webnovel

Bab 33

Hari ini sesuai rencana Daffa menemani Rindi melakukan terapi di AMI Hospital. Hari ini Rindi terlihat cantik dengan dres berwarna putihnya, rambutnya ia ikat sebagian. Sehingga terlihat begitu cantik,

Daffa juga terlihat lebih fres dari sebelumnya, bulu bulu di sekitar rahangnyapun sudah di cukur bersih.

Ia menemani Rindi melakukan beberapa proses, mulai dari konsultasi dan di periksa kaki Rindi. Lalu dokter mengintruksikan Rindi untuk berjalan di tempat terapi dengan berpegangan ke kanan kirinya yang terdapat pegangan. Ia mulai berdiri dengan Daffa yang tak melepaskannya,

"Aku takut,"

"Ayo Rindi kamu pasti bisa," ucap Daffa menyemangatinya. "Aku disini untuk menjaga kamu kalau kamu jatuh."

Setelah menghela nafasnya, Rindi perlahan menggerakkan kakinya perlahan-lahan. "Ya benar, kamu pasti bisa."

Rindi terus melangkahkan kakinya perlahan, sebentar lagi sampai ke ujung.

"Kamu bisa kan," Rindi terkekeh saat ia berhasil. Ia tersenyum ke arah Daffa yang masih menampilkan senyumannya pada Rindi.

"Aww," Daffa dengan sigap menahan tubuh Rindi saat ia mulai kehilangan keseimbangannya.

Rindi menoleh ke arah Daffa hingga mata mereka beradu dan bertatapan cukup lama. Daffa maupun Rindi tak ada yang ingin memutuskan satu sama lain hingga deheman dokter menyadarkan mereka.

Daffa membantu Rindi untuk berdiri tegak dan kembali membantunya untuk berjalan perlahan.

***

Setelah melakukan terapi, Daffa membawa Rindi untuk makan siang bersama di tepi pantai karena Rindi ingin pergi ke pantai. Daffa terpaksa harus membawa bodyguard karena saat ini ia sungguh di kejar-kejar para wartawan karena kasus Ibunya itu yang terus mengatakan hal hal aneh di depan media.

Daffa terlihat santai saja menikmati makanannya, Rindi sibuk melihat handphonenya. Sejak semalam Rindi terus membaca berita tentang Daffa.

"Makanlah ini," Daffa menyuapi Rindi membuatnya menghentikan aktivitasnya memainkan handphone.

"Kamu baik-baik saja?" Daffa mengangkat kepalanya menatap Rindi di hadapannya.

"Ada apa? Aku baik-baik saja," ucapnya santai. Rindi bisa melihat ada beban dan rasa sakit di matanya.

"Aku selalu bersamamu," Rindi menggenggam tangan Daffa dan menyimpannya di dada. Daffa menatap Rindi dengan intens hingga dia tersenyum dan membelai pipi Rindi dengan lembut.

"Aku tidak salah memilih kamu," gumamnya.

"Sebaiknya kita makan dulu," ucap Rindi yang di angguki Daffa.

Tak lama televisi yang ada di sana menayangkan sosok ibu Daffa yang menangis. Rindi yang pertama melihatnya membuat Daffa menoleh menatap layar LED itu.

"Saya tidak menyangka putra yang saya besarkn dengan kedua tangan saya ini melawan saya dan lebih memilih wanita cacat itu." Isaknya.

"Seorang Ibu selalu ingin yang terbaik untuk anaknya. Selama ini saya ikhlas Daffa tidak mengakui saya di depan media sebagai Ibunya. Saya akan selalu mendoakannya untuk segala keberhasilan dan kesuksesannya. Saya terlalu menyayanginya sampai saya tidak ingin hal buruk menimpanya."

"Setidaknya dia datang kepada saya dan mengakui saya sebagai Ibunya. Dan kenalkan wanita pilihan dia kalau dia memang mencintainya, saya ingin dia meminta maaf sama saya."

"Saya tidak menginginkan harta dia, saya hanya ingin dia mengakui saya sebagai Ibunya. Sudah cukup penghinaan dan membangkangnya dia sama saya."

Rindi menatap Daffa yang mencengkram kuat garpu dan pisaunya. Ia memegang cengkraman tangan Daffa.

Daffa menatap ke arahnya dengan tatapan yang tak terbaca. "Aku percaya padamu,"

Daffa hanya mampu tersenyum kecil menatap Rindi yang menyunggingkan senyuman manisnya.

