webnovel

BAB 7-C (Petualangannya Mampu Mengalahkan Rekor Pendakian 7 Summits)

"Kalimat" --> artinya Dialog saat ini.

["Kalimat"] --> artinya Dialog yang terjadi di masa lalu.

[kalimat] --> artinya Bicara dalam hati.

'kalimat' --> artinya Kalimat Kutipan / Kata Ambigu / Informasi berita yang dibaca oleh Haika Michi sebagai tokoh utama {tergantung bagaimana konteks dan situasinya nanti}.

Selama Membaca ^-^

@ @ @ @ @

Langkah kami terus berjalan beriringan. Masih dalam posisi yang sama, aku berjalan mengikuti mereka di barisan paling belakang. Sebenarnya ini bukan hobi, tapi aku merasa lebih nyaman ketika berjalan paling belakang di antara yang lain.

Aku yang terus berjalan sambil menatap ke depan—dan melihat kebahagiaan mereka semua dari belakang, tiba-tiba merasakan suatu perasaan yang membuatku merasa cukup baik. Sejauh apa yang ku temui sampai detik ini, ikatan pertemanan mereka ku rasa cukup membangun. Laki-laki itu cukup beruntung memiliki teman yang begitu menghidupinya. Ini perasaan yang tidak pernah ku kenali sebelumnya.

Walau ada juga hal yang sedikit aku pertanyakan sejauh ini.

Itu tentang tidak adanya keluhan atau pertanyaan dari mereka mengenaiku yang bisa sampai ada di kelompok mereka hari ini. Orang luar yang mungkin tidak mereka inginkan masuk ke dalam sistem lingkungan persahabatan mereka. Tapi nyatanya itu tidak terjadi sama sekali—meskipun secara norma mereka tidak akan mengungkapkannya secara langsung. Tapi jika ku pikir ulang dari awal, sambutan tangan terbuka mereka untukku terasa cukup hangat. Bukankah bukti itu sudah cukup?

Laki-laki itu benar-benar memiliki apa yang tidak ku punya.

"Tumbenan. Biasanya ramai kalau akhir pekan begini."

"Inikan akhir bulan. Hehe."

Tidak terlalu jauh dari posisi kami saat ini, tepat dihadapan kami berdiri tegak sebuah kedai makanan berdesain modern. Apa kata yang pantas menyebutnya, ya? Kafe? Restoran? Ya, terserahlah.

'FEB's & HAPPY'

Logo nama tempat ini benar-benar mengalihkan pandangan ku saat kami mulai melangkah masuk. Aku sampai harus sedikit mendongakkan wajah untuk melihatnya.

Jadi inikah tempat favorit si ketua yang dia bilang itu?

Kedua bola mataku langsung menyapu seluruh isi ruangan dari ujung kiri ke ujung kanan saat aku telah benar-benar memasuki tempat ini sepenuhnya. Tempat ini terlihat modern sama seperti model tempat sejenis yang lain—meski desain lampunya dibuat putih redup agak kekuning-kuningan. Dan sesuai dengan perkataan si hoodie tadi, di sini memang tidak terlalu ramai, hingga cukup banyak meja kosong yang terlihat. Tapi mengingat tempat ini cukup luas, pengunjung segini saja sudah membuatku percaya kalau usaha ini cukup sukses.

Kini orang yang berada di garis paling depan untuk membimbing kami menentukan meja mana yang ingin kami duduki adalah si bandana. Ia menggiring kami semua berbelok ke kiri setelah kami berjalan melewati halaman depan tempat makan ini—tanpa menghiraukan rute meja sebelah kanan atau meja paling depan dekat pintu masuk untuk dipertimbangkan. Dari caranya berjalan meluyur begitu saja tanpa canggung, sudah menegaskan kalau ia cukup sering main ke sini sampai ia tahu mana tempat yang membuatnya nyaman, kurasa. Tunggu dulu, sejak kapan tongkat estafet kepemimpinannya diganti?

