webnovel

++ Jonathan's POV Chapter

Sekali lagi, Aku melihat penampilanku di kaca spion. Baiklah, Jonathan, kau sudah cukup tampan untuk bertemu Olivia. Oh, shit. Aku memang gila. Dengan cekatan, ku buka pintu mobil dan memasuki area Central Park yang sedang kosong. Well, jangan tanyakan kenapa Central Park bisa kosong, karena aku sama sekali tidak mau pamer.

"Bagaimana?" Aku bertanya pada pria berambut putih yang tak aku ketahui namanya, membuatnya tampak mengangguk, "Semuanya sudah selesai. Anda bisa melakukan cek ulang pada pekerjaan kami." Aku mengangguk. Sambil menunggu Olivia, bukanlah hal sia-sia untuk mengelilingi Cetral Park yang seolah jadi milikku dalam sehari. kutatap balon-balon yang menggantung sepanjang ranting pohon, membuatku tersenyum puas. Well, ini kerja yang bagus. Aku sama sekali tidak sabar untuk melihat wajah merah gadis itu dan matanya yang berbinar-binar melihat kejutan dariku. Ya, ekspresi wajah yang selalu membuatku ketagihan.

Aku terus berjalan dan melihat perahu kayu berjejer di danau, dengan dekorasi yiang sesuai ekspektasiku. Perahu kayu itu dihiasi oleh bunga berwarna warni, dengan lampu lentera di setiap sudutnya. Lagi-lagi, aku merasakan sudut bibirku yang terangkat ketika melihat ekspresi senang Olivia dalam bayanganku.

Aku terus berjalan, menatap ayunan kayu biasa, semuanya dihias dengan rangkaian bunga. Membuatnya terlihat begitu indah dan romantis. Demi Tuhan, Olivia pasti menyukainya. Disamping ayunan kayu, terdapat dua pasang sepeda pancal yang sengaja aku sewa. Ya, aku akan berkeliling Central Park bersamanya.

Aku menatap jam tanganku. Sudah hampir jam 4 sore, dan Oliv belum juga datang. Dengan segera, aku membuka ponselku dan mengiriminya pesan singkat.

To : My Sugarsweet

From : Jonathan Marteen

Aku menunggumu, baby

"Tuan Marteen" Pria yang tadi tampak kembali, membuatku menoleh ke arahnya.

"Ruangan yang anda minta sudah siap. Apakah anda ingin melihatnya?"

Aku mengangguk sebelum akhirnya mengikuti langkah pria itu. Ia membawaku ke dalam ruangan, di salah satu sudut Central Park yang memang sengaja aku sewa. Dan lagi-lagi aku tersenyum puas akan kerja mereka, "Bagus sekali" ucapku, membuat pria itu tersenyum, "Kalau begitu, kami akan memberikan privasi untuk anda. Kami akan menyiapkan makanan untuk dinner anda dan akan kembali sekitar pukul tujuh malam."

Aku mengangguk mengerti.

"Mr. Marteen .." Pria itu kembali memanggilku, membuatku menoleh ke arahnya tanpa mengucapkan apapun.

"Wanita itu pasti sangat beruntung bisa memiliki anda." Aku tersenyum. Tidak, dia tidak beruntung. Akulah yang beruntung.

"Kalau begitu, saya permisi." Aku kembali tersenyum, sebelum ia meninggalkanku di ruangan sendiri. Aku memilih untuk duduk di kursi yang telah disiapkan, kemudian membuka lagi ponselku.

To : My Sugarsweet

From : Jonathan Marteen

Olivia? Kau dimana? Apakah dosenmu memberikan waktu tambahan? Demi Tuhan. Aku akan memberikan dosen itu pelajaran.

Kau memang gila, Jonathan.

Aku terkekeh menyadari apa yang ku lakukan. Aku bahkan tidak pernah membeli buket bunga mawar untuk para wanita setelah Andrea. Tapi lihat, bagaimana mungkin seorang gadis 20 tahun membuatku terlihat seperti remaja yang tengah dimabuk cinta. Aku melakukan segala hal romantis, hanya demi membuat gadisku tersenyum.