***

Mendengar kabar dari Angga, Percy begitu bahagia. Dia seakan menemukan harapan baru untuk menemuka istri dan calon anaknya.

Setelah melakukan penelusuran dan kini Percy tau dimana Rasya.

Arizona – Amerika Serikat

Percy pergi kesana tanpa berpikir panjang lagi.

Ia di temani Angga pergi kesana untuk melacak keberadaan Rasya. Tetapi ternyata Rasya menghubungi mereka melalui telpon umum. Percy yang membawa beberapa orang bodyguard meminta mereka melacak keberadaan Rasya di daerah ini.

Anggapun ikut membantu mencari keberadaan Rasya, begitu juga Okta yang datang menyusul bersama Dhika.

Seharian mereka mencari keberadaan Rasya tetapi tetap tidak di temukan.

Hari sudah larut malam dan mereka semua beristirahat di sebuah hotel di sana.

Saat ini mereka tengah menikmati makan malam bersama.

"Sepertinya besok pagi gue harus balik, Leonna masih trauma," ucap Dhika.

"Gue juga sepertinya pulang, soalnya Ratu belum benar-benar sembuh. Gue khawatir padanya," ucap Angga.

"Om sama Papa pulang saja, biar Percy yang di sini. Percy akan terus mencari Rasya sampai ketemu."

"Kamu yakin?" tanya Angga.

"Ya Pa, aku udah tau kalau Rasya ada di sini, jadi aku tidak akan kemana-mana. Aku akan tetap mencari dia."

"Tapi bener kata Percy, lebih baik dia di sini. Jadi nanti kalau ada kabar, kita bisa langsung ke sini." Ucap Okta. "Lagian kita juga harus membantu Seno, dia sedikit ada masalah dengan calon besannya,"

"Wanita yang kemarin berkoar-koar di televisi?" tanya Angga.

"Iya dia,"

"Pantas sekali kemari rumah sakit penuh banget wartawan." Ucap Dhika.

"Si Seno berencana ingin menuntut wanita itu karena menghina anaknya dan merusak nama baik keluarganya. Kalian tau gak si wanita itu ngomong apa kemarin."

Semuanya memperhatikan Okta. "Dia bilang kalau orang tua wanita tidak mendidik anaknya dengan baik, hingga membuat anaknya meracuni pikiran Daffa untuk membangkang padanya. Si Seno gedeg, dia mengajukan gugatan pidana ke pengadilan, lagi di urus si Daniel."

"Tuh ibu mulutnya perlu di batrawali kali yah," ucap Angga.

"Kelihatannya dia memanfaatkan popularitas putranya," ucap Dhika.

"Lu bener Dhik, si Seno cerita ke gue kemarin. Kata Rindi, Daffa dan Ibunya itu sudah lama tidak berhubungan baik, entah apa alasannya," ucap Okta.

"Miris juga yah, Ibu yang numpang eksis karena anaknya."

"Sudah biasa dunia hiburan seperti itu untuk menambah kepopuleran mereka," ucap Dhika.

"Manusia makin Ediaannn aja," ucap Okta menghela nafasnya,

"Kamu yakin akan tetap di sini?" tanya Angga

"Iya Pa, mungkin untuk sementara perusahaan di kelola Ayah dulu. Aku akan fokus mencari Rasya."

"Gue setuju sama Percy," ucap Dhika.

"Baiklah kita balik besok."

***

Daffa membawa Rindi ke bibir pantai, mereka menikmati suasana pantai yang sepi ini di malam hari. Angin berhembus menerpa tubuh mereka. Rindi sesekali menahan dresnya karena takut kena terpaan angin.

Ia tersentak saat Daffa menyimpan jaketnya tepat di paha Rindi membuat ia tersenyum. Daffa duduk di pasir lembut itu menatap ombak yang bergulung gulung menyambar karang dan pasir.

"Aku ingin duduk di pasir," ucap Rindi membuat Daffa menoleh.

Ia beranjak membopong tubuh Rindi dan mendudukannya di atas pasir. Tak ada yang membuka suara, keduanya terdiam menatap ke depan hamparan lautan luas.

"Aku ingin mengatakan kejujuran padamu, aku tidak ingin menyembunyikan apapun darimu." Rindi menoleh mendengar penuturan Daffa.

"Katakanlah semuanya, bukankah sudah seharusnya kita terbuka satu sama lain," ucap Rindi.

Daffa menoleh padanya dan menatap mata Rindi dengan intens. "Aku takut kamu akan meninggalkanku setelah mengetahui semuanya."