Secara perlahan aku mulai membandingkan perbedaan desain antar meja secara kasat mata. Tidak seperti meja yang berada di rute kanan atau tengah, meja yang berada di rute kiri ini sepertinya mendapatkan perlakuan yang berbeda. Antara nomor meja yang satu dengan yang lain tersekat-sekat oleh tembok—apakah ini mengadaptasi desain bilik warnet? Yang jelas desain ini membuatnya terlihat lebih berkelas ketimbang yang lain.

Karena secara desain jauh lebih baik ketimbang yang lain, bukankah jika memilih salah satu meja di sini malah akan dikenakan tarif tambahan nantinya? Aku pernah mendengar rumor tentang itu. Lagipula dari hanya melihatnya saja semua orang sudah tahu perbedaan kualitas suasana yang didapatkan, baik meja, sofa, dimensi ruangnya dan segala hal receh lain. Desainnya seperti diperuntukan untuk meeting membicarakan bisnis atau semacamnya.

Anggap saja ini meja VIP. Dan hal inilah yang membuatnya dikenakan tarif lebih.

Si pemimpin baru terus memaksa kami pergi semakin ke ujung—padahal ia sudah melewati beberapa meja VIP kosong yang berderet di sisi kirinya yang siap pakai—atau mungkin memang tujuannya dari awal adalah meja paling ujung sana yang dekat dengan keran cuci tangan. Aku sangat menghargai keputusannya itu jika demikian.

Selain tempat ini sudah lumayan sepi, ia malah—mungkin—akan memilih meja paling pojok yang terhalang oleh banyak sekat dinding. Sisi depannya yang berbatasan dengan sekat tembok keran cuci tangan, sisi kirinya yang bersekat dinding kaca yang berbatasan dengan koridor Mall, sisi kanannya yang juga bersekat dinding pembatas dan sisi belakangnya yang berbatasan dengan sekat tembok meja nomor…. 7—setelah ku hitung semua meja yang berderet di sisi ini berjumlah 8.

Memang cukup jauh jika menargetkan meja paling ujung—tapi terserahlah, justru aku akan menikmatinya kalau begini. Tentu aku harus berterima kasih padanya yang sudah memahami apa yang ku inginkan sebagai penyendiri. Karena pojokan memanglah spot yang paling diinginkan oleh seorang penyendiri.

Mungkin sebagai bentuk penghormatan, aku akan memanggilnya Bisma dan berhenti memanggilnya dengan sebutan 'Si Bandana'. Akan ku coba.

Baru saja aku melewati meja nomor 5.

Itu berarti hanya tersisa beberapa langkah lagi saja agar aku sampai di meja nomor 8. Aku sudah tak sabar menunggu momen ketika aku sampai di meja itu untuk kemudian duduk dan meregangkan rasa pegal di kaki ku. Bukan main-main, selama lebih dari 3 jam aku bersama mereka dengan hanya terduduk selama 10 menit saja, dan sisanya aku terus berjalan mengekor tanpa istirahat—bahkan ketika aku memulai debut petualangan ku sendirian di toko buku pun, aku terus berdiri selama kurang lebih sejam. Jika aku seorang anak kecil, ku pastikan aku sudah merengek kepada salah satu dari mereka untuk meminta paksa menggendongku.

Hmm, mungkin aku akan memilih si kacang merah untuk menggendongku.

Bisma menghentikan langkahnya. Lalu diikuti oleh hentian langkah si ketua yang ada di belakangnya. Dua orang pemimpin ini sudah sampai lebih dahulu. Kemudian di belakang mereka mengekor si hoodie, si wakil ketua dan si kacang merah yang baru sampai dengan urutan yang persis. Dan bukannya langsung bergegas mencari posisi untuk duduk di sofa, mereka semua malah berdiri mematung menghadap meja. Kenapa mereka? Kenapa mereka semua tertegun? Apakah mereka melihat hantu? Tatapan si ketua-lah yang paling terlihat shock.

Si bungsu pun sampai. Aku pun langsung ikut bergerumun. Aku pun tanpa sadar meniru gestur mereka. Ya. Aku pun cukup shock dengan apa yang ku lihat. Dan semua skenario ini terjadi dalam hitungan waktu yang cepat.

