webnovel

Justin bagian 2

"Siapa nama ayahmu Justin?"

Pemuda bersurai pirang itu mendongak dengan wajah ogah-ogahan, dalam hati mendengus. Sudah menduga bahwa suatu hari akan muncul pertanyaan itu dari bibir Rajanya. "George Curry."

Richard mendongak dari tablet yang berisi laporan amburadul Justin selama di Vatikan,"George?"

"Ya," nadanya acuh. "Kenapa juga Yang Mulia bertanya? Mau menemui Ayah saya untuk melamar saya?"

Richard melempar pandangan datar "Aku ikut berduka cita dengan orientasi seksualmu."

"Kenapa juga Anda menyuruh saya pulang?" Justin mengeluh seraya menatap Richard yang duduk di sofa depannya. "Ketika saya sudah nyaman di Vatikan, ... "nadanya penuh penyesalan. "Anda menyuruh saya pulang, tidak bisa dipercaya."

"Aku tidak menyuruhmu ke Vatikan untuk liburan Bajingan Kecil," Richard menggerutu. "Laporanmu bahkan tidak berguna, apa ini—" keningnya berkerut. "Harga bolu di Vatikan satu dollar lebih mahal dari Chevailer. Tapi memang rasa mereka lebih lembut ...."

Richard mendongak dan mendelik

"Apa kau pikir kau sedang ikut acara traveling? Kenapa isi laporanmu penuh dengan lawakan?"

"Saya kesulitan untuk mencari tahu, seperti banyak hal yang hilang. Bahkan gereja tempat Ratu dibesarkan saja sudah berubah menjadi perpustakaan dan tidak ada lagi biarawati yang tinggal disana. Belum lagi gereja yang anda minta, saya bahkan sudah berputar ke penjuru Vatikan dan tidak menemukan satu pun gereja bernama seperti itu," Justin melempar pandangan curiga. "Anda tidak sedang mabuk kan waktu menghubungi saya? Anda mungkin salah nama? Yang Mulia, Anda tidak sedang mengerjai saya,kan?"

"Kau sekarang menuduh Rajamu menipu?" Richard tidak percaya. "Sepertinya keakraban kita membuatmu jadi kurang ajar."

Justin hanya tertawa kecil, "Saya rasa. Saya kehilangan rasa hormat saya pada Anda."

"Lagipula kau juga tidak akan pernah menemukan gerejanya, karena nama gerejanya sudah diganti."

"Diganti?"

Raja Muda itu menghela nafas, sebelum mengaruh tabletnya di meja dan bersandar ke sofa. "Ya, diganti. Ini hal serius Justin, itu sebabnya aku memintamu kemari begitu kau sampai."

"Saya mendengarkan Yang Mulia," Justin menangkap atmosfer serius yang mulai diusung Rajanya itu.

"Aku menemukan sesuatu di pondok ibuku," Richard memulai. "Aku pikir itu dokumen rahasia—entahlah—dokumen itu menyebut pasukan khusus, penemuan racun, nama Samuel dan juga seseorang bernama Hans Curry," Richard melirik Justin. "Yang memiliki anak bernama Justin."

Hening.

"Anda mencurigai saya sebagai Justinnya jika begitu?"

"Bukan mencurigai hanya bingung," Richard mendesah. Ia kemudian bangkit dan meraih sebuah map yang diletakkan di atas mejanya, mengeluarkan beberapa kertas sebelum kemudian mengulurkannya pada Justin. "Baca."

Dengan bingung, ajudan muda itu menerima kertas itu dan meratakannya. "Surat?"

"Iya, milik ibuku. Bacalah."

Justin menunduk dan mulai membaca surat itu secara perlahan, keningnya berkerut beberapa kali kala ia begitu serius memahami isi tulisan ibu Raja itu. "Ini," Justin bicara setelah bermenit-menit keheningan. "Tulisan ibu anda?"

"Ya."

"Untuk," Justin berdeham. "Selingkuhannya?"

"Kelihatannya," Richard acuh. "Ibuku menulis bahwa aku mencurigai dia berselingkuh dengan orang yang ia kirimi surat, tapi bukan itu masalahnya Justin. Walau aku memang penasaran siapa Hans Curry ini, aku juga ingin mengetahui siapa Samuel dan Elianna ini. Yang membuatku sangat gelisah adalah siapa Justin ini."

"Kenapa?"

"Justin," Richard mendesah lelah. "Karena ada nama Curry di surat ini, intuisiku seratus persen langsung tertuju kepadamu. Biarkan aku bertannya lagi, siapa nama ayahmu?"

"George Curry."

"Sungguh? Apa kau punya saudara bernama Hans? Paman? Atau siapapun?"

Pemuda bersurai pirang itu menggeleng, "Tidak ada. Ayah saya anak tunggal."

"Baik," Richard duduk tegak. "Aku percaya padamu. Sekarang begini, aku ingin kau mencari tahu nama-nama yang disebut dalam surat ini, cari tahu juga tentang pasukan rahasia dan sesuatu bernama Violet ini."

Kilat mata Justin berubah. "Violet?"

"Ya, aku menemukan dokumen tentang penemuan benda itu dan izin penarikannya. Benda itu dihancurkan di Vatikan, menurut surat ibuku. Aku pikir juga," Richard mengambil tube kecil berisi cairan keemasan yang membeku itu. "Ini mungkin adalah Violet itu."

Justin meraihnya segera setelah Raja itu mengulurkannya. "Ini racun?" tanya Justin heran.

