webnovel

Sarang Ular 2

Laki-laki itu tidak mengenakan pakaian, hanya celana sebatas lutut yang sudah usang, kulitnya putih pucat seperti warna kulit vampir, dia tidak gemuk dan tidak kurus, badannya biasa saja, seperti perawakan anak remaja, tidak menonjolkan otot yang berlebihan seperti Morgan, rambutnya hitam lurus, terlihat sekali jika habis dipotong, matanya berwarna keemasan, ia mendesis, memamerkan gigi taringnya.

"Kau yang bernama, Minu?"

Minu mengangguk lalu menggeleng, ia kembali mengelus telur lonjong berwarna putih gading dengan penuh kasih sambil duduk diatas batu pipih beralaskan dedaunan kering. Ia bersenandung, mengabaikan keberadaan Iris dan Morgan.

"Kau, bukan manusia lagi," lanjut Morgan sambil mendekat, Minu terkekeh, balik menatap Morgan.

"Memang kenapa? Ada masalah?" Minu menyahut dengan nada tidak suka, ia sangat jarang berinteraksi dengan makhluk hidup lain sehingga ia jadi mudah tersinggung, lidahnya menjulur keluar, bercabang, persis seperti gadis kecil tadi. "Yang jadi masalah itu kalian yang masuk ke sarangku. Lihat! Anak-anakku jadi bangun!"

Ular-ular kecil berkeliaran di sekitar kaki mereka, mendesis kearah Iris dan Morgan, seolah ikut mendumel seperti Minu.

Iris memijit kepalanya yang entah kenapa terasa pusing mendadak, ia tahu jika efek kutukan dari penyihir putih adalah efek kekanakannya yang luar biasa, tapi ia tidak menyangka akan tetap permanen bahkan setelah kutukannya lepas.

"Kami butuh bantuanmu," kata Iris dengan sorot mata penuh permohonan, ia duduk di atas batu, ikut mengelus telur lonjong itu. Diam-diam menguatkan hatinya untuk menghadapi tingkah kekanakan Minu, jika dibandingkan dengan Thomas, maka sikapnya lebih manis dibandingkan dengan Minu yang ketus.

Minu mendengus kesal, menepis tangan Iris dari telurnya, baginya tidak ada yang boleh menyentuh telur-telurnya selain dirinya sendiri, ia menatap Iris dan Morgan secara bergantian, keningnya berkerut, bibirnya mencebik. Laki-laki itu tahu jika seseorang yang mencarinya pasti berhubungan dengan kutukan yang terjadi padanya di masa lalu.

Kutukan yang hampir merenggut nyawanya, kutukan penyihir putih.

"Siapa yang terkena kutukan penyihir putih? Kau? Atau kau?" Minu menunjuk Iris dan Morgan tanpa basa-basi, ia bingung, diantara mereka berdua tidak ada satupun yang menunjukkan tanda-tanda terkena kutukan yang legendaris itu.

Rambut Iris hitam panjang, tubuhnya ramping dan tampak sehat, begitu pula dengan Morgan yang berdiri dengan gagah, tanpa ditanya pun, Minu yakin jika kedua orang ini sehat dan akan berumur panjang.

Iris melirik Morgan lalu menggeleng.

"Bukan, tapi … teman kami." Iris berdehem, wajahnya memerah, lalu melirik Morgan.

Minu hanya mengangguk-angguk paham, dalam hati ia kembali menggerutu, kalau temannya, mana dia? Masa ditinggal begitu saja, apa sudah mati? Buat apa mencarinya jika orangnya saja tidak ada?

Laki-laki itu berdecak, ia memilih mengabaikan Iris lagi, ia punya banyak pekerjaan, tangannya bergerak mengambil telur lonjong itu dan meletakkannya dengan hati-hati ditumpukan daun kering, tangannya bergerak mengambil sebutir telur yang lain lagi.

"Dia dibawa pasanganmu," lanjut Morgan tiba-tiba.

"PRAK!"

Minu melotot, telur di tangannya terlepas dan retak di tanah, untungnya tidak pecah berkeping-keping, wajahnya menjadi pucat, sedetik kemudian ia langsung mengambil telur itu, mengelusnya dengan sayang dengan mata berkaca-kaca.

"Aduh … sayang … maafkan ayah …." Ujarnya dengan suara lembut, mengelus-ngelus telur itu dan menciuminya.

Iris memutar bola matanya, ternyata selain Morgan, ada orang yang lebih kurang waras lagi satu tingkat dibawah Morgan, ia mengelus dadanya sambil menarik napas, rasa-rasanya hidup di rawa kematian lebih baik daripada menghirup udara yang sama bersama orang-orang kurang waras ini.