Gadisku??

Aku menghela nafas panjang. Aku mencintai gadis itu. Aku benar-benar mencintai Olivia Natasha. Awalnya, aku mencintainya layaknya anakku sendiri. Aku hanya ingin melindunginya, membuatnya tertawa, menghiburnya, layaknya apa yang selalu ku lakukan pada Alva.

Tapi saat ini??

Ketika hatiku berdetak kencang saat ia berada di pelukanku. Ketika ia menggodaku, dan tak ada sedikitpun perasaan jijik melihat tingkahnya. Ketika aku merasa, waktu menjadi abadi bersamanya. Akankah aku mengatakan bahwa itu hanyalah perasaan cinta seorang ayah kepada anak perempuannya??

What the fuck, Jonathan??

Namun, sekali lagi. Perasaan gundah itu hilang ketika aku bersamanya. Bersama Olivia, aku merasakan kebahagiaan. Aku menyukai semua hal tentang gadis itu. Aku menyukai senyumannya, mata bulatnya, pipi tembamnya, hidung tidak mancungnya,tubuhnya.

Aku mengerang.

Aku juga menyukai mulutnya yg memainkan kejantananku. Aku suka bibirnya yang mencumbuku. Aku suka segala hal yang ia lakukan, yang membuat Jonathan Marteen begitu terangsang.

Sialan.

Aku benar-benar menyukai gadis itu, lebih dari apa yang aku perkirakan. "Olivia, dapatkah aku menjadi alasanmu untuk tersenyum?"

Shit, bukan begitu, Jonathan.

"Olivia, aku cinta padamu. Maukah kau menjadi kekasihku?"

Gila.

Gadis itu pasti akan lari jika mendengat pria tua mengatakan hal ini di depannya.

"Olivia. Aku benar-benar mencintaimu. Aku bisa gila karenamu."

Seriously. Kau benar-benar terdengar seperti psikopat, Jonathan!

"Olivia ... "

Aku tertawa kecil. Lihat. Aku benar-benar sudah gila. Aku ingin memeluk tubuhnya saat ini.

To : My Sugarsweet

From : Jonathan Marteen

Kau dimana? Aku benar-benar merindukanmu. Cepatlah datang. Aku menunggumu.

❤❤❤❤❤

Perlahan, aku membuka mataku, menyadari langit yang sudah menggelap. Aku tersentak, dan dengan cepat melihat jam tanganku yang sudah menunjukkan pukul setengah 7 malam.

"Dimana Olivia?"

Aku mengambil ponsel, mengecek barang kali ada pesan balasan, namun hasilnya nihil. Olivia tidak membalas pesannya. Aku segera menelponnya. Bukan suara Olivia, justru suara operator yang mengatakan bahwa nomer Oliv tidak aktif. Aku kaget. Mendadak jadi khawatir. Aku menelpon Oliv untuk kedua, ketiga, keempat dan kelima kalinya. Dan tetap saja, ponsel gadis itu tidak aktif. Dengan perasaan yang tidak enak, akhirnya aku beranjak dari tempat itu. Lagi, aku menempelkan ponsel di telingaku.

"Hallo, batalkan makan malamnya. Aku akan tetap membayar penuh." Aku segera berlari ke arah mobilku. Demi Tuhan. Dimana Olivia?

❤❤❤❤❤

Aku mendesah khawatir. Aku baru saja dari kampus, dan mendapat kabar bahwa jadwal Olivia memang sampai jam 2 siang. Tidak ada tambahan. Lalu dimana gadis itu? Apakah dia lupa? Tetapi, dia juga tidak mengaktifkan ponselnya.

Pikiranku berlihat pada Alva. Ya, Alva pasti dirumah. Dengan segera aku melajukan mobilku menuju rumah. Aku harus minta bantuan Alva. Gila, gadis itu benar-benar membuatku khawatir. Ketika sampai dihalaman rumah, aku segera memasukkan mobilku di garasi. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, mendesah lega karena menyadari bahwa Alva memang ada di rumah.

