webnovel

Mimpi Buruk, Bagian Akhir

Ive membuka matanya, lalu menatap Riev dan Kiev yang memasang wajah cemas.

"Bagaimana, Master??" tanya Riev yang sedari tadi menunggu.

Ive tidak menjawab dulu pertanyaan dari Riev. Tubuhnya begitu lemas setelah mengerahkan banyak energi untuk menerobos masuk ke dalam alam bawah sadar Ain.

Wanita itu berdiri, lalu berjalan dengan sempoyongan ke kursi yang ia duduki tadi. Ia merebahkan tubuhnya di kursi itu dengan napas yang terengah-engah. Dari raut wajahnya bisa terlihat rasa lelah tengah menggerayangi seluruh tubuhnya.

"Aku sudah berusaha semampuku... Sisanya, tergantung pada Ain...." jawab Ive dengan pelan.

Riev dan Kiev saling bertatapan sejenak, sebelum akhirnya mereka mengangkat tubuh Ain untuk dibaringkan di sofa.

Dari balik pintu kamarnya, Luna mengamati semua kejadian di ruang tamu rumah sederhana itu.

"Sayang, sini...." pinta Ive yang menyadari tatapan polos anaknya itu.

"Iya, ibu?" Luna berlari kecil menghampiri Ive yang tengah mengatur napas untuk memulihkan kondisi tubuhnya.

Ive mengusap-usap kepala gadis kecil itu, "Bisa kau temui Heim? Bilang kalau dia tidak usah menunggu lagi. Ain dan temannya bakal ibu latih. Terus, Luna temui Master, ya? Bilang kalau ibu akan membawa tiga orang untuk belajar Khy. Tapi jangan kasih tahu Heim. Nah, Luna tunggu di tempat Master saja. Oke?"

Luna mengangguk paham. Ia memeluk Ive dengan erat, lalu berlari keluar menjalankan tugas dari ibunya.

Setelah Luna pergi, Ive menatap tajam ke arah Riev dan Kiev.

"Ada apa, Master?" tanya Kiev.

"Kita kedatangan tamu tak diundang. Apa... Kalian bisa melindungi tempat ini? Aku terlalu lelah."

Dengan segera kedua pemuda itu berdiri, lalu menganggukkan kepala.

"Tenang saja, Master!" ucap Riev dengan mantap. Lalu ia berjalan keluar untuk memastikan apa yang tengah terjadi.

Kiev membungkukkan badannya, lalu bergegas ke luar mengikuti saudara kembarnya yang sudah terlebih dahulu meninggalkan tempat itu.

[•X-Code•]

Benar apa yang dikatakan oleh Ive. Dari kejauhan, terlihat beberapa pesawat kecil sebesar Trava melesat ke arah mereka. Pesawat itu milik pasukan Abaddon.

Timbul pertanyaan di benak kedua pemuda itu, "Bagaimana bisa, Master Ive tahu ada Abaddon yang datang? Terlebih lagi, bagaimana bisa Abaddon mengetahui keberadaan mereka?"

Riev dan Kiev segera mengatur strategi untuk mencegah pasukan Abaddon sampai di sana. Untungnya, rumah itu berada di puncak gunung Khyterra. Posisi yang sangat menguntungkan bagi Kiev.

Kiev mengambil posisi di sebuah tebing di dekat rumah Ive. Ia mempersiapkan senjata miliknya, sebuah senapan laras panjang yang dilengkapi teropong untuk melihat sasaran dari jarak yang sangat jauh.

Dalam rekornya, tercatat bahwa Kiev bisa menembak tepat sasaran dari jarak 2,5Km. Sebuah jarak tembak yang sangat jauh, bahkan untuk seorang penembak jitu yang andal sekalipun. Karena kemampuan 'Mata Elang' miliknya itu, Centra Head, bahkan para Omega tertarik pada Kiev.

Kiev segera mengambil posisi telungkup dengan senapan yang siap menembak sasaran.

Di sisi lain, Riev berjaga di atas pohon, dekat dengan sebuah lapangan yang berada cukup jauh dari rumah Ive. Ia tahu kalau pasukan Abaddon yang datang, pasti akan mendarat di tempat itu.

"Kau siap?" tanya Kiev melalui alat komunikasi yang disematkan di telinga.

"Kapanpun, di manapun!" jawab Riev sembari menyeringai penuh semangat.

Terlihat ada 7 pesawat Abaddon yang memperlambat lajunya begitu hampir sampai di lapangan, di sisi selatan gunung Khyterra.

[•X-Code•]

Duaaaaar!! Ledakan itu terdengar cukup keras, menggema di angkasa.

Sebuah pesawat meledak begitu peluru plasma dari senapan milik Kiev mengenai tangki bahan bakarnya. Beberapa orang pasukan Abaddon yang berada di pesawat itu segera mengeluarkan parasut, melayang bebas ke arah lapangan yang menjadi tempat tujuan mereka.

Ledakan itu membuat panik pasukan Abaddon yang berada di pesawat lain. Mereka berpencar untuk menghindari serangan lanjutan.

Namun usaha mereka gagal. Kiev berhasil menjatuhkan semua pesawat pasukan Abaddon itu.

Beberapa dari pasukan Abaddon itu tewas seketika begitu pesawatnya meledak. Jasadnya jatuh ke permukaan tanah. Tapi beberapa bisa menyelamatkan diri dengan melompat lalu melayang dengan parasut.

"Giliranmu, Riev," Kiev memasukkan kembali senapan miliknya, lalu bergegas menuju titik lain di mana ia bisa melihat lapangan itu dengan jelas.

Setelah sampai di tempat tersebut, Kiev kembali mengeluarkan senapannya lalu mengatur posisi yang sama dengan sebelumnya. Kali ini ia tidak menembakkan senapannya. Ia hanya ingin memerhatikan situasi melalui teropong senapan miliknya.

