webnovel

Bab 26. Sebuah Keberuntungan

"Wah!" begitu kata Aga.

"Dia jatuh cinta, Mik? Seriusan?"

"Kalau dilihat-lihat emang begitu sih." Berry sama sekali tak terpengaruh dengan apa yang dikatakan oleh kedua sahabatnya. Hal itu sudah sering terjadi. Kegilaan keduanya sudah tak bisa membuat Berry kagum.

"Terus, Ber? Siapa cewek yang begitu malang itu? kenapa dia harus dicintai oleh lelaki seperti dirimu?" Aga masih melanjutkan.

"Pakai tanya lagi," alih-alih Berry yang menjawab, Miko justru yang menjawab pertanyaan itu, "lo harusnya paham siapa cewek itu. Yang beberapa bulan terakhir ini deket sama dia siapa?"

"Cherry?"

"Yang dia ajak boncengan di motornya siapa?"

"Cherry?"

"Yang buat dia bersedia untuk mengantarkan cewek siapa?"

"Cherry."

"Jadi menurut lo, doi jatuh cinta sama siapa?"

"Ow! Jadi begitu." Aga mengangguk-angguk tanpa mengatakan jawaban kepada Miko. "Okelah. Keluar kita, Mik. Nggak dibutuhkan lagi kita di sini." Aga benar-benar keluar dari kamar Berry dan diikuti oleh Miko. Bahkan tanpa mengatakan apapun. Tabiat mereka benar-benar minus sekali memang. Dan itu sudah tidak lagi mengejutkan bagi Berry.

Seperginya kedua bocah itu, Berry merenung. Jatuh cinta. Dia belum yakin dia sudah memiliki perasaan sedalam itu kepada Cherry. Dia benar-benar belum berani menyimpukan jika yang dirasakan sekarang adalah cinta. Yang perlu dia lakukan adalah menggali lebih dalam lagi perasaannya. Dia harus meyakinkan dirinya sendiri jika cinta itu sudah ada di dalam hatinya barulah dia akan mengatakan dan berani mendeklarasikan kepada Cherry.

Sebuah deringan telpon terdengar. Dia melihat ponselnya dan melihat nomor baru yang menghubunginya. Meskipun keningnya mengernyit heran, dia tetap menerima panggilan itu.

"Hallo!" sapanya.

"Oh, malam Om. Benar Om. Sekarang Om? Oke, saya kesana sekarang." Berry lantas dengan Gerakan cepat mengganti celana pendeknya menjadi celana panjang, kemudian mengambil jaketnya dan mengenakannya, lalu keluar dari kamarnya.

"Mau kemana lo?" dua bocah itu ada di depan rumah sambil memainkan gitar. Dan yang baru saja bertanya ini adalah Aga.

"Gue keluar dulu."

"Kemana?"

"Ada urusan." Setelah mengatakan itu, dia langsung melesat pergi dari halaman rumahnya dan menemui si 'pemanggil' tadi. Berry tadi tak bertanya lebih dulu apa yang terjadi, hanya saja setelah dia mendapatkan panggilan telepon tersebut, tak merasa perlu menunda waktu untuk datang.

Kemacetan kota Jakarta sudah biasa dilalui oleh siapa saja yang tinggal di kota tersebut. Kota metropolitan, dengan banyak orang dari luar kota yang datang ke kota tersebut untuk mengadu nasib. Mencoba peruntungannya untuk mengubah hidupnya. Barangkali dengan mereka datang ke kota itu, sebuah nasib baik akan didapatkannya.

Karena itu, kemacetan kota Jakarta akan terus terjadi dan itu adalah sebuah konsekuensi yang harus didapatkan sebagai ibu kota di negara ini.

Sampai di tempat tujuan, Berry sedikit berlari ketika dia sudah memarkirkan motornya. Mengetuk pintu rumah tersebut, dan setelah Bibi membukanya, dia langsung diarahkan untuk masuk ke ruang keluarga. Ada suara-suara obrolan terdengar, dari dalam sebelum dia bisa melihat siapa saja anggota keluarga mereka yang berada di sana.

"Assalamualaikum." Katanya.

"Waalaikum salam." Serentak mereka yang ada di ruangan tersebut menjawab.

"Berry, udah datang." Senyum lelaki paruh baya itu mengembang. Lelaki itu berdiri dan menyambut Berry. Tanpa meninggal kan kesopanannya, dia menjabat tangan beliau dan juga istri beliau.

"Maaf ya, malam-malam Om minta kamu datang." Katanya.

