webnovel

22. Masa Lalu Gion

"Robin, kau sudah selesaikan sarapanmu?" Tanya Alena yang kini berjalan kearah sang putra.

Robin menganggukkan kepala, dia kini tampak sedang bermain diruang tengah. Menata lego pemberian Daddynya dengan berbagai bentuk. Alena mendekati sang putra, mendudukan diri dihadapan Robin yang masih asik dengan legonya.

"Boleh Mommy menemanimu bermain, sayang?" Tanya Alena dengan menunjukkan senyumannya.

"Tentu, Mommy. Aku sangat senang jika Mommy mau bermain bersamaku." Jawab Robin riang.

Keduanya kini mulai menata lego dengan berbagai bentuk yang berbeda. Robin membuat bentuk dino saurus, sedangkan Alena membuatkan goa untuk sarang berteduh dino saurus tersebut.

Ben berjalan menuruni anak tangga. Dia kini sudah berpakaian rapi dan siap untuk pergi bekerja. Hari ini dia menyiapkan segala kebutuhannya sendiri. Dari mulai atasan, bawahan, hingga dalaman, dia yang memilihnya dari dalam lemari. Alena sepertinya sudah tak mau mengurus dirinya lagi. Dan itu semua karena ulahnya sendiri.

Dilihatnya Alena bersama putranya sedang bermain diruang tengah. Ben sempat terpaku menatap wajah cantik istrinya yang tampak natural tanpa make up. Tanpa disadarinya, kedua sudut bibir tipisnya itu mulai terangkat. Memperlihatkan senyum kecil yang hampir tak kasat mata.

"Robin, Daddy akan berangkat ke kantor. Kau baik-baiklah dirumah, jangan merepotkan Mommymu!" Ucap Ben saat sudah sampai diruang tengah.

Robin berlari menuju Daddynya, memeluk kaki panjang Ben yang tampak tak sebanding dengan tubuh kecilnya. "Jika pulang belikan aku pizza ya Daddy? Aku sangat ingin makan pizza hari ini." Ucap Robin dengan wajah lucunya. Dia mendongakkan kepalanya, sambil mengedipkan mata beberapa kali. Membuat Ben malas melihat putranya yang bertingkah seperti anak perempuan.

"Baiklah. Daddy akan membelikannya. Jangan tunjukkan lagi wajah seperti itu, Daddy tidak menyukainya! Kau seorang anak laki-laki, jadi bersikaplah seperti anak laki-laki!" Tegas Ben membuat Robin melepaskan pelukannya, lalu menundukkan

kepala.

Alena yang menyaksikan kejadian itu hanya bisa menggelengkan kepalanya. Bisa-bisanya Ben berkata seperti itu kepada putranya. Robin hanyalah anak kecil yang baru berusia 5 tahun, maka wajar jika dirinya bersikap manja dan kekanak-kanakan. Sedangkan dirinya sendiri? Dia tidak pernah berkaca. Dia itu sudah sangat tua, tetapi tingkahnya lebih kekanakan dibanding Robin.

"Maaf Daddy." Ucap Robin lirih.

"Baiklah. Jangan kau ulangi lagi!" Ben mengalihkan pandangannya pada Alena. "Aku pergi ke kantor dulu, Alen. Tolong jaga Robin dengan baik!" Berjalan meninggalkan ruang tengah, untuk keluar menuju mobil yang sudah terparkir didepan rumah.

***

"Daddy, apa benar aku memiliki seorang Kakak?" Tanya gadis kecil yang kini sedang duduk dikursi samping kemudi. Membuat pria dewasa disampingnya terkejut, setelah mendengar pertanyaan itu

"Siapa yang mengatakan itu padamu Olfi?" Tanya Gion pada putri kecilnya.

"Mommy yang mengatakannya padaku Daddy." Jawabnya.

Gion mengeram dalam hati. Bisa-bisanya Elena mengatakan kebenaran serumit ini kepada putri kecilnya. Olfi masih berusia 4 tahun, dan memahami hal seperti ini pasti tidaklah mudah baginya.

"Daddy, kenapa Daddy diam? Apakah benar yang dikatakan Mommy itu?" Tanyanya lagi, membuat Gion tersadar dari lamunannya.

"Iya sayang, itu benar."

"Lalu sekarang dia dimana? Kenapa dia tidak tinggal bersama kita Daddy?"

"Dia memiliki keluarganya sendiri sayang. Kalian hanyalah saudara tiri." Jelas Gion berusaha memberi pengertian pada putri kecilnya.

