Ana mearih kerangka besi disampingnya. Bola matanya beralih pada derasnya air sungai yang mengalir tepat dibawahnya.
Suara rintihan terdengar ketika ia mencoba untuk bangkit dari kursi rodanya.
Tangan Ana bergetar. Sebutir air mata mengalir pelan dipipi lembutnya sebelum terjun dan berbaur dengan lingkungan sungai yang keras dan kumuh.
Inilah jalan terbaik yang ia pilih. Berbulan - bulan ia bahkan tidak bisa menemukan sesuatu yang dapat membuatnya tertawa. Mungkin memang tak sepantasnya ia hidup didunia ini.
Ana menghela napasnya untuk yang terakhir kali. Ia memejamkan kedua bola matanya lalu melepaskan kedua tangannya yang mencengkram kuat kerangka besi tersebut.
Telinganya menjadi tuli dan berdenging kencang. Matanya memerah, air mata itu terjun bebas bersamanya. Angin menabrak tubuhnya yang tengah tertarik kencang oleh gaya gravitasi bumi.
Aliran air deras itu sudah siap melahap tubuh mungil Ana dan menghanyutkan cairan merah pekat yang tak sedikit nantinya.
"Aku tau, kamu suka buku kan" tebak Nando. Tak mendapat jawaban apapun dari lawan bicaranya yang asik berkeliling.
Ana menebarkan penglihatannya, mengambil salah satu buku yang menarik perhatiannya lalu membaca blurb.
Nando mengulurkan tangannya panjang untuk meraih tali berwarna merah yang melayang - layang terikat pada pakaian Ana.
"Ana !!" pekik Nando ketika tangannya tak dapat meraih tali merah tersebut. Ana tersenyum kecut menatap Nando dari bawah sana.
"Bagus kok sayang" jujur Reno, ia mengelus puncak kepala Ana.
"Ayah tunggu di bawah ya" pesan Reno lalu meninggalkan putrinya yang masih terdiam memandang punggungnya.
Butiran air mata melayang bersamanya. Walaupun ia selalu mendapat perlakuan pahit dari orang - orang sekitar. Itu malah membuatnya bersyukur saat mendapat perlakuan baik dari beberapa orang.
"Apa kamu nggak terlalu keras sama Ana ?" tanya Reno menatap Fana yang melamun kearah jendela.
Fana menarik napasnya. Membiarkan udara malam masuk ke paru - parunya dan menyegarkan hatinya.
"Justru aku begitu, karena aku sayang sama Ana, mas" jawab Fana beberapa saat kemudian.
Ana kembali memejamkan matanya. Membaringkan kepalanya di udara. Suara teriakan Nando masih bergema ditelinganya.
"R-Riko, kita bisa jadi teman kok" lirih Ana hati - hati. Riko yang membelakanginya, mengerutkan kening lalu menoleh kebelakang.
Mereka terdiam beberapa saat. Dengan wajah datar yang tak dapat ditebak, Riko menaruh salah satu kakinya di bibir kursi roda. Ia tersenyum tipis sebelum kakinya menendang kencang kursi roda itu hingga terpental kebelakang.
"Najis..." gumam Riko, ia kembali berkutat dengan obrolan teman - temannya yang sempat terhenti dan melongo melihat perlakuan Riko terhadap Ana.
Panas menjalar di punggung Ana secara perlahan. Air pun merambat perlahan tapi pasti.
Sebuah batu menghantam keras punggungnya. Mencemari air cokelat itu dengan darah merah.
Sebuah rintihan untuk terakhir kalinya terdengar dari bibir pucatnya. Dengan mata yang masih terpejam, dan darah pekat yang sudah membanjirinya. Sebuah air mata menetes untuk terakhir kalinya.
Sebuah mata kebahagiaan yang dinantikannya.
Sebuah air mata yang menuntunnya pada tempat yang seharusnya.
Gadis tak berdosa itu tergeletak di sela - sela aliran sungai yang deras.
🌠
"T-tante mau minta maaf. Nando" sesal wanita paruh baya yang dipenuhi air mata itu.
Nando tersenyum tipi. Ia mengelus pundak wanita berpakaian serba hitam tersebut lalu pergi melewatinya.
🌠
Terimakasih. Terimakasih untuk kisah yang sangat menginspirasi hidupku. Terimakasih atas sejuta kisah yang dapat menjadi pelajaran.
Dimulai dari Lisya, yang rela berkorban untukku.
Sampai Ana. Apa tujuan tuhan memberikan ku sejuta kisah mengerikan itu ? Untuk menyiksaku dan menyadarkan diriku agar ikut pergi bersama mereka ? Awalnya kupikir begitu, tapi sepertinya mereka pergi bukan untuk menyiksaku. Mereka pergi untuk menolongku.
Untuk menyadarkanku, untuk membuatku menjadi Nando yang lebih baik. Begitu banyak keajaiban di dunia ini. Saat aku berpikir Lisya datang kembali dan menyesali perbuatannya.
Seharusnya aku tidak menangis. Seharusnya aku tersenyum ketika melihat mereka datang, mengarahkanku pada jalan yang lurus. Mereka pergi bukan karena mereka buruk. Mereka pergi karena mereka baik.
Pertanyaan legendaris yang belum terpecahkan olehku bertahun - tahun. Mengapa orang - orang baik seperti mereka harus pergi lebih cepat ? Kisahku sudah cukup membuatku sadar. Bayangkan kita berjalan - jalan di taman. Menemukan deretan bunga yang beragam.
Bunga mana yang kamu petik terlebih dahulu ? Bunga mana yang kamu ambil terlebih dahulu ?
Bunga mana yang kamu renggut terlebih dahulu ?
Nando menutup notebooknya. Ia bangkit dari kursi panjang taman. Tangannya memetik setangkai bunga berwarna ungu nan indah.
Ia menarik sudut bibirnya tipis.
***
Written by Naufal Reswara.
No casting
Cerpen sedih
Cerpen sad ending
Cerpen menginspirasi
Analisya
Finished april, 25 2020