Reista mengerjapkan matanya perlahan, sakit kepala yang dideritanya bertambah berkali lipat saat matanya benar benar terbuka. ruangan dengan pencahayaan yang terang membuat Reista mengernyit bingung, bau obat obatan dan rasa sakit di telapak tanganya membuat Reista sadar bahwa saat ini dia tidak berada di kamarnya.
"kau sudah sadar Nak?" suara ibunya membuat Reista menengok kearah samping dan dilihat mata sembab tercetak jelas diwajah perempuan yang sangat menyayangi dirinya.
"Mom? kenapa Mommy kemari? ada apa dengan wajah Mommy?" pertanyaa Reista membuat ibunya menggeleng pelan, mengelus lembut rambut Reista dan mencium keningnya.
"Mommy sedang bahagia, anak perempuan Mommy sebentar lagi akan memberikan Mommy cucu". kerutan di dahi Reista terbentuk, Reista tau maksud dari perkataan ibunya. dia tidak bodoh untuk bertanya lagi tentang kenyataan bahwa dirinya Hamil.
Namun bukan itu yang membuat Reista tiba tiba gelisah, bukan pendapat seluruh keluarganya, namun pendapat suaminya.
"kamu tidak usah memikirkan hal yang tidak perlu sayang, Ada kami disini". kini giliran nyonya gornio yang mengelus puncak kepala Reista, senyum dari seorang mertua kepada menantunya setulus ini. mungkin Reista tak akan mendapatkan di tempat lain.
"Reista hanya senang Mom, pantas saja akhir akhir ini badan Reista mudah lelah. aku bersyukur Bahwa Tuhan mau menitipkan ciptaannya didalam rahimku".
"Terimakasih ya nak, kamu memang menantu terbaik yang Mommy punya. mulai sekarang, Mommy mau tinggal sama kamu dirumah kalian. boleh?". pertanyaan nyonya gornio membuat Reista sedikit tenang, jika biasanya tak ada menantu yang mau tinggal satu atap dengan ibu mertuanya, namun disini Reista sangat ingin tinggal dengan ibu mertua sekaligus ibu kandungnya. setidaknya itu bisa membuat Reista mengalihkan pikirannya yang bisa menyebabkan janinnya rentan.
"tentu boleh Mom, Reista senang bisa ada yang jagain Reista".
"kamu memang idaman, Mommy kamu juga akan sering datang kerumahmu".
"bener kan Mom? kenapa Mommy gak tinggal sama kami juga?" tanya Reista kepada ibu kandungnya.
"kakakmu sayang, kamu tau sendiri dia sangat manja di umurnya yang sudah tua itu. sarapan dan makan malam harus Mommy yang siapkan, tapi Mommy janji akan sering sering kerumah kalian. kalau kamu mau sesuatu bilang saja ya".
"Reista senang punya dua ibu yang menyayangi Reista seperti ini". Reista sedikit terharu saat kedua tanganya digenggam oleh kedua malaikat perempuan tak bersayap.
suara ketukan pintu membuat kami menengok ke arah pintu, disana sudah ada Ramelson dan juga Renandra. anak laki lakiku itu langsung berlari ke arahku dan memelukku erat. senyum di bibirnya membuatku mau tak mau ikut tersenyum.
"Mom, kata Oma dan Nini. Renand mau punya adik baru, itu benar kan Mom?" pertanyaan Renandra membuat Reista mengangguk dan tersenyum.
"tentu, disini ada adik yang harus renand jaga dan sayangi". Reista menunjuk kearah perutnya, Renand melihat dengan antusias dan mengelus perut Reista perlahan. ada rasa haru di hati Reista melihat senyum anaknya. senyum satu keluarganya. walaupun Reista tau saat ini Ramel hanya diam tanpa mengucapkan selamat atau mencium keningnya. tidak apa, mungkin suaminya masih perlu berpikir akan hal ini.
"Renand bakalan punya adik Oma, renand pasti jaga adik dan sayangi. nanti Renand bakalan kasih mainan Renand ke adik baru. semuanya!! kamar renand juga boleh buat adik". celoteh renand membuat satu ruangan tertawa lucu. disini memang sudah ada ayah Reista dan ayah mertuanya. mereka sedari tadi hanya menyimak dan tersenyum sayang kearah Reista. membiarkan para ibu ibu menunjukkan keantusiasanya.
"berarti nanti Renand harus belajar siapkan bekal sendiri ya". ledek Reista ke anak laki lakinya itu.
"tentu Mom, Renand harus bisa siapkan bekal sendiri. pasti Mommy harus jagain adik. Renand bakalan bantu Mommy juga jaga adik baru".