"Hei,"

[Apa-apaan lagi ini?]

"Selamat ulang tahun." kami sudah sampai di meja paling ujung. Dan ternyata kami sudah ditunggu oleh seseorang di sini.

Seorang perempuan berwajah oriental saat ini tepat berada di hadapan kami dengan senyuman yang masih merekah di bibir tipisnya. Warna rambut hitam legamnya yang panjang disertai warna kulitnya yang cerah dengan dibalut pakaian terusan sampai ke bawah membuat sosoknya benar-benar terlihat feminin.

"Inada…." meski mimik wajahnya terlihat shock, sejujurnya mimik wajah si ketua ini bercampur aduk dengan tumpahan senyum di bibirnya. Anggap saja ini kaget kebahagiaan.

"Maaf kalau aku berbohong," perempuan itu pun berdiri dari sofa. "Selamat ulang tahun." lalu ia mengangkat kue tart yang berada di atas meja dan mendekatkanya kepada si ketua. Siapapun akan mengerti situasi ini. Berharap api yang menyala di atas lilin kecil itu akan ditiupnya sampai tak lagi bercahaya.

[Uwah~] Bukannya ini yang disebut adegan romantis?

Si ketua melirik ke kue itu lalu gadis itu secara bergantian. Ia seakan tak percaya apa yang sedang terjadi. Haruskah ia menangis?

Oh, ayolah. Kenapa juga ia sampai harus menangis? Mengingat ia adalah laki-laki populer yang diganderungi banyak gadis, bukannya malah membuat hal semacam ini menjadi hal yang murahan baginya? Mungkin jika aku yang berada di posisinya, barulah pantas aku merasa kaget dan menangis sampai guling-guling.

Kecuali ia mendapatkan hal ini dari orang yang memang paling berharga untuknya.

Semua temannya mulai melakukan ritual kekanak-kanakan yang biasa dilakukan pada momen seperti ini. Kedua tangan mereka mulai bertepuk yang diiringi suara lantang menyanyikan lagu selamat ulang tahun yang langsung dimulai dari lirik agar si subjek mau meniup lilinnya—oh, astaga!!!

Aku menoleh sekilas ke arah belakangku sejenak—ternyata ada sedikit banyak mata yang menyoroti kehebohan kami. Namun aku tak peduli. Meski aku memang berada di dalam komplotan, aku tetap merasa sedang tak berbuat apa-apa. Terlebih hal semacam ini belum tentu mengganggu pengunjung lain, malahan bisa saja membuat mereka bernostalgia akan masa lalu mereka yang pernah mendapatkan kejutan yang serupa—atau setidaknya hal ini malah membuat pengunjung lain terhibur—atau memang justru akan mengganggu beberapa orang yang memiliki sudut pandang tertentu. Tapi itu tak berarti banyak.

"Aku doakan hidupmu dipenuhi keberkahan."

"Kau semakin bertambah tua kawan."

"Semoga panjang umur."

"Selamat ulang tahun. Jangan lupa traktirannya."

Nyanyian mereka terhenti, dan berganti dengan tepuk tangan yang meriah serta sorakan gembira setelah padamnya api lilin berbentuk angka 17 itu. Si ketua pun dijabati tangan satu persatu dengan diiringi semua perkataan hal baik dari semua teman-temannya.

"Ah…selamat." kini giliranku ku untuk memberikan selamat padanya dengan kesadaran yang masih linglung. Terlalu banyak kejutan hari ini yang belum ku sempat cerna satu persatu. Karena tidak terbiasa akan hal seperti ini, respon otak ku sepertinya terlalu lamban untuk menelaah semua kejadian hari ini.

Apakah ada kejutan sesi lainnya yang akan membuat ku semakin linglung?

"Inada,"si ketua memanggil nama seseorang. Sorot matanya tajam lurus ke depan. Nama itu pasti milik perempuan di sana yang memberi kejutan padanya.

"Hmm?"

"Bagaimana, ya?" kekehan kecilnya malah membuatnya menjadi terlihat kikuk. "Sejujurnya aku senang kamu di sini. Tapi bukannya kamu ada keperluan hari ini?"

