di pastikan jika sedang melepas hasrat pertemuan singkat malam ini.
"Kakaaakkk!!!" teriak Khanza dengan sengaja. Dan beanr saja, tak lama kemudian Arumi dan Dirga muncul dari balik mobil itu. Tampak sedikit berantakan baju yang di pakai oleh sang kakak malam ini. Dengan kedua mata yang menatap tajam kembali wajah Khanza, sang kakak berjalan dengan decakan menghampiri Khanza.
Sementara Denis sudah menyusul dengan berdiri menundukkan kepala di belakang Khanza.
"Awas saja kau sampai dirumah!" dengan menunjuk kearah Khanza, sang kakak mengancam.
"Yank, aku pulang dulu ya. Hati-hati kalian mengemudi, kabari aku sampai dirumah. Denis, terimakasih ya adik ipar yang baik."
"Eh, ehm… sama-sma kakak cantik. Hati-hati di jalan." Jawab Denis seraya melirik ke arah Khanza yang membuang wajah lebih dulu.
Lantas mereka beranjak pergi tanpa sedikitpun Khanza menolek kearah mereka. Dengan sedikit kasar Khanza menaiki motor butut yang sudah di nyalakan oleh sang kakak. Dengan sengaja Arumi mengendarai pelan motor itu, karena berniat untuk mengajak bicara sang adik dahulu.
"Katakan pada kakak, ada apa dengan mu tadi?" tanya Arumi dengan sedikit menekan nada bicaranya.
Khanza masih terdiam tanpa kata, pikirannya masih terbayang wajah pak Gibran yang terlihat bahagia dengan keluarga kecilnya. Itu membuat perasaan Khanza campur aduk hingga mulutnya menjadi bungkam seketika.