webnovel

013 : Pria Bermata Hijau

Vatikan, 1999

Seorang wanita dengan surai kemerahan berlari panik ke arah jalanan bergang Kota Vatikan. Wanita itu menggendong seorang bayi dan menggandeng seorang anak perempuan yang berjalan terseok mengikuti langkahnya yang cepat.

"Ibu, kita mau ke mana?" tanya anak perempuan itu. "Aku lelah."

Wanita itu menoleh sesaat pada anaknya, dia sudah akan bicara saat kemudian dia mendengar suara benda jatuh yang amat keras dan suara tembakan.

Dengan kepanikan yang makin parah, dia meraih anak perempuan itu dan menggendongnya di lengan yang lain. Wanita itu memacu langkahnya lebih cepat, air mata mengalir deras di wajanya.

"Ibu menangis," bisik anak itu. Wajahnya polos dan tubuhnya terus berguncang dalam gendongan.

Wanita itu hanya tersenyum lemah, dia berbelok sekali di tikungan penuh kardus dan rak kayu bekas telur sebelum kemudian dia mengetuk pintu kayu sebuah bangunan yang terletak di ujung jalan. Pintu itu terbuka sesaat kemudian, dua orang biarawati dengan baju susternya muncul. Yang satu tampak berusia tiga puluhan dan yang satu lagi masih muda. Biarawati yang lebih tua tersenyum lebar melihat wanita itu, namun wajahnya langsung berubah saat melihat air mata di pipi wanita itu.

"Nyonya? Ada apa?"

Wanita itu menggeleng, "Tolong jaga Redd dan Leen. Aku mohon. Aku tidak punya waktu, sembunyikan mereka dan jangan biarkan orang tahu bahwa mereka masih hidup. Tolong," wanita itu terisak. "Hanya bawa mereka pulang ke Chevailer jika saatnya sudah membaik."

"Apa? mengapa? Apa ya-"

Pertanyaan biarawati itu terpotong saat suara tembakan terdengar makin keras.

"Bawa, bawa saja dia. Lindungi dia, aku ak-"

Wanita itu tersentak, wajahnya tampak terkejut dan tidak butuh waktu lama baginya untuk limbung ke tanah. Dengan lubang peluru di kepalanya. Kedua biarawati di pintu terpekik mundur, sementara segerombolan pria di ujung jalan menatap mereka dan mulai menembakkan peluru dengan brutal. Biarawati yang tua menutup pintu dengan cepat dan menyerahkan Leen serta Redd ke biarawati yang lebih muda.

"Pergi, sekarang. Bawa mereka ke gereja lewat lorong bawah."

"Tetapi, nyonya-"

"Sekarang! Kita harus melindungi mereka apapun yang terjadi!"

Biarawati yang muda tampam tidak setuju, "Meninggalkan nyonya di sini bukanlah pilihan."

"Ini pengabdianmu nak," biarawati tua berucap diiringi suara peluru yang makin keras. "Lindungi dan bawa mereka kembali ke Chevailer."

Dengan mata yang memerah biarawati muda itu memurunkan Redd dan menarik sebuah karpet. di mana di bawah karpet itu tampak sebuah tingkap kayu, yang jika ditarik menujukkan sebuah jalan menuju lorong bawah tanah.

"Cepat!" biarawati tua berucap sambil menaruh barang-barang di depan pintu. Menahan orang-orang yang mendobrak dan menembak ke arah mereka.

Biarawati muda itu mendorong Redd untuk turun secara perlahan, sebelum kemudian menyusul dengan Leen di gendongannya. Biarawati yang satunya menutup tingkap itu dan menutupnya dengan karpet. Selanjutnya hanya kegelapan yang tersisa dalam lorong itu, biarawati muda itu meraih tangan Redd dan menyeretnya untuk berlari.

"Kita mau ke mana?" tanya Redd yang mulai menangis ketakutan. "Mengapa kita meninggalkan ibu? Ibu jatuh, kita harus kembali."

"Ibumuu akan menyusul dibelakang," jawab biarawati itu cepat.

Redd hendak bicara, namun dia justru memekik lagi saat terdengar suara dobrakan keras yang disusul dengan derap kaki yang cepat.

"Ayo," biarawati itu panik. "Lebih cepat."

Biarawati itu mulai melihat sebuah cahaya dari lampu gantung di pagar besi di dekat belokan , dengan tergesa dia menyeret Redd dan mengabaikan bayi dalam gendongannya yang mulai menangis.

"Leen menangis," Redd berucap. "Di mana ibu?"

"Dia akan menyu-, oh!"

Biarawati itu memekik, saat tiba-tiba Redd tertarik dari tangannya dan menjerit. dia berbalik, hanya untuk melihat bahwa segerombolan pria itu sudah ada di belakangnya dan salah satu dari mereka menahan Redd.

"Bibi," gadis itu menjerit takut. "Tolong aku!!"

Biarawati muda itu bergetar, "Lepaskan dia!"

"Lepaskan, ya?" pria itu berbisik.

Pria itu menyeringai dan mengeluarkan pisau dari sakunya. Satu tangannya yang lain menahan Redd dengan lengannya, membuat gadis itu tercekik.

"Kau akan membunuhnya!" teriak biarawati itu.