"Saudara tiri? Apa itu saudar tiri Daddy?" Pertanyaan Olfi membuat Gion frustasi. Sepertinya dia salah memilih kata, hingga membuat putrinya itu kembali bertanya.

"Saudara tiri, berarti bukan saudara kandung. Kalian hanya lahir dari rahim yang sama, yaitu rahim Mommymu. Tetapi Ayah kalian berbeda." Gion berusaha menjelaskan dengan kata-kata yang mudah dicerna. Dan sepertinya Olfi mulai paham, bisa dilihat jika saat ini putrinya itu tampak sedang menganggukan kepala beberapa kali.

"Apakah aku bisa bertemu dengannya, Daddy? Aku ingin bertemu dan bermain bersama dengan Kakakku itu." Gion kembali terdiam setelah mendengar ucapan putrinya. Bagaimana bisa dia mempertemukan Olfi dengan putra pertama Elena. Ben tidak akan mungkin mengizinkan mereka untuk bertemu. Gion tahu betul bagaimana watak dari mantan suami Elena itu. Mereka sudah saling mengenal sejak lama, hingga persahabatan diantara mereka hancur karena ulah Elena.

Ben menuduhnya merebut Elena. Sebenarnya Ben pun tidak pernah benar-benar mencintai Elena. Mereka menikah karena Elena tengan mengandung bayinya. Elena yang memang merasa tidak pernah mendapatkan perhatian dari seorang suami, akhirnya memilih untuk membagi penderitaannya itu kepada Gion. Gion yang polos, dia menjadi pendengar yang baik untuk Elena. Setia mendengarkan setiap cerita dan keluh kesah yang disampaikan oleh Elena.

Hingga saat Elena melahirkan bayi lelaki untuk Ben, dia langsung kabur kedalam pelukan Gion. Awalnya Gion juga tak menyangka jika Elena bisa berbuat senekat itu. Dia pun terpaksa menampung Elena, hingga tanpa sengaja keduanya melakukan hal yang tak seharusnya. Elena kembali mengandung, dan Gion harus mempertanggung jawabkan perbuatannya itu.

"Daddy, kenapa Daddy diam lagi?" Suara Olfi kembali menyadarkan lamunannya.

"Suatu saat nanti, kau pasti akan bertemu dengannya sayang." Mengelus kepala sang putri.

"Benarkah itu?" Ucap Olfi dengan gembira. Dia tidak sabar menantikan hari itu. Hari dimana dia bisa bertemu dengan Kakaknya.

Gion menganggukan kepala, lalu berkata, "Tentu sayang. Sekarang kita sudah sampai disekolahmu. Cepat turun, dan belajarlah yang rajin disekolah!"

"Baiklah, Daddy. Aku menyayangimu." Menarik tas ranselnya, lalu mengecup kedua pipi Daddynya.

"Daddy lebih menyayangimu, sayang." Balas Gion mengecup pipi putrinya.

"Dahhh, Daddy." Olfi melambaikan tangannya, lalu keluar dari dalam mobil dan berlari untuk memasuki gerbang sekolahnya.

Gion hanya bisa tersenyum, saat melihat punggung putrinya itu semakin menjauh dari jangkauannya. Dan ketika bayangan Olfi sudah tidak terlihat lagi. Gion kembali menjalankan mobilnya untuk menuju kantor. Dia harus kembali menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pemimpin perusahaan besar.

Tak butuh waktu lama, mobil yang dikendarainya itu sudah berhenti tepat didepan sebuah gedung perkantornan miliknya. Gion keluar dari dalam mobil, dan mulai berjalan memasuki kantor yang sudah beberapa tahun ini dikembangkannya. Gion memilik kemampuan yang tidak jauh berbeda dengan Ben. Sayangnya kedua perusahaan mereka tidak bekerja dalam bidang yang sama. Hingga keduanya pun jarang bertemu dan hampir tidak pernah melakukan kerja sama bisnis bersama.

Gion kini sudah sampai didepan pintu ruangannya. Didorongnya pintu tersebut, dan tampaklah seorang wanita yang tengah menantikan kehadirannya. Wanita itu sedang duduk disebuah kursi kayu yang berada disudut ruangannya. Gion ingat betul siapa wanita itu, wanita yang sejak dulu selalu dikaguminya.

"Gion." Wanita itu bangkin dari posisinya, dan mulai berjalan menghampiri dirinya. Dia ingin memeluk Gion, namun Gion lebih dulu menepis tangan mungil tersebut.

"Kenapa kau kemari, Delara?" Tanyanya dengan nada tak bersahabat.

