webnovel

Bab 22

Rasya terbangun dini hari, entah kenapa dia merasa tidak bisa tidur. Ia menikmati pemandangan di hadapannya.

Percy terlihat tidur dengan lelap dan begitu tenang. Ia tersenyum bahagia menatap wajah tenang Percy di hadapannya. Sebelah tangannya terulur untuk membelai pipi Percy dengan lembut. Lalu ia mengukir wajah Percy dengan telunjuknya.

Entah kenapa rasanya ia begitu lega sekali, semuanya telah ia ungkapkan. Apa yang ia rasakan selama ini, dan sekarang hatinya sangat lega sekali. Apalagi Percy mau menerimanya, dan memberinya kesempatan untuk memulainya kembali dari awal.

"Belum tidur," ucapan itu menyadarkan Rasya dari lamunannya.

"Belum mengantuk." Ucapnya menatap Percy yang masih menutup matanya.

"Aku masih ngantuk sekali, kemarilah."

Deg

Rasya tersentak saat wajahnya menyentuh dada bidang Percy dan tangan Percy merengkuh pinggangnya dengan posesive.

Posisi seperti ini sungguh membuat Rasya tidak nyaman karena jantungnya berdetak begitu cepat sekali.

"Kamu ingat, dulu saat kecil kita suka tidur berdampingan seperti ini bersama yang lain. Tetapi posisi kita tidak pernah mau berubah, tetap ingin di tengah dan berdampingan." Ucap Percy membuat Rasya mengangguk.

Kepingan kenangan saat mereka kecil terbayang di benak Rasya. Saat yang begitu indah dan menyenangkan.

"Aku tidak pernah mengingat masa-masa itu." Gumamnya tersenyum menerawang langit-langit kamar.

"Tidurlah, besok aku harus bangun pagi. Ada sedikit masalah,"

"Apa ini berkaitan dengan hubungan Verrel dan Leonna? Aku baru mendengarnya kemarin dari Pretty, katanya Martin mengganggu Leonna."

"Iya, Martin mengacungkan bendera perang ke Verrel. Dia tidak tau gimana si Verrel kalau ngamuk."

"Apa ini ada hubungannya juga sama Caren?"

"Sepertinya, kami masih menyelidiki semuanya."

Rasya mengangguk paham, setelah cukup lama ia merasakan hembusan nafas teratur dari Percy menandakan dia sudah terlelap.

***

Rasya menyiapkan sarapan di meja bar, tak lama Percy keluar dengan sudah rapi memakai pakaian kerjanya.

"Pagi Sya,"

"Pagi, ayo sarapan dulu."

Percy duduk di kursi dan Rasya langsung mengambilkan nasi goreng untuknya. Setelah menyerahkannya ke Percy, iapun ikut bergabung bersama Percy.

Keduanya makan dalam diam, Rasya sesekali melirik ke arah Percy yang terlihat fokus dengan makanannya.

"Hari ini aku mau ke cafe, mungkin sore aku akan pulang."

"Aku akan menjemputmu nanti, kabari saja kalau kamu sudah pulang." Rasya mengangguk antusias.

"Emm, Sya."

"Ya,"

"Bisakah kita berkomunikasi seperti biasanya? Jujur ini sedikit canggung dan mengangguku." Rasya terdiam memperhatikan Percy. "Emm, aku masih tidak menyangka kalau Faen itu adalah kamu. Aku ingin kita berkomunikasi seperti panda tembem dan jibar, kamu bisa kan?"

"Maafkan aku, sebenarnya aku juga sedikit gugup." Kekehnya.

"Santai saja, kalau kamu canggung seperti ini, aku malah akan semakin canggung."

"Baiklah," kekehnya.

Dan mengalirlah pembicaraan mereka tentang beberapa hal yang lucu dan menarik.

***

Hari ini adalah hari pertama Rindi melakukan terapi, ia menolak kedua orangtuanya mengantar. Hanya Randa dan Daffa yang menemaninya ke rumah sakit.

Ia melakukan terapi dengan dokter April spesialis tulang terbaik di AMI Hospital. Dokter April mulai membawa Rindi ke dalam ruang terapi dan mulai melakukan terapinya pada kedua kaki Rindi.

Daffa dan Randa menunggu di luar ruangan dengan saling diam, beberapa orang banyak yang mencuri foto mereka dari jauh, bahkan ada juga paparazi yang sengaja membututi mereka.

