Gina menatap ponselnya yang terus berdering tanpa henti, ada tiga nomor berbeda yang terus menghubunginya sampai ponselnya kehabisan daya. Setelah ponselnya benar-benar mati Gina kemudian keluar dari kamarnya untuk membeli makanan, namun lagi-lagi ia mendapatkan kejutan saat membuka pintu kamarnya.
"Siapa kalian?"
"Kami diminta Nyonya besar dan Tuan Julian untuk menjemput anda, Nona."
Gina menaikkan satu alisnya. "Siapa yang minta dijemput? Aku tidak minta dijemput, lebih baik kalian pulang!"sahut Gina ketus sembari menutup pintu kamarnya kembali, akan tetapi gerakan Gina terhenti karena salah seorang dari pria itu menahan pintu dengan kuat sehingga Gina tak bisa menutup pintunya kembali.
"Hei!!"
"Maaf Nona, kami hanya menjalankan perintah. Tolong bekerjasamalah."
Gina masih tak bergeming, ia masih berdiri didepan pintu kamarnya berusaha menutup pintu kamarnya dari dalam. Namun kini Gina sadar upayanya sia-sia karena ada dua pria berbadan besar yang kekuatannya lebih besar darinya berusaha menahan pintu apartemennya agar tetap terbuka.
Karena keempat pria itu tak bisa diajak kompromi akhirnya Gina memutuskan untuk mengikuti kemauan mereka untuk ikut pergi ke rumah keluarga Sanders, sebenarnya Gina memang ingin pergi kerumah keluarga ayahnya untuk melihat kondisi sang ayah pasca ia memberikan surat kematian ibunya.
"Baiklah, beri aku waktu lima menit untuk bersiap,"ucap Gina mengalah.
"Baik Nona."
Kedua pria yang menahan pintu kamar Gina pun melepaskan tangannya masing-masing dari daun pintu, sehingga Gina bisa menutup pintu kamarnya kembali. Sepertinya yang dikatakan sebelumnya, Gina benar-benar menghabiskan waktu lima menit untuk bersiap. Ia hanya membawa tas kecil yang berisi dompet dan ponsel saja, meski ini adalah pertemuan pertamanya dengan keluarga sang ayah tapi Gina tak mengganti pakaiannya. Ia tetap memakai pakaian casual dengan celana jeans sobek-sobek dan t-shirt berwarna putih yang dilengkapi dengan jaket, Gina juga tak merias wajahnya. Ia benar-benar menjadi dirinya sendiri saat ini.
"Ok, aku siap,"ucap Gina pelan saat keluar dari kamarnya.
Keempat orang suruhan Julian pun menatap Gina dari atas sampai bawah tanpa berkedip.
"Anda yakin siap pergi dengan tampilan seperti ini, Nona?"
"Iya, memangnya kenapa? Apa ada yang salah?"tanya Gina ketus.
"T-tidak Nona, tidak ada yang salah,"jawab keempat pria itu kompak.
"Ya sudah kalau begitu,"ucap Gina santai sambil mengangkat kedua bahunya keatas, setelah berkata seperti itu Gina kemudian berjalan menuju pintu darurat yang memiliki banyak anak tangga.
Melihat Gina berjalan menuju pintu darurat keempat pria itu lagi-lagi menghadang langkahnya.
"Ada apa lagi?"tanya Gina marah.
"Kita bisa menggunakan lift, Nona."
Gina menghela nafas. "Aku memiliki trauma dengan lift itu, aku pernah terjebak malam-malam pada saat akan mencari makanan. Karena itu aku lebih memilih lewat anak tangga saja, mencari aman,"jawab Gina berbohong.
Keempat pria itu pun langsung diam dan tak bisa bicara apa-apa lagi selain mengikuti apa Gina lakukan, perbedaan umur memang sangat terlihat saat ini. Gina nampak berjalan tanpa ada kesulitan sama sekali ketika menuruni anak tangga, sementara keempat anak buah sang ayah nampak terengah-engah kelelahan. Gina terkekeh melihat para pria itu, tanpa rasa bersalah Gina kemudian melangkahkan kakinya ke minimarket yang berada di lobby apartemen. Karena belum makan Gina membeli mie instan cup yang bisa dibawa kemana-mana, dengan toping keju mozzarella yang bisa ditarik-tarik Gina membawa mie instan cup kesukaannya menuju ke mobil berwarna hitam yang sudah disiapkan oleh keempat anak buah ayahnya.