Meski sangat pelan, hembusan nafasnya masih terdengar samar namun halus. "Soal itu aku minta maaf. Aku sengaja bilang begitu agar kamu percaya aku tidak bisa datang. Itu rencana ku untuk memberi kejutan padamu." dan sepanjang kalimat itu keluar, ia mengatakannya dengan memasang raut wajah senyum tenang yang membuat nyaman untuk dipandang. "Jangan marah, ya."

Astaga. Aku seperti sedang menonton drama TV tepat dihadapan ku. Anggap saja aku adalah aktor figuran dalam adegan ini.

"Aku tidak marah. Justru aku bersyukur kamu datang. Aku hanya terkejut saat melihatmu tiba-tiba di sini."

"Kalau begitu maaf mengagetkanmu." intonasi bicaranya benar-benar halus. "Aku pasti datang, karena aku ingin melihat mu bahagia di hari ulang tahunmu."

Oh, apa-apaan aura berwarna pink yang sedang mengelilingi ku saat ini? Apakah adegan ini berbahaya untuk kesehatan mentalku? Perlukah aku bimbingan orangtua untuk menyaksikan semua ini?

Sial.

"Hhh." tiba-tiba terdengar suara dengusan yang begitu pelan. Suara itu berasal dari sampingku. Aku melihat si kacang merah mendengus pelan dengan sedikit melekukan garis bibirnya seperti mencoba tersenyum—tersenyum rendah. Pandangannya masih seksama, tapi sorot matanya terlihat berawan.

Dalam hanya hitungan sekejap, pandanganku pun tanpa sadar terlempar ke ujung sana. Secara tak sengaja aku memergoki Bisma yang juga sedang melamunkan pandangannya kepada si kacang merah seperti yang tadi ku lakukan—ah, dia melihatku. Kami pun refleks saling membuang pandangan.

Kami kembali fokus pada Romeo dan Juliet di depan.

Api kue ulang tahun yang akan menjadi simbol bertambahnya usia si ketua sudah padam. Ucapan selamat akan hal-hal baik untuknya pun sudah terucapkan. Di tambah kehadiran perempuan bernama 'Inada' yang tiba-tiba, rasanya sudah benar-benar membuat skenario kejutan ini sukes, bukan? Tapi bukankah masih ada yang kurang? Kalau perkiraan ku benar, harusnya masih ada satu kejutan lagi yang akan terjadi.

Kue ulang tahun itu kembali di taruh di atas meja. Sofa memanjang meja nomor 8 ini akhirnya mulai terpenuhi ketika kami mulai terduduk. Sofa ini seolah berbentuk huruf C, aku sendiri berada di garis horizontal bawah. Sisi kanan ku jelas kosong, tapi sisi serong kiriku di isi oleh si kacang merah. Ujung seberang sana sendiri diisi oleh Bisma.

"Diar," tangan perempuan berwajah oriental itu mengusik sesuatu di bawah kakinya. "Ada hal yang ingin kami berikan untuk mu." ia mencoba menarik kantung plastik berwarna putih ukuran sedang itu ke atas.

Informasi penting darinya membuat suasana menjadi hening sesaat. Bak pemeran utama, kami dengan seksama memperhatikan apa yang sedang ia lakukan.

"Ini kado dari kami untukmu." kali ini perempuan itu menunjukan setumpuk kado kepada si ketua yang berada di sampingnya.

Si ketua tidak dapat berbuat banyak. Ia hanya mampu menatap dalam-dalam. "Aku tidak tahu harus bilang apa, tapi terima kasih banyak sudah membuat hari ini menjadi momen yang berharga bagiku."

Kado adalah hal nomor 3 terpenting dalam perayaan ulang tahun. Nomor 1 sudah jelas adalah orang yang berharga bagimu yang secara sukacita mengingat hari kelahiranmu. Nomor 2 adalah kue ulang tahun yang secara simbolik sama saja seperti menghitung mundur hari jadimu ketika api lilin itu padam tertiup. Meski tidak harus mutlak, 3 kejutan ini adalah ilmu dasar merayakan ulang tahun seseorang.

