Sebenarnya apa yang telah diberikan Yoga ini menurut Meta adalah hal yang berlebihan. Selain gaji bulanan dengan jumlah yang tak sedikit, sekarang ada sebuah kalung juga melingkar di lehernya. Padahal sampai detik ini, Meta merasa tak melakukan sesuatu yang hebat untuk Yoga. Bahkan untuk menghilangkan penyakit susah tidur Yoga pun tidak.
"Apa mungkin Pak Yoga udah sembuh dari penyakit homonya, ya?" kata Kinan kemudian. "Eh gue bener, kan? Berkat lo ada di dekat Pak Yoga, dan berkat insiden kemarin malam, sekarang semua orang udah ngeraguin gosip kalau Pak Yoga itu homo."
"Bener kata Kinan, ada positifnya juga sih. Seenggaknya nama Pak Yoga nggak seburuk kemarin-kemarin di mata publik. Kasihan gue ama dia, hanya karena nggak pernah jalan ama cewek pada bikin berita kalau Pak Yoga homo. Lagi pula, kalau Pak Yoga homo, ama siapa, coba? Yakali Pak Cipto, secara kan hanya Pak Cipto yang selalu ngintilin Pak Yoga kemana-mana,"
"Ih, Mbak Tanti!" teriak Meta, dan Kinan bersamaan.
Mbak Tanti pun tertawa setelah mengatakan itu. Bagaimana bisa, media dengan jahat memberi tuduhan yang sangat kejam kepada bosnya yang rupawan itu. Bahkan menurut kaca mata Tanti, meski bosnya itu jarang bicara dan terkesan dingin. Bagi karyawan bosnya itu benar-benar baik dan royal. Selalu memikirkan karyawan tanpa memandang posisi.
Meta hanya bisa diam, dia merasa tuduhan jahat itu merupakan salah satu trik kotor dari musuh bisnis Yoga. Siapa lagi orang jahat yang akan melakukan itu kalau tidak orang itu benci dengan Yoga.
"Eh gue lupa, di bawah ada Fabian," kata Mbak Tanti yang berhasil membuat Kinan, dan Meta menoleh.
"Hah, serius? Masih punya muka dia buat dateng kesini?" kata Kinan mulai emosi.
"Iya, gila banget, dia!" jawab Mbak Tanti juga emosi.
"Elo marahin, Mbak?" tanya Meta.
"Ya enggak, lah! Meski gue masih sakit hati ama dia, mana berani gue marahin dia. Gimana pun dia dalah direktur perusahaan, dia ada saham di sana, dia atasan kita."
"Terus ngapain dia ke sini?" tanya Meta lagi.
"Dia nungguin elo!"
"Hah?"
"Gila, gila!" kata Kinan tambah emosi. "Gue aja yang turun, buat nampar mukanya!"
Meta, dan Mbak Tanti langsung menarik tangan Kinan untuk kembali duduk. Kemudian Meta beranjak dari tempatnya.
"Jika bener apa kata elo, Kin. Jika bener yang dia incar itu gue. Biar gue yang nyelesaiin ini. Gue nggak mau, kalian jadi korban lagi karena penyakit gilanya si Fabian,"
"Tapi, Met—" kata Kinan, sambil menarik tangan Meta. Dia benar-benar berat melepaskan Meta. Bagaimana jika sahabatnya ini diapa-apain oleh cowok seperti Fabian?
"Kalau lo diperkosa gimana? Kami nggak mau, Met," kata Mbak Tanti. Kinan pun mengangguk kuat.
"Kalian lupa, ya, siapa gue? Gue ini juara satu taekwondo. Dia mau merkosa gue? Gue bakal pastiin burungnya patah sebelum bisa nyentuh ujung rambut gue!"
Kinan, dan Mbak Tanti langsung tertawa. Mereka lupa, tak ada gunanya mengkhawatirkan Meta. Pernah waktu Meta masih bekerja di perusahaan lama, saat ada pencopet mencoba mencuri dompetnya. Bukannya dompet Meta kecolongan, Meta malah harus mengeluarkan uang untuk biaya rumah sakit dua preman itu karena dibuat babak belur sampai pingsan.
"Yaudah, deh, buruan lo temuin cowok cabul itu! Geli gue kalau dia lama-lama di sini. Ngeri..."