Gina menikmati makanannya dengan tenang seorang diri dibangku belakang, tingkah Gina yang sedikit bar-bar membuat keempat bodyguard Julian menggelengkan kepalanya.
Sebenarnya tak ada yang salah dengan sikap Gina, Gina bersikap selayaknya gadis seusianya. Yang riang dan apa adanya, hanya saja karena keempat bodyguard itu terbiasa melihat cara bersikap Selena dan Rosa kedua adik tiri Gina mereka merasa sikap Gina sangat jauh sekali jika dibandingkan dengan kedua gadis cantik yang selalu pintar berpakaian itu.
Gina menikmati makanannya sepanjang perjalanan menuju kediaman keluarga Sanders, sebenarnya Gina tak hanya makan saja. Pasalnya ia sedang memikirkan cara untuk bersikap di hadapan semua anggota keluarganya, apalagi dihadapan Vanessa Sanders yang mengambil posisi ibunya sebagai nyonya keluarga Sanders.
"Kita sudah sampai, Nona,"ucap salah seorang bodyguard Julian pelan ketika sudah sampai di depan gerbang besar yang menjulang tinggi, gerbang yang selama ini Gina lihat dari kejauhan.
"Anda tak usah takut, Nona. Ini adalah rumah keluarga anda,"imbuh salah satu bodyguard pelan mencoba menenangkan Gina.
Gina yang baru saja minum kemudian menyeka mulutnya menggunakan tangannya. "Untuk apa aku takut? Memangnya aku penjahat? Penjahat yang sebenarnya justru ada di dalam rumah ini."
Damn, satu kosong.
Ucapan Gina membuat keempat bodyguard itu diam, mereka tak menyangka Gina akan setenang itu. Padahal sebelumnya mereka mengira Gina akan merasa tertekan dibawa pulang kerumah keluarga besarnya.
Gina membuka pintu mobil perlahan dan menurunkan kakinya di halaman rumah keluarga ayahnya, kalau sebelumnya Gina datang sebagai pelayan. Kini Gina datang sebagai dirinya sendiri.
Beberapa pelayan yang sudah diberitahu perihal kedatangan Gina nampak berjajar di depan pintu utama, menyambut kedatangan putri pertama keluarga Sanders yang dilahirkan seorang wanita yang tak dianggap oleh keluarga besar Sanders. Gina melangkah kakinya dengan tenang tanpa rasa takut, rambutnya yang diikat ekor kuda nampak menari-nari dengan indah tertiup angin. Melihat Gina berjalan dengan tenang membuat para pelayan berbisik-bisik di belakangnya, mereka membicarakan Gina yang ternyata lebih cantik dari kedua nona mereka meski memiliki warna mata yang sama.
Jantung Gina berdebar cukup keras saat melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah ayahnya, rumah yang belum pernah diinjak ibunya sampai ia meninggal.
"Gina... Georgina cucuku!!"pekik Barbara Sanders dengan keras membuyarkan semua lamunan Gina yang mengingat sang ibu.
Barbara Sanders yang sudah tak sabar bertemu Gina pun langsung berlari menghampiri Gina yang baru sampai di depan pintu, bukan hanya Barbara saja yang langsung menatap Gina. Semua orang yang ada di ruangan itu juga saat ini menatapnya, termasuk kedua saudara tirinya beserta Diego Alvarez Sanders yang tengah berdiri di samping sang ibu.
Yohanes Sanders terdiam tanpa kata saat melihat cucu pertamanya, darah dagingnya yang dilahirkan wanita yang sangat ia benci saat ini sudah dipeluk dan dicium sang istri. Kedua mata hijau Yohanes yang mulai berkurang daya pandangnya nampak menatap Gina tanpa berkedip, sementara itu Julian terlihat menyeka air matanya saat melihat Gina. Putri yang terpaksa ia tinggalkan saat ia berada dalam kandungan Sandra, putri yang tak pernah merasakan sentuhan kasihnya sebagai ayah.
Patrick Davidson yang berdiri dibelakang Julian pun nampak mencengkram pundak sahabatnya dengan lembut. "She's your daughter, Julian. Putri yang dilahirkan Sandra, buah cinta kalian."
Bersambung