Di siang keesokan harinya, Ye Fei terbangun sambil menyipitkan matanya. Ia tampak berantakan, seakan baru saja ditabrak truk. Ia merasa sekujur tubuhnya letih dan lemas. Ia menggosok matanya yang sakit, lalu teringat bahwa semalam ia menangis begitu lama. Ia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak mengutuk binatang buas yang bernama Su Mohan.
Su Mohan bisa dibilang tidak menunjukkan sedikitpun belas kasihan untuk Ye Fei. Ia hanya menggunakan Ye Fei sebagai alat untuk melampiaskan hasratnya dan ia tidak melepaskan Ye Fei meskipun sampai wanita itu menangis memohon dan ampun. Ye Fei tidak ingat bagaimana ia tertidur setelah itu semua. Kemungkinan ia pasti pingsan...
Ye Fei perlahan bangkit dari ranjang. Pinggangnya sakit dan ia nyaris tidak bisa bergerak. Pria yang seharusnya berada di sebelahnya kini tidak ada lagi di ranjang itu. Kemudian, terdengar suara air dari kamar sebelah.
Ye Fei mengenakan jubah mandi, mengambil ponselnya, dan berjalan perlahan-lahan ke kamar sebelah. Namun, belum jauh ia melangkah, kakinya terasa lemas dan sesaat kemudian ia terjatuh ke lantai. Kedua kakinya gemetar dan ia butuh waktu yang lama untuk mencoba bangkit. Ye Fei menggertakkan giginya, lalu tanpa daya menertawai dirinya sendiri. Apakah ini akibatnya karena ia telah mengejek pria itu?
Ye Fei berjalan pelan sampai pintu kamar mandi. Namun, masih terdengar suara air mengalir sehingga Su Mohan tidak mendengar apa-apa. SaatYe Fei pelan-pelan membuka pintu itu hingga sedikit cela terbuka, lelaki dingin itu sedang berdiri di bawah pancuran air dengan mata tertutup. Air yang memancur dari atas terus mengalir turun membasahi tubuhnya yang sempurna.
Ye Fei langsung pergi dari sana. Ia memang berbagi ranjang dengan Su Mohan hingga larut malam, tapi sampai saat ini ia masih tetap memuji sosok sempurna pria itu. Sambil menahan napas, Ye Fei berjongkok dan bersembunyi di luar pintu. Dengan hati-hati, ia diam-diam memotret beberapa foto dengan ponselnya lalu bergegas kembali. Namun, ia tergopoh-gopoh karena terlalu takut hingga tidak sengaja menendang sebuah vas bergaya Eropa di sudut ruangan.
Ye Fei sedikit mengumpat, kemudian menggigit bibirnya dengan pelan. Ia hendak mengembalikan vasi tiu di tempatnya yang semula, tapi suara air itu tiba-tiba berhenti. Jantungnya berdebar kencang hingga rasanya nyaris melompat keluar dari tenggorokannya. Iia tidak mempedulikan vas itu lagi dan bergegas ke kamar tidur.
Sementara itu, Su Mohan berjalan keluar dari kamar mandi sambil menyipitkan mata. Ia melirik ke arah kamar tidur, lalu pandangannya jatuh tepat pada vas yang tergeletak di tanah.
"Kemarilah."
Dua kepala pelayan yang bersiap di luar pintu langsung membuka pintu dengan cepat, berjalan masuk, lalu membungkuk dan menjawab, "Tuan."
"Panggil pengawas monitor."
"Baik, Tuan."
Tak lama kemudian, Su Mohan menyadari apa yang terjadi. Dari video rekaman kamera pengawas, ia melihat Ye Fei dengan berani mengambil foto dirinya. Ada senyum kejam yang terbit di sudut bibir Su Mohan dan tatapannya mendadak menjadi suram, seakan mampu menyapu seluruh langit.
———
Setelah Ye Fei kembali ke kamar, ia cepat-cepat berbaring di ranjang. Jantungnya masih berdebar sangat kencang sampai seluruh tubuhnya ikut gemetar. Ia tahu bahwa apa yang baru saja ia lakukan dengan nekat sama saja seperti sedang mencabut bulu dari pantat harimau. Namun, ia tidak ingin keluar dari pintu ini begitu saja seperti wanita-wanita yang silih datang dan pergi hanya untuk mendapatkan uang Su Mohan.
Ye Fei berpikir bahwa akan sangat luar biasa jika ia bisa melihat Su Mohan lagi. Ia tidak begitu menginginkan uang atau cinta. Ia ingin menjadi permaisuri di Kekaisaran Su, tidak peduli bagaimanapun caranya. Ye Fei harus menjadi permaisuri Kekaisaran Su!
Brak!!!
Pintu tiba-tiba dibanting terbuka dari luar sampai Ye Fei refleks terduduk tanpa sadar. Ia menatap wajah muram Su Mohan dan hatinya terasa tegang, tapi ia tetap menyunggingkan senyum cerah. "Mengapa Tuan Su marah-marah di pagi hari?"
Su Mohan tertawa dingin. Lalu, ia melangkah maju dan menarik Ye Fei dari ranjang. Ye Fei terjatuh dengan keras di atas karpet. Meskipun bulu di karpet mengurangi rasa sakitnya, ia tetap saja hampir menangis kesakitan. Su Mohan menatapnya sambil melotot dan matanya menyembunyikan amarah yang sangat besar. "Beraninya kamu!"