Dengan begini, selesai sudah kejutan untuk perayaan hari ini.

Secara sekilas memang kado itu terlihat seperti kado tanpa tuan. Hanya bungkusan kado berwarna-warni tanpa ada nama sang pemberi. Tapi aku yakin ada sebuah cara untuk memberitahukan asal-usul kado itu yang berjumlah 5. Inada mencoba menjelaskan kepada si ketua sembari berdiskusi ringan kepada yang lain ketika ia sendiri lupa punya siapakah kado-kado tersebut.

Tak berdaya. Tak ku sangka aku akan terjebak di situasi seperti ini. Ketika mereka mendebatkan tentang kado-kado itu, aku yang berada di pojokan ini benar-benar merasa terpojok. Situasi ini seperti menegaskan kepada mereka, bahwa jika memang aku adalah temannya, lalu kenapa aku tidak memberi apa-apa? Malahan saat ini aku hanya tercenung mencoba memahami segala apa yang sedang terjadi.

Tak masalah.

Dari awal aku adalah korban kebohongannya. Tidak memberi apa-apa kepadanya bukanlah kesalahanku—karena aku juga memang tidak tahu.

Lagi pula, dari awal aku tidak pernah menganggap bahwa diriku adalah bagian dari mereka.

Mencoba mengacuhkan semua penilaian adalah kemampuan dasarku.

Jadi jelas semua ini bukanlah masalah besar untukku.

Prosesi perayaan hari jadi si ketua pun selesai. Dari titik ini kami memulai petualangan kami yang sebenarnya di warteg modern ini. Kami mulai memesan beberapa menu berdasarkan selera masing-masing. Tanpa memperdebatkan apapun lagi, hidangan yang kami pesan akhirnya datang satu per satu dalam waktu tidak begitu lama.

Akhirnya kami sudah menemukan 'One Piece' di sini.

Si kacang merah benar-benar memesan es kacang merah sesuai janjinya. Dan sisannya memesan makanan yang harganya wajar—mereka pembohong, ku kira mereka akan benar-benar memeras dompet si ketua.

Aku pun sama saja—mengurungkan niatku untuk memerasnya—malah memesan makanan yang harganya paling wajar untuk seukuran isi dompetku. Bahkan aku memesan menu yang paling standar dari yang lain. Karena aku tidak mau mempercayai apapun tentang traktiran, sogokan atau semacamnya yang si ketua katakan. Atau lebih tepat mengatakannya, aku tidak mau berhutang apapun padanya yang malah membuatnya repot, padahal kami sama sekali tidak saling kenal. Atau yang jauh lebih tepat, aku dengan sengaja memesan yang paling standar agar aku bisa membayarnya nanti, ketimbang aku memesan apapun lalu dia malah ingkar dan aku terjebak oleh permainanku sendiri.

Mau manapun yang paling benar, 2 nilai itulah yang ku hidupi.

Waktu terus berlalu melewati garis khatulistiwa kehidupan. Tanpa terasa, semua hidangan di meja panjang ini habis dilumat dan berpindah ke dalam perut kami bertujuh. Semua rasa pegalku pun mulai hilang, meski sebagai gantinya aku malah menjadi kemerkahan dan mulai mengantuk. Dasar lemah. Tapi bukan anak muda namanya jika tidak mengambil kesempatan untuk bercengkrama, mumpung kami semua sedang berkumpul.

Kami?

Aku akan meralatnya menjadi 'Mereka'.

Hal yang menjadi biasa ketika sehabis makan adalah waktu yang pas untuk mereka bersenda gurau. Seperti yang sudah ku bilang, jika aku datang ke sini hanya berdua saja dengan si ketua, aku merasa nyaman karena aku bisa bersikap acuh pada apapun. Tapi karena aku ke sini dengan bergerombol, yang biasa terjadi adalah aku akan tertelan oleh obrolan akrab mereka di pojokan. Aku sudah memahami betul hal seperti ini—walau sebenarnya ada beberapa pertanyaan formalitas dari mereka untuk ku—anggap saja itu cara mereka mengahargai keberadaanku. Dan aku tidak perlu melakukan hal serupa—karena kehadiran seluruh anggota keluarga besar ini sudah saling menghargai.

