webnovel

part 10

Qiandra harusnya bekerja hari ini tapi karena tubuhnya yang sakit ia mempercayakan pekerjaannya pada sekertarisnya. Di antara teman-temannya hanya Qiandra yang berprofesi sebagai seorang wakil CEO. Qiandra adalah penerus perusahaan Kingswell, ayah Ezell bahkan sudah membuat surat wasiat yang menyatakan bahwa Qiandra akan mewarisi sebagian dari hartanya dan sebagiannya lagi tentunya milik Ezell.

Pintu kamar Qiandra terbuka, yang masuk siapa lagi kalau bukan Ezell. Pria itu mendekat ke Qiandra yang masih terbaring di atas ranjang.

"Kau benar-benar lemah, Qiandra. Hukuman seperti itu saja sudah membuat kau terbaring disini. Ckck, yang seperti ini menawarkan hidupnya padaku?" Tiada hari tanpa menghina Qiandra. Sepertinya ini jadi kebiasaan baru Ezell. Menghina Qiandra, menyiksa Qiandra dan meniduri wanita itu hingga waktu berjalan tanpa disadari. "Aku akan melepaskanmu pagi ini tapi nanti sore kau harus sudah siap untuk melayaniku."

Qiandra hanya diam. Ia tak punya pilihan untuk menolak.

"Katakan kau mengerti ucapanku, Qian."

"Aku mengerti." Tak menunggu lama Qiandra segera menjawab kata-kata Ezell.

Ezell tersenyum tenang, ia mendekat dan mengecup kening Qiandra. Tubuh wanita itu panas, terserahlah. Itu bukan urusannya. Setelahnya Ezell keluar dari kamar Qiandra.

"Elly, jaga Nona Qiandra baik-baik. Berikan apapun yang dia butuhkan!" Ezell memberi perintah pada pelayan utama di kediamannya.

"Baik, Tuan."

Setelahnya Ezell melangkah kembali. Ini hari ketiga ia keluar dari rumah sakit tapi ia sudah melakukan banyak pekerjaan. Entah itu perusahaan, entah itu cartelnya, Ezell selalu lebih fokus pada dua hal itu dari pada dirinya sendiri.

Oriel tengah berlibur ke villa jadi dirinyalah yang harus mengontrol cartel sampai Oriel kembali, sementara Aeden dan Zavier, dua orang itu juga memiliki urusan. Sebenarnya tak perlu Ezel kontrol karena bawahan mereka yang bekerja di cartel tersebut bisa menjaga cartel tersebut dengan baik. Tapi Ezell adalah orang yang suka bekerja, satu-satunya hal yang ia dapatkan dari ayahnya adalah kegilaannya terhadap bekerja.

♥♥

Setengah hari sudah Qiandra berada di kamarnya. Ia merasa suntuk karena yang ia lihat hanya acara televisi. Akhirnya Qiandra keluar dari kamarnya. Ia melangkah menyusuri rumah Ezell yang sepenuhnya belum ia jelajah.

"Nona mau kemana?" Pertanyaan itu membuat langkah kaki Qiandra terhenti.

"Ruang membaca, dimana ruangan membaca?"

"Oh, ruangan membaca. Mari saya antar." Tawar Elly.

"Tidak usah. Tunjukan saja dimana."

"Ruangan kedua setelah anda berbelok di ujung lorong."

"Terimakasih."

Qiandra segera menyambung langkah kakinya dengan pikiran yang tak tahu kemana arahnya.

Qiandra membuka pintu ruangan yang ia rasa ruangan yang dimaksud, pintu terbuka dan Qiandra masuk ke dalam sana.

Ia menutup pintu dan membalik tubuhnya. Seketika ia membeku. Ruangan yang ia masuki bukan ruangan baca, bukan pula ruangan dengan berbagai macam peralatan BDSM. Ruangan itu diisi oleh banyak foto, mata Qiandra memandangi dindinng-dinding yang dipenuhi oleh banyak lukisan dan foto seorang wanita cantik. Bukan, itu bukan Celinna, tapi itu adalah mendiang ibu Ezell.

Qiandra melihat dari satu foto ke foto lain. Dari wanita muda sendirian, hingga ke wanita muda yang menggendong bayi kecilnya dengan senyuman yang sangat bahagia. Entah kenapa melihat foto itu membuat air mata Qiandra terjatuh. Bayi di dalam gendongan sang ibu adalah Ezell.

Beralih lagi ke foto lain, masih foto ibu Ezell dan Ezell, tapi di potret selanjutnya sang ibu tengah menyuapi Ezell. Foto selanjutnya, ketika sang ibu mengangkat tinggi Ezell, wajah keduanya nampak tersenyum lebar. Sebuah potret yang benar-benar menggambarkan kebahagiaan.

Setiap foto menjelaskan tumbuh kembang Ezell. Foto yang Qiandra lihat berhenti di saat wajah Ezell terlihat sama seperti ketika ia datang ke kediaman Ezell. Foto itu diambil ketika Ezell berulang tahun yang ke 16 tahun. Wajahnya masih sama bahagianya dengan foto-foto lainnya.

Air mata Qiandra makin deras jatuh ketika ia menyadari, ia tak pernah melihat senyuman Ezell yang seperti ini. Apakah terakhir Ezell tersenyum adalah ketika ibunya memilih bunuh diri?

Dada Qiandra terasa sangat sesak. Apakah ia dan ibunya benar-benar membuat seseorang sangat menderita? Apakah ia dan ibunya telah mengubah senyuman bahagia seorang anak menjadi kesedihan mendalam? Kaki Qiandra terasa lemas. Bukan karena ia lemah tapi karena kenyataan yang terjadi adalah bahwa ia benar-benar membuat hidup seseorang menderita. Lihat saja gambar-gambar bahagia di dinding, bagaimana bisa ia dan ibunya menghentikan kebahagiaan itu. Bagaimana bisa?