"Aisshh sepertinya gue harus ngadain jumpa pers." Gumam Daffa.

"Benar, banyak yang tidak tau kalau gue punya kembaran. Jadi berita mengabarkan kalau gue selingkuh dengan loe dari Samuel." Gerutu Randa yang sudah lelah di kejar kejar wartawan perihal perselingkuhan terang-terangannya bersama Daffa.

"Sudahlah abaikan saja, biarkan mereka mangambil persepsi sesuka mereka. Yang jelas gue kagak demen sama loe." Ucapan Daffa membuat Randa mencibir.

30 menit sudah berlalu dan terapi sudah berakhir karena ini tahap awal, jadi tak banyak yang di lakukan.

Daffa mendorong kursi roda yang di duduki Rindi menuju keluar rumah sakit. "Aku haus,"

"Oke, biar gue yang belikan." Randa berlalu pergi meninggalkan mereka berdua.

Daffa membawa Rindi menuju ke taman rumah sakit, Rindi hanya diam menatap nanar ke depan. Sedangkan Daffa duduk di kursi taman tepat di samping Rindi.

"Apa aku akan kembali berjalan?"

"Yakinlah,"

"Aku takut, tuan Daffa." Rindi menengok ke arahnya dengan tatapan yang berkaca-kaca. "Aku sangat takut sekali,"

"Sssttt, aku ada disini. Semuanya akan baik-baik saja, percayalah." Daffa mengusap kepala Rindi dengan lembut.

"Bagaimana kalau aku tidak bisa kembali berjalan?"

"Maka biarkan kakiku yang akan menjadi kakimu." Ucapan Daffa membuat Rindi spechlees. "Aku akan melakukan apapun untukmu, percayalah."

Rindi tak mampu berkata apa-apa, sampai Daffa menarik kedua tangan Rindi dan mengecupnya dengan pelan. "Jangan pernah takut lagi, kamu tidak sendiri. Aku ada disini untukmu, hanya untukmu."

Rindi spechlees mendengar penuturan Daffa barusan, entah kenapa ada percikan kebahagiaan di dalam hatinya. Rindi tersenyum menatap Daffa yang juga tersenyum padanya.

"Terima kasih," Daffa mengangguk seraya membelai pipi Rindi dengan lembut.

Tatapan keduanya masih terpaut satu sama lain, hingga deheman Randa membuat mereka tersadar dari lamunannya. Randa menyerahkan sebotol minuman pada Rindi yang langsung ia teguk.

"Wah, jadian kalian kembar?" pertanyaan seorang wanita membuat ketiganya menengok ke arah suara itu.

Tak jauh di belakang mereka, seorang wartawan dengan juru cameranya berdiri. Randa dan Rindi saling pandang, sampai Randa membuka suaranya kalau mereka memang kembar.

Banyak pertanyaan yang di ajukan pada mereka, terutama tentang kedekatan Daffa dan Rindi.

Rindi terus menarik kaos yang di gunakan Daffa untuk pergi meninggalkan tempat itu, banyak sekali orang yang melihat ke arah mereka. Dan Rindi tidak menyukai keadaan seperti ini, menjadi pusat orang-orang. Apalagi keadaannya yang seperti ini,

"Apa anda tidak merasa malu jalan dengan seorang gadis lumpuh? Apa ini tidak akan menurunkan pamormu?" pertanyaan wartawan yang blak-blakan itu mampu menyudutkan Rindi.

Randa sudah ingin menjambak rambut wartawan itu tetapi di tahan Daffa. Perlahan Rindi memundurkan kursi rodanya untuk pergi meninggalkan tempat itu.

"Kenapa harus malu mbak?" ucapnya dengan santai, "Kesempurnaan seorang wanita tidak mampu menjamin kebahagiaanku."

Ucapan Daffa menghentikan gerakan Rindi. "Saya bahagia bersamanya dan saya tidak perduli dengan kekurangannya. Karena seorang gadis cantik dan sempurna tidak mampu membuat saya bahagia, termasuk gadis seperti mbak ini."

Mendengar penuturan Daffa yang blak-blakan membuat wartawan itu memerah kesal. Daffa tau wartawan itu menyukainya, karena dia sering sekali mewawancarainya.

Randa tersenyum mendengar penuturan Daffa barusan yang terus membela Rindi dan menjaga kehormatannya tanpa merasa malu. Rindi sampai speechless menatap Daffa yang terus melindunginya, bahkan sebelah tangannya mengusap kepala Rindi.