"Ya," pria itu berucap. "Memang. Dia lalu adiknya dan kau." pria itu menyeringai.

Dia kemudian mencengkeram Redd yang memberontak dan menekan pisau ke lehernya. Membuat Redd menjerit karena rasa perih yang disusul dengan lelehan cairan panas yang amis ...

...

Redd membuka matanya cepat dengan keringat parah yang membanjiri tubuhnya, dia membelangak saat melihat ada sosok dengan pakaian hitam di atas tubuhnya. Menatapnya tajam dan menekan pisau ke lehernya, membuat rasa dingin dari ujung pisau menembusnya dan menghasilkan luka yang perih.

Redd memberontak dan mulai menjerit. Namun sosok itu membekap bibirnya. "Diam kau."

Pria, Redd membatin, ini pria. Wanita itu memberontak lebih keras, dia tidak memperdulikan soal pisau yang meneka lehernya lebih dalam. dia berusaha untuk mendorong sosok itu, sebebelum sosok itu mencekik lehernya yang berdarah dan membuatnya tersedak. Sosok itu menatapnya dingin, dalan keremangan Redd bisa melihat matanya yang hijau cemerlang dan rambutnya yang pirang. Wajah sosok itu tertutup masket hingga hidung dan ada hodie lebar yang menutupi setengah wajahnya.

Salah satu tangan Redd meraih lengan pria itu berusaha menariknya, "Oh," pria itu menyeringai. "Kau mau melawanku? Sayangnya, kau harus mati. Baru setelahnya, aku bisa membunuh Richard sialan itu."

Redd berteriak teredam mendegar ucapan pria itu, namun pria itu menyeringai dan hanya menekan lehernya lebih keras. Redd mulai menangis, dia mengeluarkan suara orang mutah dan nafasnya mulai sesak. Dengan sisa tenaga, tangan Redd yang lain terulur ke arah meja secara diam-diam, dia kemudian meraba gelas kaca yang selalu tersedia di sana dan menjatuhkannya. Membuat bunyi pecah yang nyaring.

Pria di atasnya menggeram marah, dia mencekik Redd lebih keras dan Redd mengeluarkan rintihan lirih. Matanya berkunang-kunang dan kepalanya pusing, dia sudah ada di ambang batasnya. dia tidak bisa bergerak dan jari-jarinya mulai mati rasa.

Saat dia pikir semuanya akan berakhir, dia merasakan cengkraman pria itu terlepas dan gebrakan pintu terdengar begitu keras menyusul. Redd mendengar suara teriakan dan tembakan, diikuti oleh jendela yang terbanting, pecahan kaca dan suara marah dari banyak orang. Dia tidak mau tahu, karena dia hanya ingin bernafas. Rasanya dingin. Dia bahkan tidak mau peduli pada tangan kokoh yang meraih punggungnya dan memeluknya, entah itu milik siapa, dia tidak mau peduli.

"Redd," suara yang dalam dan cemas menghampirinya. Membawa rasa lega yang meyenangkan.

Richard ... batin Redd dalam hati.

"Astaga," suara itu terdengar lagi. Kali ini sarat akan sebuah ketakutan dan kemarahan. "Kau baik,kau- sial." suaranya murka. "Dia melukaimu."

Redd membuka sedikit matanya, dan dia melihatnya. Richard, ada di sana. Memeluknya dan memangkunya dalam rengkuhan. Wajah pria itu pucat dan ada air mata di sana, masih basah dan masih jatuh dari mata gelapnya.

"Richard," bisik Redd pelan. Suaranya serak dan parau, Redd bahkan tidak percaya jika itu adalah suaranya jika saja Richard tidak menunjukkan wajah panik dan langsung menangkup wajahnya.

"Ya. Ini aku sayang. Apa ini sakit?" pria itu menggeram. "berengsek."

"Panggilkan dokter sekarang!" Richard meraung murka, dan Redd bisa mendengar suara sepatu yang berlari mejauh dan teriakan panik lainnya.

"Richard, sakit."

"Ya, aku tahu." Richard berbisik. "Maafkan aku, astaga- sial."

Tangan pria itu memeluknya lebih erat dan menekan lehernya, wajahnya kusut dan Redd ikut menangis saat ada setitik air mata yang jatuh di pipinya.

"Jangan menangis," bisik Redd parau.

"Aku tidak," tetapi Redd tahu; suara pria itu tersendat karena tangisan.

Redd hendak bicara, namun dia bisa merasakan Richard bergeser dan ada tangan lain yang menyentuhnya. Tangan itu dingin dan basah, "Dokter anda datang." ucap Richard.

"Secepat yang saya bisa Yang Mulia," ucap seorang pria yang tak bisa Redd lihat karena pusingnya yang luar biasa memaksanya terpejam.

Selanjutnya ada sebuah hening panjang di sekitarnya, dokter itu masih sibuk menyentuh leher Redd dan entah melakukan apa, yang Ratu itu tahu, dia merasakan dingin; sesuatu yang mendesis, gunting dan banyak hal. Reed meringis saat kemudian merasakan ada sesuatu yang menusuk lengannya.

Sebelum dia ditelan kegelapan sekali lagi, kali ini tanpa mimpi sama sekali.

...

Próximo capítulo