"Nggak apa kok, Om. Masih jam delapan." Katanya. Untuk pemuda-pemuda seumuran Berry, jam segitu masih sangat sore. Meskipun terkadang lelaki itu bahkan tertidur sekitar pukul setengah delapan setelah selesai menyelesaikan ibadahnya.

Setelah berbicara basa-basi tentang ini dan itu, akhirnya beliau mengatakan tujuannya. "Ada sebuah proyek kecil yang Om dapat." Itu adalah awalannya, "Karena waktu itu Om pernah bilang akan mengabari kamu kalau kami dapat proyek, maka Om sekarang memanggil kamu."

"Terima kasih Om." Senyum Berry terlihat dan itu sangat manis sekali. Beruntung yang melihat itu adalah orang-orang yang sudah tidak lagi muda, mereka tak akan terpengaruh dengan hal itu.

"Teman om akan membuat kantor baru. Mereka memiliki sekitar tiga ruko dengan tiga lantai. Cukup besar sebenarnya. Dan kamu bisa mencobanya. Om sebenarnya ingin membuka perusahaan design seperti ini, tapi Om belum terlalu mumpuni untuk melakukannya." Berbicara dengan beliau, membuat Berry merasa dia benar-benar diperhatikan.

Pembawaan yang tenang dan kalem, membuat kewibawaan beliau terlihat luar biasa. Dan Berry menyadari hal itu serta mengakuinya. Bahkan sekarang pun dia merasa terharu dibuatnya. Lelaki itu tak akan mengandai-andai dan membayangkan jika ayahnya seperti beliau, karakter mereka berbeda dan mereka jelas tak bisa dibandingkan.

"Itu proyek yang besar, Om."

"Kamu nggak PD?" tanya beliau, "Saya rasa semua hal itu perlu dicoba. Dan kamu juga harus melakukannya." Berry terlihat berpikir. Ini adalah proyek besar pertama kali yang diajukan kepadanya. Seperti yang pernah Berry bilang, dia belum pernah mengerjakan proyek sebesar ini. Dan proyek sebesar ini pasti nilainya sampai dengan miliar. Bisa jadi.

Tapi semua itu tergantung. Apakah dia hanya sebagai seorang arsitek yang hanya menggambar saja, atau mencakup semuanya. Artinya mulai dari pembuatan peralatan kantornya juga harus dia dan team yang mengerjakan.

"Bagaimana cakupannya, Om? Apa saya hanya sebagai yang memberikan design saya, ataukah semuanya?"

"Kalau kamu memang mampu melakukan semuanya, kamu bisa melakukannya semua. Itu akan lebih bagus bukan?" Berry kembali tercenung dan dia memikirkan itu lama. Ini adalah kesempatan emas yang dimilikinya. Jika dia berhasil, maka dia yakin ada kebanggan sendiri yang akan dia dapatkan.

"Boleh saya memikirkannya, Om?" mengambil keputusan secara terburu-buru itu tidak baik. Sedangkan ini adalah sesuatu yang memerlukan pertimbangan yang besar.

"Tentu saja. Kamu bisa mengabari Om setelah kamu mengambil keputusan." Berdiskusi dengan lelaki itu juga sangat nyaman sekali. Dia tak perlu memikirkan banyak hal hanya untuk mengatakan isi dalam pikirannya. Beliau terlalu memiliki pemikiran terbuka dan tidak membuat orang lain merasa terburu-buru untuk mengambil sebuah keputusan.

Mereka akhirnya mengakhiri percakapan masalah proyek, dan membahas pada hal lain. Bahkan lelaki itu mengatakan bagaimana beliau dulu pada saat masih muda. Entah kenapa, mereka justru seperti ayah dan anak betulan sekarang. Namun ada hal yang sedikit mengganggu Berry, tapi dia tentu tak mengatakannya. Hanya menyimpan saja di dalam hati.

Suara langkah kaki membuat Berry melihat ke arah tangga. Dan pemikiran yang mengganggunya lenyap dalam sekejap.

"Lho, Berry?" Cherry yang baru saja turun dari anak tangga terbawah terheran. Apa yang dilakukan oleh lelaki itu di rumahnya? Dan bersama dengan ayahnya pula. Mungkin seperti itulah yang dipikirkan.

"Kenapa, Dek? Berry malam ini tamu Papa. Nggak ada sangkut pautnya sama Adek." Begitu ayah Cherry berkata. Gadis itu hanya mendengus tanpa mendebat. Karena dia langsung masuk ke dalam dapur untuk mengambil cemilan di dalam kulkas.

*.*

Próximo capítulo