"Minu, kami serius!" Morgan mendesak.

Minu meletakkan telurnya kembali dengan hati-hati, ia mendesis dan menatap dingin ke arah Morgan. "Aku juga serius, kenapa sampai dibawa olehnya?"

"Ia tiba-tiba menyerang kami," sahut Iris dengan harap-harap cemas. "Dan Tomy dibawanya."

"Begitu saja?"

"Iya, begitu saja."

Minu menghela napas berat, matanya memandang Morgan dengan pandangan merendahkan, lalu mengangguk-angguk sejenak, alisnya bertaut seolah memikirkan sesuatu lalu ia berdiri dan mengambil baju kemeja yang tergantung di batu. "Ikuti aku."

"Apa dia akan melakukan sesuatu?" Iris dengan terburu mengikuti langkah Minu, laki-laki itu berjalan dengan cepat, kaki telanjangnya itu menapak tanah dengan keras, tidak takut tergelincir di lantai yang penuh lendir dari telur.

"Tentu saja, kalian pikir siapa yang mengubahku menjadi manusia ular seperti ini," gerutu Minu sambil berkacak pinggang, wajahnya merah dan air mata mulai berlinangan. "Aku manusia bebas tadinya, semuanya gara-gara gadis ular itu!"

"Aku tidak bisa tinggi lagi ….." Minu mendongak dan menatap Morgan dengan penuh kebencian, ia beringsut mendekat kearah Morgan, berjinjit agar tingginya sama, namun ia kembali mendengus ketika ia masih kalah dengan tinggi Morgan.

"Apa Tomy akan baik-baik saja?" Iris mengabaikan keluhan Minu, ia membungkuk sedikit menyamakan tingginya dengan Minu.

"Dia akan baik-baik saja kalau kita cepat, masalahnya mungkin temanmu itu, saat ini sedang bersenang-senang," sahut Minu sambil terus melangkah cepat, Iris merasakan napasnya menderu, keringat mulai menetes di pelipisnya.

Minu mendorong Iris, melihat wanita itu membungkuk rasanya sama saja dengan merendahkan dirinya, ia mengangkat dagunya tinggi. Mereka terus melangkah menuju lorong menanjak ke atas, batuan terjal menghalangi kadangkala menghalangi langkah mereka, beberapa ular mendesis setiap berpapasan dengan mereka, namun mereka tidak menggigit, karena Minu selalu menyapa mereka dengan kata, 'anakku.'

Semakin mereka naik keatas, cahaya matahari mulai terlihat menelusup masuk melalui celah bebatuan yang licin dan lembab, suhu menjadi sedikit lebih hangat, dan Iris beberapa kali menarik jubahnya yang tersangkut akar tanaman.

"Apa yang kau lakukan sampai dikutuk penyihir putih?" Morgan mendongak menatap Minu yang berjalan di depannya, laki-laki itu menjulurkan lidahnya dan tersenyum.

"Aku mencuri sesuatu."

Iris hampir membuka mulutnya bertanya, namun Minu dengan cepat memotongnya. "Tidak akan kuberi tahu apa itu."

Iris mendengus, sungguh sikap Minu ini sangat kekanakan melebihi Thomas, rasanya seperti Minu sengaja mengolok-ngolok mereka.

"Daripada itu … kenapa teman kalian dikutuk penyihir putih?" Minu balik bertanya tanpa menoleh, tubuhnya dengan gesit menghindari stalagmit dan stalakmit, air menetes-netes jatuh ke bawah, sebuah kolam bawah tanah berwarna hijau terlihat disisi kanan mereka, airnya tenang dan tidak berarus.

"Tidak mau kuberi tahu juga tuh!" Morgan menyahut dengan ketus, Minu hanya terkekeh, ia berhenti dan menatap Morgan sinis.

Iris merasakan perubahan hati Minu yang berubah drastis, beberapa ular hitam seukuran pergelangan tangan datang dari langit-langit gua, ia langsung menyikut Morgan hingga laki-laki itu mengaduh. "Pokoknya, temukan Tomy dulu baru kami beritahu."

Minu bersedekap, mengangguk-angguk, lalu menjentikkan jarinya. "Oke, aku ingat itu."

Mereka kembali berjalan, kali ini cahaya matahari telah masuk menyinari gua sepenuhnya, suara derai air terdengar dari luar, diikuti angin sepoi-sepoi, sebuah air terjun menyambut mereka, diikuti dengan pepohonan tropis dan rerumputan hijau, batu-batu besar berserakan menghiasi air terjun yang dangkal itu.

"Yah … kau apakan tamu kita?"

Próximo capítulo