Dengan cepat, aku menuju kamar Alva. Namun, sosok gadis cantik yang sedang terduduk di sofa ruang keluarga itu membuatku menghela nafas lega. Itu Olivia. Aku hendak berlari memeluknya, namun berhenti ketika menyadari bahwa Oliv tidak sendirian. Di hadapannya, ada Alva. Dan Oliv tengah menggenggam tangan Alva. Membuatku menegang, menatap mereka tak percaya. Apa ini? Kenapa ...

Dadaku terasa begitu sesak hanya dengan melihat Oliv yang menyentuh tangan Alva?

"Kau tahu? Jika ada seorang gadis yang menyia-nyiakan pria sepertimu, maka gadis itu adalah orang bodoh. Gadis itu sama sekali tidak tahu apa arti perjuangan." Ucap Olivia. Tanganku mengepal. Ku gigit bibir bawahku hingga terlihat memutih. Aku bersumpah, rasanya sakit. Sakit sekali. Alva tampak menunduk, "Maaf"

"Jangan" Oliv memotong, "Jangan pernah meminta maaf, karena bagiku. kau bersih, Alva."

"Olivia ... "

Perlahan, aku tertawa pada diriku sendiri. Sebenarnya, apa yang sedang kau lakukan?

Apakah kau gila, Jonathan?

Kau benar-benar terjatuh pada pesona gadis itu?

Dan parahnya, kau sudah benar-benar terjatuh begitu dalam, hingga kau melakukan sesuatu yang sia-sia. Dan kau ....

Kau begitu naif, Jonathan. Kau menganggap semua perlakuan Olivia padamu adalah sinyal positif yang gadis itu berikan. Lagipula, dia 20 tahun. Mana mungkin dia mencintai pria tua yang lebih pantas menjadi seorang ayah untuknya. Dia masih muda dan butuh kebebasan. Dan kebebasan itu hanya akan ia peroleh dengan Alva.

Meskipun begitu, aku tidak bisa berbohong tentang perasaanku. Aku merasa jantungku seolah terkoyak dengan puluhan pedang tajam, ketika pikiran itu memasuki otakku. Olivia mungkin hanya menjadikanku sebagai pelampiasan.

"Sungguh, aku tidak mau menjadi orang bodoh."

Ucapan yang keluar dari gadis yang ku cintai itu membuatku menutup mata, merasakan ait mata yang mulai membasahi kedua pipiku. Aku terlalu senang dengan perasaan sepihakku. Aku terlalu senang akan angan-anganku. Tanpa tahu rasanya akan sesakit ini. Ketika aku memikirkan cara untuk membuat gadis itu tertawa, maka, dia bahkan sudah tertawa dengan pria lain yang jauh lebih cocok untuknya.

Alva mencium Oliv.

Membuatku tak lagi menemukan keberadaan Oksigen. Aku menarik dasiku dengan kasar. Menjambak rambutku frustasi. Demi Tuhan, ini benar-benar menyiksaku. Ku hapus ait mataku secara kasar, kemudian melangkahkan kakiku menuju kamar dengan penuh kemarahan. Aku marah. Aku marah pada diriku sendiri yang terlalu percaya diri.

Ku tutup pintu kamarku dengan penuh emosi. Ku buang seluruh barang-barangku dengan marah. Aku berjalan menuju kamar mandi. Menatap tampilanku yang sudah sangat berantakan. Aku benar-benar marah dan sakit hati. Rasanya begitu sakit di dalam dada. Hingga tanpa ku sadari, aku mulai meninju kaca di hadapanku hingga rerak. Aku hanya butuh tahu, apa aku bisa mendapatkan rasa sakit yang lebih sakit dari apa yang dadaku rasakan. Namun jawabannya, tidak.

Tidak bisa.

Próximo capítulo