"Mungkin, entahlah. Aku penasaran, entah kenapa aku merasa bahwa selama ini orang tuaku menyembunyikan sesuatu dariku. Aku ingin mencari tahu."

Mata Justin mengamati tube itu lamat-lamat. "Jika ini adalah sebuah racun. Maka ini bisa jadi hal yang berbahaya, jika Yang Mulia mengizinkan saya punya kenalan yang cukup handal dalam mengecek benda-benda seperti ini. Ingin saya periksa?"

"Ya, dan jangan katakan apapun pada Charles. Ini hanya antara kita berdua, kau paham?"

"Ya, saya mengerti. Saya akan menjadi anak nakal bersama anda."

Richard terkekeh, "Nah. Pergilah, bawa benda itu. Aku akan mengecek kertas lain di map ini, siapa tahu ada yang bisa aku temukan. Jangan lupa untuk memakai baju yang bagus, malam ini kita akan makan malam bersama."

Alis Justin naik sebelah. "Berdua saja? Itu terdengar romantis."

"Tidak astaga, kau benar-benar berubah haluan rupanya. Kita akan makan bersama Louis dan Gwen, juga Andrew, sepupuku. Kau mengenalnya?"

"Andrew?" nada Justin berubah. "Sungguh? Saya tahu dia, saya pernah mendengar namanya di akademi pelatihan dulu."

"Baguslah."

"Kalau begitu saya akan pergi," Justin bangkit. "Saya akan memberikan benda ini untuk di cek sebelum makan malam."

Richard hanya mengangguk, ia kemudian menatap Justin yang membungkuk dan berjalan keluar. Matanya memandang lamat-lamat saat punggung pemuda yang lebih muda menghilang di balik pintu, sebelum meraih map itu dan mendesah.

"Aku harap kau sungguh bukan orang yang dimaksud dalam surat ini Justin, aku tidak bisa membayangkan bahwa kau ternyata adalah pemuda yang aku benci selama dua puluh tahun ini."

...

Justin meraih ponsel di nakas begitu pintu kamarnya telah terkunci rapat, ia mengettik nomor yang telah ia hapal dan menghubunginya dengan cepat. Gusar; pemuda itu mengambil duduk di tepi ranjang dan memainkan tube ditangannya. Mendesah jengkel, saat hingga dering ke lima panggilan tidak kunjung diangkat.

"Hal—"

"Aku menemukannya," Justin memotong dengan cepat.

"Apa?" lawan bicaranya kebingungan. "Temukan apa?"

"Violet."

Diam sejenak.

"Hah? Violet? Sungguh? Aku bahkan belum membuka sampel yang kau kirim padaku kemarin."

"Sudah kuduga," nada Justin acuh. "Aku juga tidak peduli, aku menemukan sampel Violet yang masih utuh. Belum berubah atau teroksidasi."

"Dan dimana kau menemukannya jika aku boleh tahu?"

"Yang Mulia Raja memberikannya padaku."

"Maaf?" nadanya tidak percaya. "Yang Mulia memeberikannya padamu? Wah, haleluyah. Kebaikan apa yang kau perbuat Justin?"

"Ini bukan kebaikan lesbian sinting, ini bencana," ajudan muda itu mendesah. "Yang Mulia menemukan map berisi dokumen lama yang disembunyikan ibunya, dan beliau bahkan mengetahui nama ayahku. Ibunya menyebut namaku dalam surat."

"Tapi aku pikir kau bisa mengatasinya dengan baik, kan? Buktinya Raja enteng saja memberikan sampel violet kepadamu."

"Hanya karena beberapa hal," Justin mendecak. "Akan aku kirim sampel ini padamu, selesaikan pembuatan ulangnya dengan cepat. Jangan lupa untuk memalsukan laporannya, kau mengerti?"

"Ya, ya. Hn, mengerti." lawan bicaranya mendesah jengkel. "Ngomong-ngomong Kid menemukan sesuatu, dia bilang dia akan mengirimnya lewat email. Oh, apa kau juga tahu?"

"Apa?"

"Bosmu ada di Chevailer, iya kan?"

"Andrew maksudmu?" Justin mendecak. "Ya, dia akan makan malam di sini."

"Wah, jadi kau akan malam bersama tuan dan Rajamu? Justin," gelak tawa mencemooh. "Selamat tahun baru man, betapa menyenangkan melihatmu berpura-pura secara langsung. Bisa kau merekamnya Justin? Aku juga ingin melihat betapa palsunya dirimu."

"Diam." Justin menggerutu. "Ini bukan saatnya untuk tertawa."

"Untukmu, ya. Untukku, tidak," tawa ringan. "Ngomong-ngomong, aku akan pergi ke Chevailer juga minggu depan."

"Untuk?"

"Aku akan mengunjungi dermaga."

"Berziarah lagi?" Justin mendengus. "Kau benar-benar gagal move on, ya?"

"Tidak perlu menghina begitu, aku akan membawa sampelnya sekalian untukmu. Jadi diam."

Ajudan muda itu hanya mengguman. "Selesaikan saja sampelnya oke? Aku akan mengurus hal gila yang akan segera terjadi di sini."

"Ya, aku mengerti," lawannya bicaranya menyahut. "Oh, Justin. Aku juga mau bilang kepadamu."

"Apa?"

"Berhati-hatilah dengan Louis, aku dengar dia sedang mencari tahu tentangmu."

...

Próximo capítulo