"Untuk apa aku meninggalkanmu. Bukankah kita memiliki masalalu, baik aku ataupun kamu. Kamu mengetahui semua masalaluku, kekuranganku. Tetapi kamu masih tetap bertahan dan menerimaku, lalu kenapa aku tidak bisa melakukan hal yang sama." Daffa tersenyum mendengar penuturan Rindi.

Pantas saja dulu Percy sulit melepaskannya dan menganggap dia seperti seorang Angel, ternyata Rindi memang seperti seorang malaikat tanpa sayap. Daffa semakin mencintainya,,

Daffa menatap lurus ke depan, menerawang jauh ke masalalunya.

"Saat itu usiaku baru 15 tahun, aku masih kecil tetapi aku dapat memahami segalanya. Aku tidak tau apa yang membuat Ibu dan Ayahku sering sekali bertengkar, tetapi Ayah selalu mengalah. Hingga suatu hari Ayah pergi keluar kota untuk beberapa hari," Daffa mulai menceritakan kisahnya membuat Rindi mendengarkannya dengan seksama.

"Malam itu saat aku sedang belajar di dalam kamar, dan suara berisik sungguh menggangguku. Aku memutuskan untuk keluar kamar dan melihat apa yang terjadi. Di ruang keluarga, wanita itu bersama teman-teman jalangnya dan juga beberapa pria mengadakan pesta."

"Aku segera beranjak masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya. Kesalahanku adalah aku tidak mengunci pintunya. Aku memutuskan untuk tidur saja dan membiarkan wanita itu bersama pria selingkuhannya." Daffa terlihat mengusap wajahnya gusar seakan tidak bisa melanjutkan kata-katanya lagi.

Rindi mengusap punggung Daffa seakan memberinya kekuatan. Ia begitu sabar menanti penjelasan Daffa. "Aku tidak ingin mengingatnya lagi," Daffa menangis dalam diam membuat Rindi merasa sangat iba. Ia masih mengusap lengan Daffa seakan memberinya kekuatan.

"Malam itu aku merasa seseorang menyentuh tubuhku. Saat aku terbangun, aku sungguh kaget saat melihat seorang wanita sekitar 30tahunan berada di atasku dan menyentuh areaku. Aku menjerit karena kaget, tetapi wanita itu merayuku. Dan yang membuatku kaget, wanita itu bilang kalau anakmu sangatlah tampan. Ibuku berdiri di ambang pintu sambil menyulut rokoknya, dia dengan santai menyuruh temannya melakukan apa yang dia inginkan padaku."

"Ya tuhan!" Rindi menutup mulutnya tak percaya.

"Itu pertama kalinya keperjakaanku di renggut. Aku sudah menangis dan meminta lepas, tetapi mereka bergilir melakukannya padaku. Dan gilanya Ibuku malah merekam semua kejadian itu," Daffa menangis semakin tersedu membuat Rindi tak mampu menahan tangisannya juga, ia tidak menyangka kalau Daffa mengalami hal yang sangat mengerikan seperti ini,

"Beberapa hari aku tidak berani keluar kamarku, aku mengurung diriku di dalam kamar. Aku merasa sangat takut sekali, bahkan setiap malam mereka datang tetapi hari kedua mereka tak berani melakukannya karena aku mengunci kamarku dan menggemboknya. Aku tidak ingin di lecehkan lagi." Isaknya membuat Rindi mematung dengan tangisnya yang pecah.

"Aku berani keluar saat Papa pulang, aku ingin melaporkan segalanya pada Papa tetapi Wanita itu lebih dulu melaporkanku dan mengatakan kalau aku membawa teman wanitaku dan melakukan hubungan intim di dalam kamarku. Papa marah padaku, karena menurutnya aku belum cukup umur." Daffa menghela nafasnya, "Aku mulai membenci wanita itu, kerjaannya hanya menghamburkan uang, pergi dengan selingkuhannya dan merokok."

"Hingga hari itu, aku baru pulang sekola dan rumah terlihat berantakan. Banyak orang dan pria yang tidur sembarangan. Bahkan botol minuman berserakan dimana-mana. Aku beranjak menuju kamarku, tetapi saat melewati kamar utama yang merupakan kamar Papa dan Ibu, aku mendengar suara desahan dan racauan tak jelas. Aku membuka kamar itu dan aku semakin tak menyangka. Wanita itu berani melakukan hal yang menjijikan bersama dua orang pria sekaligus di kamar Papaku." Rindi semakin membelalak lebar karena mendengar penuturan Daffa.