Riev melompat dari atas pohon lalu mengeluarkan senjata plasma, Scythe miliknya.

Pasukan Abaddon yang selamat dan berhasil mendarat dengan parasut mereka segera mengeluarkan senjatanya masing-masing.

Belasan orang itu merupakan Pasukan Khusus Abaddon, yang diberi senjata laser. Sama dengan senjata pasukan Abaddon yang sempat menyerang Vabica di perbatasan Zinzam.

Di antara mereka, seorang pasukan terlihat berdiri tegak di belakang. Bisa dipastikan kalau dia-lah komandan para pasukan Abaddon itu.

[•X-Code•]

Kalau Kiev memiliki keahlian untuk bertarung dari jarak jauh sebagai penembak jitu, lalu Ain yang fokus pada pertarungan satu lawan satu, tipe bertarung Riev lebih bersifat 'masal'.

Ia bisa mengalahkan banyak orang sekaligus, sendirian. Tapi tentu saja, orang yang tidak berkemampuan tinggi. Walaupun Riev merasa cukup kesulitan menghadapi para pasukan khusus Abaddon di sana, namun ia bisa mengalahkan mereka semua.

Hanya tinggal seorang pasukan yang sedari tadi tidak ikut bertarung.

"Luar biasa!" ujar pasukan itu sembari bertepuk tangan pelan.

Riev cukup terkejut mendengar suara lelaki yang mengenakan zirah Abaddon, lengkap dengan helmnya itu.

"Kau?!" pekik Riev sambil memasang posisi bertarungnya.

Lelaki itu membuka helm, menguraikan rambut hitam panjangnya yang terikat rapi. Dengan senyum dari wajah oriental yang khas, ia berkata, "Tugasku bukan untuk melawanmu. Bisa kau menyingkir?"

"Maaf, tapi tugasku untuk menghentikanmu, Teir!"

"Baiklah kalau begitu."

Teir mengeluarkan senjata plasma miliknya. Sebilah pedang melengkung, yang langsung ia genggam erat di tangan kirinya.

Tanpa menunda lagi, Riev melesat ke arah Teir untuk meluncurkan serangan. Tapi dengan mudah serangannya bisa ditangkis oleh Teir.

Walau pun jangkauan serangan Scythe milik Riev lebih jauh dari pedang milik Teir, tapi serangan Riev tidak bisa mengenai Teir sedikitpun.

Agak lama Teir membiarkan Riev menyerangnya, sebelum akhirnya ia yang meluncurkan serangan balik.

Teir menghindari serangan Riev dengan sedikit memiringkan tubuhnya, lalu melesat cepat dan menghantamkan gagang pedang miliknya ke perut Riev.

Tidak hanya itu, Teir melangkah ke belakang untuk mengambil posisi, lalu menendang Riev di bagian lutut, perut, ulu hati dan dada secara berurutan dengan begitu cepatnya.

Terakhir, Teir memutar tubuhnya untuk melakukan tendangan sapuan atas, tepat mengenai pelipis Riev yang seketika membuat pemuda itu terpental jauh.

Serangan Teir terlihat begitu elegan, simpel tapi mematikan.

Melihat kembarannya terdesak, Kiev yang tadinya berniat untuk hanya sekedar mengamati, segera menarik pelatuk senapan miliknya ke arah Teir.

Dengan sangat cepat, Teir menebas peluru plasma yang melesat itu dengan pedangnya, mementalkannya ke tanah.

[•X-Code•]

"Hentikan!" pekik Ive yang menyusul Riev ke lapangan itu.

"Master Ive...." lirih Riev yang terjerembab di tanah dengan kondisi sulit bernapas akibat tendangan dari Teir.

"Kau tidak akan bisa melawannya, Riev. Bahkan temanmu, Ain. Kalian tidak akan bisa mengalahkan Teir, apalagi Grief, sebelum kalian belajar menggunakan Khy," ujar Ive berbisik agar Teir yang berada sedikit jauh di depan tidak mendengarnya.

Kemudian Ive berjalan mendekat ke arah Teir.

"Master," sapa Teir sembari membungkukkan badannya, memberi hormat pada Ive.

"Apa yang kau inginkan?"

"Aku diberi tugas untuk menjemputmu, Master."

"Hanya itu?"

"Ya. Hanya itu."

"Kalau begitu, aku akan ikut denganmu. Tapi, lepaskan mereka," Ive menoleh ke arah Riev yang tengah berusaha untuk bangkit.

Teir tersenyum sambil mengangguk. Kemudian Teir menghubungi seseorang melalui alat komunikasi miliknya untuk meminta jemputan.

"Tidak... Tidak lagi!" Riev memekik keras dalam benaknya. Ia tidak ingin kejadian yang menimpa Agna kembali terulang.

Akhirnya, Riev berhasil berdiri walau masih merasakan sakit di beberapa bagian tubuhnya. Ia tertatih, berjalan mendekat ke arah Ive dan Teir yang sedang menunggu untuk dijemput pasukan Abaddon.

Namun langkahnya terhenti begitu pundaknya ditepuk dari belakang.

Riev menoleh ke belakang dan mendapati tatapan tajam dari Ain.

"Biarkan Master Ive pergi, Riev. Kita harus pergi ke sebuah tempat," ujar Ain sambil merangkul Riev, membantunya berjalan.

"Tapi, Ain!"

"Kita tidak bisa melakukan apa-apa. Setidaknya, untuk sekarang," ucap Ain menjawab sanggahan Riev. Kedua matanya tertuju ke depan, membelakangi Ive yang mengalihkan perhatian Teir dari mereka.

Próximo capítulo