Setelahnya Daffa membawa Rindi meninggalkan tempat itu bersama Randa. Mereka berlalu menuju ke mobil Daffa. Tak ada yang membuka suara, keduanya fokus dengan pikiran mereka masing-masing.

Randa pulang di jemput Samuel, hingga kini Daffa hanya bersama Rindi. Daffa dengan cekatan memakaikan sabuk pengaman pada Rindi dan mulai menginjak gas mobilnya meninggalkan tempat itu.

"Kenapa?"

Daffa menengok ke arah Rindi mendengar pertanyaan Rindi. "Apanya?"

"Kenapa melakukan ini untukku?" Rindi menatap Daffa dengan kernyitannya.

Daffa memalingkan wajahnya dan kembali fokus menyetir mobil. "Kenapa?"

"Itu tidak penting,"

"Daffa jawab."

"Apa yang harus aku jawab?" tanyanya.

"Kenapa kamu melakukan ini? Kenapa kamu mau repot-repot menemaniku dan kamu mempermalukan dirimu sendiri di depan media."

"Siapa yang mempermalukan diri sendiri?" Daffa menghentikan mobilnya dan menengok ke arah Rindi.

"Aku ini gadis lumpuh, aku cacat dan aku tidak pantas bersama denganmu. Kenapa kamu mengatakan hal tadi?"

"Memang apa yang salah? Kenyataannya aku bahagia bersamamu."

"Alasannya kenapa? Bukankah selama ini aku hanya membuatmu repot, aku terus menyusahkanmu. Aku juga-"

Rindi melotot sempurna saat Daffa menarik tengkuknya dan mencium bibirnya. Bahkan bukan hanya menempel, Daffa mulai memangut bibir Rindi yang masih mematung.

Setelah puas mencecap bibir Rindi yang tidak di balas oleh Rindi, Daffapun menjauhkan wajahnya hingga mata mereka terpaut satu sama lain.

"Itulah alasannya,"

Rindi membeku di tempatnya mendengar penuturan Daffa barusan. Daffa kembali duduk di tempatnya dan mulai menjalankan mobilnya.

Rindi masih mematung di tempatnya dengan tatapan syok. "Tolong hargai dirimu sendiri, jangan terus menghina dirimu. Di mataku kamu tidaklah lumpuh ataupun cacat." Ucap Daffa.

Rindi memilih bersandar ke sandaran jok mobil dengan menatap nanar keluar jendela dengan pikiran yang berkecamuk.

***

Sore itu, Percy menjemput Rasya di cafe tempat biasa. Langkahnya terhenti saat melihat Rasya tengah menghindari seorang pria.

"Rocky," gumam Percy.

Percy melangkahkan langkahnya mendekati mereka yang terlihat berdebat. Rasya terlihat ketakutan karena Rocky. "Ada apa ini?"

Percy berdiri di antara mereka, Rasya langsung bersembunyi di punggung Percy karena takut.

"Percy, apa kabar bro?" sapanya dengan so akrab.

Ia ingin menjabat tangan Percy tetapi Percy tak menyambutnya. "Pergi dan menjauhlah dari Rasya."

"Apa urusannya dengan loe, Hah? Gue ada hal yang belum terselesaikan dengannya. Jadi gue mohon loe menyingkir sebelum terjadi keributan disini."

"Gue tidak takut, sebaiknya loe yang pergi, Rocky!" ucapnya penuh penekanan.

"Hahaha, ini cafe bokap gue. Berani sekali loe ngusir gue." Tawanya mengejek.

"Ayo pergi," bisik Rasya yang terlihat begitu ketakutan.

Percypun beranjak menarik tangan Rasya meninggalkan tempat itu. Tetapi Rocky malah menendang punggung Percy hingga tersungkur di lantai.

"Percy!" pekik Rasya segera membantu Percy.

"Gue bilang jangan menggangu gue, sialan! Gue ada urusan dengan jalang ini!"

Bug

Percy memukul rahang Rocky membuatnya tersungkur ke lantai dan mengeluarkan darah dari sudut bibirnya. "Berani sekali loe menyebutnya jalang,"

Percy menarik kerah baju Rocky dan kembali memukulnya hingga beberapa orang yang melihatnya menjerit ketakutan.