Qiandra menyeret kakinya melangkah ke sebuah rak. Ia meraih satu kaset yang bertuliskan, Putraku ketika belajar melangkah. Qiandra melihat ke arah dvd player. Ia tak ingin melihat isinya karena ia tahu itu pasti akan menyakiti perasaannya, tapi ia penasaran. Ia ingin melihat sosok cantik yang telah melahirkan Ezell. Ia ingin melihat bagaimana Ezell kecil.

Akhirnya Qiandra menonton video tersebut.

"Kemari, sayang, ayo ke Mommy." Suara itu terdengar sangat lembut. Ezell kecil melangkah satu langkah lalu terjatuh. Sang ibu segera menangkap putranya yang terjatuh. "Sakit, hm?" Elizbeth mengelusi kaki Ezell.

Ezell saat itu belum telalu mengerti ia hanya mencoba bangkit lagi.

"Itu baru anak Daddy, tidak cengeng. Ayo melangkah lagi." Suara itu begitu Qiandra kenal. Suara milik Albert. Air mata Qiandra seperti tak pernah kering. Ternyata yang mengambil rekaman Ezell dan ibunya adalah sang ayah.

"Ayo melangkah ke Daddy." Elizabeth berdiri membungkuk di belakang Ezell kecil. Ia menjaga putranya agar tak terjatuh lagi.

"Daddy, Daddy, we love you. Daddy tunggu kami." Suara lembut Elizabeth makin menusuk Qiandra. Tak bisa ia tahan lagi. Qiandra bangkit dari sofa dan berlari keluar. Keluarga itu benar-benar bahagia. Bagaimana bisa ibunya tidak punya otak tetap menerima pria yang sudah beristri? Bagaimana bisa?

Dugh.. Qiandra menabrak tubuh seseorang.

"Maaf." Tanpa melihat siapa yang ia tabrak, Qiandra melanjutkan kembali langkahnya. Ia masuk ke dalam kamarnya.

Cklek,, pintu kamar Qiandra terbuka. Seseorang masuk ke dalam sana.

"Nona!" Panggilan itu membuat Qiandra yang tengah menangis mengangkat wajahnya.

"Robert."

Robert mendekat ke Qiandra, "Jangan pernah masuk ke dalam ruangan itu lagi. Tuan akan marah besar jika Nona masuk ke dalam sana." Yang ditabrak oleh Qiandra tadi adalah Robert. "Bersikaplah seakan Nona tidak pernah masuk ke dalam sana. Saya sudah mematikan video yang anda tonton tadi." Robert tak ingin Qiandra disiksa oleh Ezell lagi. Robert adalah salah satu orang yang melihat apa yang terjadi di ruang penyiksaan. Ezell tak main-main tentang penayangan video di kediamannya.

"Aku tidak akan masuk ke sana lagi. Maafkan aku." Qiandra bersuara pelan.

"Istirahatlah, Nona. Satu jam lagi Tuan akan kembali."

"Baiklah."

Robert membalik tubuhnya, kakinya hendak melangkah namun ragu.

"Tuan Ezell tidak pernah membenci anda sebagai seorang Qiandra. Dia hanya membenci siapapun yang berhubungan dengan kematian Nyonya Elizabeth. Jika anda bukan putri wanita yang membuat Nyonya Elizabeth bunuh diri maka Tuan Ezell tidak akan pernah menyentuh anda. Tuan hanya membenci siapapun yang membuatnya terpisah dengan ibunya. Tuan hanya mendendam pada orang yang menari di atas luka hatinya. Dia adalah orang yang pandai menyimpan kesedihannya, tapi karena kedatangan anda Tuan jadi mudah marah. Harusnya sejak awal anda tidak datang pada Tuan, dengan begitu dia tidak akan menyentuh anda. Dia sudah mencoba melupakan siapa ayahnya, dan siapa penyebab kematian ibunya tapi anda mengingatkannya akan luka yang ia rasakan. Akan penderitaan yang ia derita, atas kesepian setelah perginya Nyonya Elizabeth. Atas hal-hal yang harusnya nyata malah menjadi sebuah kenangan. Anda yang telah membuatnya menyiksa anda, anda sendiri yang mendatanginya tanpa sadar bahwa pria tenang itu menyimpan banyak luka." Robert mengeluarkan banyak kalimat, "Bukan salahnya jika ia begini, salahkan saja ibu Nona dan juga ayah Tuan Ezell yang menghancurkan kata kesetian dengan cinta terbagi. Jika anda ingin membenci maka benci saja mereka yang merubah senyuman jadi duka. Benci saja mereka yang mematikan kebahagiaan seorang anak karena keegoisan mereka yang mengatasnamakan cinta." Setelah mengatakan hal itu Robert melangkah tanpa ragu.

Qiandra terdiam, aliran di pipinya terus jatuh. Ia tak tahu harus menyalahkan siapa. Orangtuanya salah, ia juga salah, dan ibu Ezell juga salah. Salah orangtuanya yang tak bisa menahan diri. Salah ia yang tak mencegah ibunya. Salah ibu Ezell yang lebih memilih mati tanpa memikirkan bagaimana nantinya Ezell tanpa dia. Dari semua kesalahan itu hanya satu orang yang merasakan penderitaannya, hanya Ezell. Orangtuanya bahagia, Qiandra juga bahagia, Ibu Ezell lepas dari sakit berbagi, sementara Ezell? Dia abadi dalam luka.

tbc

Próximo capítulo