"Aku berlari keluar rumah dan saat itu juga beberapa polisi datang dan menggerebek rumah karena mereka ternyata tengah melakukan pesta narkoba. Ibu masuk ke rehabilitas begitu juga teman-temannya. Aku menceritakan semuanya pada Papa, tetapi Papa hanya diam tidak menjawab." Daffa mengusap matanya yang basah berkali-kali.

"Setahun berlalu, dan Papa meninggal karena penyakit diabetesnya dan juga stres. Aku sendirian di usia 16 tahun. Dan saat pemakaman Papa, wanita itu kembali lagi. Dia mengambil alih semua harta Papa yang sebenarnya di alihkan untukku, karena aku yang belum genap 20 tahun jadi wanita itu yang mengurus segalanya." Ia menghela nafasnya. " aku pikir dia sudah berubah, tetapi ternyata belum. Dia masih suka membawa pria ke rumah dengan bergonta ganti. Bahkan dia juga sering menyiksaku kalau aku tidak menuruti keinginannya. Kamu tau, dia memaksaku untuk menghisap narkoba, tetapi aku menolak. Aku kabur saat itu tetapi akhirnya dia menemukanku dan aku di siksanya habis-habisan. Di cambuk, di gantung dan gores besi panas. Aku merasakannya selama 2 tahun lamanya karena aku selalu menolak keinginannya."

"Saat usiaku genap 18 tahun, dia menjualku ke seorang tante-tante. Aku awalnya tidak berpikir apapun, aku menurut hingga malam itu aku di dandani menjadi seperti pria dewasa dan aku di bawa ke sebuah club malam. Aku pikir untuk apa, ternyata aku di jual untuk menjadi seorang Gigolo." Rindi semakin tersentak kaget, ia tidak menyangka kalau Daffa mengalami hal seperti ini. "Aku di jual karena aku memiliki paras yang tampan, dan benar saja malam itu banyak tante dan wanita kesepian yang menawarku dengan harga tinggi. Aku yang sedikit trauma dengan sex, memilih kabur dari sana. Aku berlari meninggalkan tempat itu di kejar beberapa orang bodyguard. Aku hampir saja akan tertangkap kalau saja Dave tidak datang dan menolongku. Dia yang menolongku dan membantuku hingga aku sekarang ini." Daffa menangis dalam diam,

Ia menoleh menatap ke arah Rindi yang juga tengah menangis. "Apa kamu sekarang merasa jijik padaku?"

Rindi menggelengkan kepalanya, "Aku salut padamu," ia menghamburkan tubuhnya ke pelukan Daffa.

"Selama ini aku menyembunyikan luka itu di dalam sikapku yang menyebalkan dan playboy, aku meluapkan semua rasa sakit itu lewat hiburan-hiburan semata. Hingga aku bertemu denganmu dan aku merasa kamu berbeda. Entah kenapa saat bersamamu aku merasa telah kembali pulang, kembali ke sosok Daffa yang dulu. Bersamamu aku tidak perlu menyamar lagi, aku tidak perlu menjadi seorang Daffa si Aktor playboy itu. Aku bisa menjadi diriku sendiri, seorang Daffa yang memiliki kehidupan kelam."

"Aku tidak perduli bagaimana masalalu kamu, yang jelas sekarang aku ingin bersamamu," ucap Rindi.

"Apa kamu akan tetap menikah denganku walau tak ada restu dari wanita itu?" Rindi melepaskan pelukannya dan menatap Daffa di hadapannya.

"Bukankah kemarin kamu bilang kalau ini sebuah paksaan bukan tawaran, jadi aku tidak perlu menjawabnya," Daffa terkekeh mendengar penuturan Rindi barusan.

"Kamu benar Nona Jutek," Rindi terkekeh menatap menatap Daffa di hadapannya.

Daffa membelai wajah Rindi dengan lembut, perlahan ia mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Rindi dengan penuh perasaan. Rindi menutup matanya dan mulai membalas ciumannya.

Daffa menarik tubuh Rindi hingga kini Rindi duduk di atas pangkuannya, dan mereka berciuman dengan sangat intens sekali.

Daffa menggigit pelan bibir Rindi membuatnya membuka bibirnya dan Lidah Daffa mulai menerobos masuk. Ia mengabsen satu persatu gigi Rindi dan bermain dengan lidah Rindi. Keduanya bertukar saliva dengan penuh perasaan. Bahkan Rindi tanpa sadar meremas rambut Daffa, sebaliknya Daffa semakin menekan tengkuk Rindi agar ciuman mereka semakin dalam.

Próximo capítulo