Rocky dan Percy terus berkelahi saling baku hantam. "Cukup Rocky!" Rasya memisahkan mereka berdua.

"Di antara kita sudah selesai, jangan menganggu gue dan suami gue lagi!" pekiknya.

"Suami?" Rocky melirik ke arah Percy yang berada di belakang Rasya,

"Jangan menganggu kehidupanku lagi, pergilah."

"Tidak baby, kita belum selesai. Kau ingat apa yang sudah kita lakukan dulu." Rasya maupun Percy sama-sama mengernyitkan dahinya.

"Urusan kita belum selesai, kau harus menebus apa yang sudah kau lakukan padaku," bisiknya.

Percy menarik lengan Rasya agar menjauh dari Rocky dan ia kembali memukul Rocky. "Enyahlah, kalau ingin hidup loe tenang." Ancam Percy yang sudah sangat emosi.

Rocky tersenyum sinis seraya mengusap darah di hidungnya. Ia kembali berdiri dengan kekehannya.

"Kau begitu menyukai barang bekas yah. Bro," bisiknya melirik ke arah Rasya. Percy hanya terdiam membeku. "Selamat sudah mendapatkan BEKAS gue, bro."

Rocky menepuk pundak Percy dan berlalu pergi meninggalkan mereka semua.

***

Sesampainya di rumah, Rasya membawa Percy ke dalam kamarnya. Dan ia bergegas mengobati luka lebam di pipi Percy.

Percy menatap Rasya di depannya, ucapan Rocky terus mengusik pikirannya. Ada rasa percaya dan tidak percaya.

Ia menahan tangan Rasya yang tengah mengobati lukanya. "Aku ingin membuktikan ini,"

Percy menjatuhkan kotak p3k yang di pegang Rasya. Ia menarik tubuh Rasya ke atas ranjang tepat di bawah kungkungannya.

"Percy,"

"Aku suamimu, Bukan?" Rasya mengangguk lirih,

Percypun mulai mencium bibirnya dengan sangat lembut membuat Rasya terbuai dengan setiap sentuhannya.

Tangan Percy menyelinap masuk ke balik kemeja yang Rasya gunakan dan menemukan sesuatu yang sensitive di dalam sana. Sekelebat bayangan yang tidak Percy ketahui terbayang di kepalanya.

Saat ia melihat tubuh Rasya, bayangan itu terus muncul dalam benaknya.

***

Rasya duduk di atas ranjang dengan memegang selimut tipis yang menutupi tubuh polosnya, di sudut lain Percy duduk terdiam, ia sudah memakai celana boxernya walau belum memakai kaosnya. Sesekali Rasya melirik ke arah Percy yang diam membisu.

Tanpa mengatakan apapun Percy beranjak ke dalam kamar mandi. Ia mengguyur tubuhnya sendiri di bawah shower.

Kau begitu menyukai barang bekas yah. Bro

Dan selamat sudah mendapatkan BEKAS gue, bro.

"Aaarghhhh sialan!" pekiknya meninju dinding di depannya. Rasya yang mendengarnya hanya menangis dalam diam di atas ranjang.

Awalnya Percy melakukannya dengan begitu lembut sekali, tetapi saat tubuh mereka menyatu. Percy tak berkata apapun tetapi gerakannya begitu kasar dan itu menyakiti Rasya.

Rasya bahkan tidak menikmatinya, hanya rasa perih dan sakit di bagian kewanitaannya. Rasanya lebih sakit dari saat mereka melakukannya.

Rasya menerka-nerka apa yang Rocky katakan pada Percy sampai dia melakukan ini padanya.

Lamunan Rasya buyar karena mendengar suara pintu terbuka. Percy terlihat sudah rapi dengan pakaiannya.

"Kamu mau kemana?" tanyanya.

Percy tak menjawab dan berlalu pergi meninggalkan Rasya sendirian.

Dalam keheningan

Kesunyian

Dan kesepian...

Lagi-lagi seperti ini,

Rasya merasa dirinya selalu di campakan, apa sebegitu rendahnya dia.

Hanya isakan tangis yang mampu mewakili kesakitan di dalam hatinya.

***

Seharian Percy tidak pulang, Rasya juga sulit menghubunginya. Entah kemana dia, karena Verrelpun mengatakan tidak bertemu dengannya.