Ya, wanita itu adalah Delara Smit. Delera merupakan sahabat baiknya dan juga Ben saat masih duduk dipangku perkuliahan dulu. Hingga sebuah kesalah pahaman, membuat hubungan ketiganya semakin merenggang.

"Aku merindukanmu." Ucap Delara lirih, yang disambut gelak tawa dari pria dihadapannya. "Kenapa kau tertawa, Gion?" Delara bertanya sambil mengerutkan keningnya.

"Tidak Delara. Hanya saja, perkataanmu itu terdengar lucu ditelingaku."

"Aku serius. Dan ada yang ingin ku bicarakan dengamu, Gion."

"Katakan saja, apa yang ingin kau bicarakan!" Gion menatap dalam manik mata Delara yang berwarna kecoklatan.

"Sebelumnya, ada yang ingin ku tanyakan padamu." Delara menjeda kalimatnya, dan mulai menarik nafas. "Apakah kau masih bersama dengan Elena?"

"Tentu. Dia istriku." Jawabnya santai.

"Kenapa kau masih bersamanya, Gion? Kau tentu tahu, jika dia bukanlah sosok istri yang baik. Lihatlah Ben, dia saja sudah muak melihat sifat mantan istrinya itu." Jelas Delara mencoba menyadarkan pria dihadapannya.

Gion menghembuskan nafas kasar. "Aku tahu. Aku bertahan dengannya hanya untuk putriku, Olfi. Dia masih membutuhkan sosok seorang Ibu."

"Aku mau menjadi Ibu untuk Olfi, Gion. Aku berjanji akan menyayanginya seperti putriku sendiri." Ucap Delara dengan raut wajah senduhnya.

Gion yang mendengar ucapan Delara, hanya bisa tersenyum kecil. "Aku sudah bosan mendengarkan ucapan seperti itu, Delara. Banyak wanita yang mendekatiku, dan mereka juga mengatakan hal seperti itu. Mengumbar janji dengan mengatasnamakan cinta dan kasih sayang. Sungguh memuakan."

Delara mendongakkan kepala, berusaha menahan air mata yang sudah menggenang dipelupuk mata. Dia berdeham sejenak, untuk menutupi suara seraknya. "Jadi kau menyamakan ku dengan wanita-wanita itu? Baiklah Gion, terserah apa pun pendapatmu tentangku. Aku pun tidak pernah membual tentang perasaan yang kumiliki untukmu. Aku datang jauh-jauh kemari, hanya untuk menemuimu dan menjelaskan segala kesalah pahaman yang pernah terjadi diantara kita. Sebenarnya ak----"

"Lupakan saja semuanya, Delara. Jalani kehidupan kita masing-masing, dan ku harap kau bisa secepatnya mendapatkan pendamping hidupmu." Gion memotong ucapan Delara. Dia tidak ingin mendengar apa pun lagi dari bibir manis wanita itu.

"Kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, Gio. Kau tidak akan pernah tahu." Ucap Delara yang tanpa sadar meneteskan air mata. Entah kenapa hatinya kembali melemah saat mendengar penuturan Gion.

Selama ini hanya Gion yang selalu ada dihatinya, tetapi pria itu justru kembali menyakitinya. Dan apa yang dia ucapkan tadi? Dia meminta Delara untuk melupakan segala? Dia tidak pernah tahu bagaimana usaha keras Delara untuk melupakannya selama ini. Delara sudah banyak menderita, dan Gion ikut andil dalam menorehkan penderitaan itu.

Delara menghapus air matanya dengan kasar, lalu melangkah cepat meninggalkan ruangan Gion. Dia tidak ingin berlama-lama menunjukkan kelemahannya dihadapan pria yang amat dicintainya itu.

Gion tersadar setelah beberapa saat. Dia terpaku saat menatap manik mata Delara yang memancarkan kesedihan. Dan ketika air mata itu jatuh membasahi pipi Delara, entah kenapa sudut terdalam hatinya ikut tersayat. Dia merasaka sakit saat melihat Delara menangis seperti tadi.

Dengan langkah lebarnya, Gion berusaha mencari sosok Delara yang baru saja meninggalkan ruangannya. Dia kembali kelantai utama, dan berlari keluar kantor untuk menemukan sosok yang dicarinya. Tetapi semuanya sia-sia. Tidak ada sosok Delara disana. Mungkin wanita itu sudah pergi meninggalkannya lagi.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Delara?" Gumam Gion dengan wajah penuh penyesalan.

TO BE CONTINUED.

Próximo capítulo