"pintar anak Mommy". Reista dengan gemas mencium kedua pipi anaknya, Reista sadar akan satu hal. cinta yang tulus datang dari orang orang yang melihat ketulusan itu. ada pengorbanan dan rasa sakit yang harus diterima demi mempertahankan kebahagiaan ini.
mungkin semua ini harus Reista tukar dengan keadaan rumah tangganya dengan Ramel yang entah akan seperti apa akhirnya.
"kapan Reista bisa pulang Mom?" pertanyaan itu diajukan untuk ibu mertuanya.
"sebentar lagi, saat cairan infus sudah habis. kamu sudah boleh pulang".
"baiklah Mom". Reista hanya mengangguk mengerti, dirinya kemudian merebahkan punggungnya lagi ketempat tidur. dirinya mudah lelah bahkan hanya karena berbincang sebentar.
Renandra duduk disampingnya dan mengelus tangan Reista pelan, membuat tubuh Reista semakin nyaman dan merasa mengantuk.
Reista membiarkan suara suara obrolan dari keluarganya menjadi penghantar tidur, helusan tangan anaknya semakin membuat Reista terlena untuk kembali ke alam mimpi.
"tidurlah Mom", itu suara terakhir yang Reista dengar, dan kemudian gelap dan alam mimpi menghampiri dirinya.
"Reista sudah tidur?". pertanyaan tuan Gornio membuat nyonya gornio mengangguk mengiyakan.
hembusan nafas kasar membuat semua orang di ruangan itu diam tak bersuara, namun tidak bagi Renand yang tetap setiap bersenandung kecil menjaga Mommynya.
"maafkan saya Tuan Wiltson, karena membiarkan anak perempuan Anda merasa sedih belakangan ini". suara tuan Gornio membuat tuan Wiltson atau ayah Reista hanya tersenyum tenang.
"tidak apa, dalam kehidupan rumah tangga masalah masalah kecil memang silih berganti. saya hanya ingin memberikan saran untuk nak Ramelson". Ramel yang merasa namanya disebut langsung menengok dengan wajah yang memperlihatkan rasa lelah dan penyesalan..
"saya seorang ayah yang tidak ingin anak perempuannya tersakiti. namun disini saya tidak berhak untuk ikut campur, Reista masih setia kepada dirimu. dia tidak menceritakan apapun yang ia rasakan kepada kami kedua orang tuanya, itu berarti dia yakin bahwa dia bisa menyelesaikan urusannya sendiri. namun karena saat ini Reista sedang mengandung, saya minta tolong untuk jaga dia semampu dirimu. walaupun kamu belum mencintai anak saya, namun kamu pasti tau bahwa anak saya sudah sangat mencintai dirimu". perkataan lembut ayah Reista membuat Ramel hanya bisa mengangguk, dirinya seperti laki laki yang tidak bertanggung jawab. suara hati seorang ayah kepada anak perempuannya membuat Ramel malu menyandang gelar sebagai suami Reista.
mengapa Ramel begitu bodoh karena menyakiti hati istrinya? dirinya sadar bahwa ia sudah menyakiti Reista, namun ada saat dimana dirinya melakukan hal itu lagi dan lagi.
"maaf karena saya belum cukup mampu menjadi suami yang baik, terimakasih karena sudah mau memberikan lagi kepercayaan itu kepada saya. saya akan berusaha untuk menjaga kepercayaan itu dan menghormati Reista sebagai istri dan ibu bagi anak anak saya".
"saya tau kamu hanya sedang salah arah, kita sebagai orang tua kamu disini akan menuntun kamu kedalam jalan yang benar. tidak ada artinya kami menyalahkan kamu, kamu hanya perlu diberi nasihat dan mengembalikan kamu kejalan yang seharusnya. ingatlah satu hal nak, seberapa jauh pun kamu melangkah, tempatmu pulang hanya satu. istrimu Reista dan kami keluargamu".
"terimakasih Daddy Wiltson".
"ya, kamu masih memanggilku dengan seperti itu. kamu memang anak yang sopan, namun mungkin sedikit menyebalkan". tawa ayah Reista setelah mengatakan itu membuat suasana sedikit mencair. mereka merupakan kedua keluarga yang selalu mengutamakan pembicaraan daripada emosi. karena mereka yakin, setiap masalah tidak perlu diselesaikan dengan emosi.
Cinta dikehidupan mereka memberikan efek besar dalam menyelesaikan masalah, bohong jika ada orang yang bilang cinta hanya untuk orang orang bodoh yang naif. karena pada hakekatnya cinta bisa menjadi penguat dalam suatu rumah tangga.