Bukan aku tidak memiliki inisiatif untuk memulai, tapi aku sudah memutuskan untuk berhenti melakukan hal-hal semacam itu.

Namun seakan ingin mempertanggung jawabkan semua keluhan ku, si ketua mencoba sekuat tenaga membuatku terlihat berguna di forum ini. Ia pun berhasil menjadi moderator ulung untuk menggiring obrolan yang tidak berguna menjadi obrolan serius. Ia mulai bertanya kepada kami semua tentang ide apa yang ada di kepala kami. Ia juga mulai mengeluarkan semua inspirasi yang ada di kepalanya. Secara perlahan kami mulai terbawa suasana dalam pembicaraan itu. Secara garis besar kami sudah menemukan titik terang. Secara impulsif kami terus saling bertukar pikiran. Setitik demi setitik masing-masing ide cemerlang pun terjabarkan. Pada akhirnya, rumusan masalah sudah terpecahkan secara cukup detail. Dan si ketua dengan yakinnya memasang wajah penuh kepercayaan, karena akhirnya ia sudah tahu harus berbuat apa sekarang.

Ya, tentu ini mengenai apa yang perlu kami benahi untuk acara festival nanti. Untuk membuat acara itu menjadi lebih baik. Untuk membuat acara itu menjadi lebih hidup.

Akhirnya aku pun merasa berguna juga.

Kami lumayan lama membicarakan hal itu jika dibandingan dengan pembicaraan receh sebelumnya. Tapi karena dirasa sudah cukup, sesi tukar pikiran itu pun ditutup.

"Tunggu aku sebentar. Aku ingin ke belakang dulu." sebelum benar-benar mengakhiri sesi pertemuan kali ini, si ketua izin pada kami. Sudah pasti kami pun mengizinkannya.

Aku melihat selembar kertas di atas meja, dengan begitu banyaknya coretan yang menghiasi kertas selembar berwarna putih susu itu. Aku baru tersadar bahwa ternyata pembicaraan kami benar-benar begitu krusial tadi. Saat berdikusi memang tidak terasa—bahkan aku tidak mempedulikan coretan di sana. Tapi sekarang kertas itu justru menjadi bukti kalau kami semua memiliki semangat yang sama untuk membantu menyelesaikan masalah itu bersama.

Si ketua benar-benar memiliki kru yang sangat profesional.

Tunggu. Apa barusan aku sama saja sedang memuji diri sendiri?

Tidak-tidak. Aku hanya sedang mengapresiasi 5 temannya yang bisa diandalkan itu.

Tak lama kemudian, sosok itu kembali muncul dihadapan kami. Mata kami langsung benar-benar tertuju padanya. "Sebelum pulang, aku ingin memberi kalian sesuatu," ia kembali dengan membawa sejinjing kantung. "Anggap saja ini rasa terima kasih ku untuk kalian." dengan masih melekat raut wajah yang bahagia, ia mulai membagikan bingkisan kadonya itu kepada kami.

[Apa-apaan lagi ini?]

Bukan hanya aku yang bingung, ke-5 temannya yang lain pun terlihat begitu tercenung atas kejutan yang tiba-tibanya ini. Hari ini sepertinya menjadi kejutan ganda antar mereka. Sebelumnya mereka berlima berhasil membuat kejutan untuk si ketua—kalau ku ingat lagi, mungkin saat Bisma menelpon seseorang waktu itu adalah untuk memberitahu Inada untuk bersiap. Tapi lihat, sekarang ia mampu menggulingkan keadaan untuk mengejutkan mereka balik. Dan aku yang tidak tahu apa-apa, benar-benar terkejut untuk kesekian kalinya.

"Haika,"

Kenapa…

"Ini untukmu. Aku harap kau mau menerimanya."

Kenapa tindakannya selalu mengejutkan ku?

BERSAMBUNG.

Próximo capítulo