Meta lantas menghela napas panjang, setelah dia mengambil tasnya. Dia pun berjalan keluar. Berjalan hati-hati karena dia takut jika bisa saja Fabian akan memukul kepalanya sampai pingsan, atau membiusnya kemudian dia diperkosa di tengah hutan. Tiba-tiba membayangkan hal-hal itu, Meta lantas memeluk dirinya sendiri. Dia benar-benar menjadi sangat takut, dan benci dengan Fabian. Fabian yang ia kenal sebagai teman beberapa waktu lalu, benar-benar berubah drastis di matanya.
"Met—"
"Eh setan!" pekik Meta kaget. Dia nyaris melompat, dan lari karena sapaan dari Fabian. Kemudian, Meta berdehem. Berkacak pinggang sambil mendongakkan wajahnya tinggi-tinggi, memandang Fabian dengan begitu ketus. "Ada apa lo!" tanyanya setengah membentak. Sebenarnya dia sudah ingin menampar, meninju, atau melakukan apa pun penganiayaan kepada cowok ini. Hanya saja dia berusaha tahan, karena biar bagaimana pun, cowok ini adalah sepupu dari Yoga. Cowok lainnya yang begitu baik dengannya.
"Gue mau ngomong sesuatu penting ama elo, Met," kata Fabian setelah melihat ekspresi Meta yang tampak lebih tenang.
"Yaudah sih, ngomong aja. Gue dengerin, kok," jawab Meta lagi masih dengan nada ketusnya.
"Nggak di sini juga. Kita cari tempat yang enak buat ngobrol, ya."
"Cari tempat buat ngobrol apa cari tempat buat ngelecehin gue?" seloroh Meta.
Fabian agaknya kaget, kemudian dia tersenyum kaku sambil menggaruk pundaknya. "Nggak gitu juga, Met. Serius, deh, cari tempat yang enak buat ngobrol."
"Oke, gue yang nentuin tempatnya,"
Setelah keduanya setuju, mereka pun langsung melaju menuju tempat yang Meta inginkan. Tak jauh dari apartemen Yoga ada sebuah taman cukup ramai, dan menurut Meta itu adalah tempat teraman untuknya. Sebab kalau Fabian hendak melakukan sesuatu, dia bisa langsung lari menuju apartemen.
"Lo tahu dari mana di sini ada tempat nongkrong enak?" tanya Fabian, mengambil posisi duduk pada sebuah kursi panjang yang ada di taman itu. Sementara Meta, memilih untuk tetap berdiri sambil memeluk tubuhnya.
"Lo nggak usah basa-basi, deh, Bi. Lo mau ngomong apa? Cepetan!" kata Meta tak sabaran.
Fabian menahan napas lagi, sambil melihat rambut panjang Meta yang tergerai indah. Kulit putih Meta yang benar-benar begitu ingin dia sentuh, bibir ranum Meta yang sangat menggoda. Dan wajah Meta yang selalu ingin ia bingkai dengan kedua tangannya.
"Tentang yang kemarin—"
"Mau bahas masalah itu?" kata Meta berhasil membuat Fabian kembali terdiam. "Enggak usah lo bahas, deh. Gue udah cukup tahu siapa elo, dan betapa menjijikkannya lo karena permainan jahat lo itu. Bi, gue nggak nyangka ya lo bener-bener tega. Ngerendahin martabat cewek di depan ratusan karyawan perusahaan. Terlebih Kinan, Bi. Kinan itu sahabat elo, cowok Kinan itu sahabat elo. Tega banget sih lo ngehancurin kehidupan Kinan, Bi? Apa lo nggak mikir gimana perasaan cowok Kinan kalau tahu kejadian kemarin, hah? Maksud lo tuh apa sih bikin permainan menjijikkan kayak gitu? Apa!"
"Karena gue cinta ama elo, Met!" teriak Fabian sambil berdiri.
Meta memandang Fabian tak percaya. Kemudian dia melangkah mundur karena sadar jika Fabian berjalan mendekatinya.
"Karena gue cinta ama elo. Itu sebabnya gue buat permainan bodoh itu. Gue ingin lihat, apakah elo bakal datang ke gue terus nyium gue. Apakah elo juga suka ama gue, Met. Tapi nyatanya, yang gue liat, elo malah dateng ke Yoga dan nyium dia. Apa lo sadar sama apa yang udah lo lakuin ama Yoga, Met?" tanya Fabian.
Sesaat, Meta terdiam mendengar perkataan Fabian itu. Apa, Fabian mencintainya? Apa dia tidak salah dengar tentang perkataan Fabian itu?