Rasya menatap meja bar yang sudah penuh dengan masakan kesukaan Percy, ia ingin membicara baik-baik dengan Percy. Dan mengatakan kalau sebelumnya mereka pernah melakukannya juga. Mungkin itu yang seharusnya di katakan Rasya dari sejak awal.

Gerakannya terhenti saat pintu terbuka dan menampakan Percy dengan masih memakai paakaian yang sama.

"Percy, kamu dari mana saja."

Percy tidak menjawabnya, ia melangkah melewati Rasya. "Aku sudah memasak makanan kesukaanmu."

Percy menghentikan gerakannya dan menoleh ke meja makan. Ia berjalan mendekati meja itu yang tertata indah dengan hiasan lilin.

Prank

Prank

"Aaahhh!" Rasya terpekik saat Percy menghempaskan semua makanan itu dan menendang mejanya hingga berserakan di lantai marmer itu. "Apa yang kamu lakukan?"

"Jangan berusaha baik lagi." Pekiknya membuat Rasya tersentak.

"Kamu kenapa Percy? Apa yang salah? Kamu menyakitiku dari semalam." Isak Rasya.

"Kamu benar-benar penipu!" ucapnya membuat Rasya mengernyitkan dahinya. "Kamu sudah tidur dengan Rocky selama ini."

Deg

Deg

Deg

"Ma-maksud kamu apa?" ucapnya terbata-bata.

"Argh sialan!" Percy menendang kursi dan menjatuhkan tempat gelas hingga pecah di lantai membuat Rasya semakin menjerit ketakutan.

"KAMU TIDUR DENGANNYA !" pekik Percy. "Aku tidak menyangka kamu semurahan ini, RASYA!"

"Aku tidak pernah tidur dengannya," isaknya sangat ketakutan.

"Jangan membohongiku terus menerus. Semalam aku merasakannya, aku bukanlah yang pertama! Pantas saja Rocky menyebutmu jalang. Apa kamu juga sudah bergilir dengan teman-temannya saat kuliah dulu, hah?"

"CUKUP!" jeritnya. "Apa aku serendah itu di mata kamu, Percy? Kita kenal sudah dari kecil, kamu sangat mengenalku bukan. Kenapa kamu tega menuduhku seperti itu." Isaknya.

Percy menghela nafasnya berkali-kali, ucapan Rocky terus terngiang di kepalanya. "Aku ingin mempercayaimu, tetapi kenyataannya tidak seperti yang kamu katakan."

"Aku kecewa, aku tidak menyangka kamu serendah ini, Sya. Selama ini aku berusaha menjagamu, apa sebegitu tergila-gilanya kamu pada pria brengsek itu sampai kamu melepaskan kehormatanmu, hah?" tanyanya dengan mata yang memerah.

"Aku tidak menyangka kamu terus menerus menipuku. Bukan hanya tentang Faen, tetapi kamu juga menutupi ini. Kalau saja sejak awal kamu berbicara kalau aku bukan yang pertama. Maka aku tidak akan sekecewa ini. Kenapa Sya? Kenapa kamu selalu seperti ini?" bentaknya terlihat emosi.

"Kamu salah paham, aku tidak pernah tidur dengan Rocky." Isaknya.

"Lalu dengan siapa? Dengan sahabatnya atau dengan kacung-kacungnya? Apa kamu melakukannya dengan pria lain lagi di kampus, hah? Katakan Rasya, katakan siapa pria itu?" pekiknya.

Rasya sudah tidak tau harus bagaimana lagi, dia sendiri yang menghilangkan jejak malam itu. Jadi pantas saja Percy tidak mengingatnya sama sekali.

"Aku kecewa padamu, sangat kecewa. Aku tidak pernah menyangka kalau sahabat yang begitu aku sayangi ternyata berprilaku serendah ini."

Setelah mengatakan itu, Percy masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu dengan sangat kencang.

Tubuh Rasya luruh ke lantai yang penuh dengan pecahan kaca dan air. Ia menangis sejadi-jadinya dengan memeluk kedua lututnya.

"Hikz...hikzz...hikz...."

Baru saja mereka memulainya, kenapa sekarang langsung hancur begitu saja. Kenapa seperti ini?

Percy masih berdiri di balik pintu kamar dengan tatapan tak terbacanya. Kedua tangannya mengepal kuat. Isakan Rasya mampu ia dengar dan begitu menyakitkan.

"Hikz...hikzzz...hikzzz....."

Próximo capítulo