"Aku ingin memakanmu," bisik Brian dengan suara beratnya di dekat telinga Elise. Dan lidah nakalnya menjilat daun telinga Elise. Menyulut gairah di tubuh Elise. Brian semakin gencar mencium dan menghisap leher Elise. Membuat wanita itu semakin gelisah dan mendesah pelan saat Brian memberikan kissmark di lehernya.
"Brian." Elise menjauhkan wajah Brian dari lehernya dan menatap mata pria itu. Dan sedetik kemudian bibir mereka menempel begitu erat. Mulai mencecap dan mengulum untuk menghisap rasa memabukkan yang sudah menjadi candu bagi mereka masing-masing. Tangan Elise sudah melingkar erat di leher Brian. Dan tangan Brian sudah mendekap Elise semakin merepat ke tubuhnya.
Ciuman lembut itu berubah semakin liar dan menuntut. Gairah yang membara membuat Brian tak sanggup menunggu lagi. Dia mengangkat tubuh Elise dan wanita itu dengan sigap melingkarkan kakinya di pinggang Brian. Lalu Brian berjalan menuju kamar mereka.
Kini Brian dan Elise tengah berbaring di ranjang sambil mengatur napas mereka yang masih memburu. Akibat percintaan panas yang baru saja mereka lakukan.
"Bagaimana hasilnya?" tanya Elise lagi. Wanita itu sungguh penasaran dan dia tak akan berhenti bertanya sebelum mendapatkan jawabannya.
Brian menghembuskan napasnya pelan sebelum menjawab, "Dia sehat dan subur."
"Jadi, kapan kau akan menyentuhnya?" Mata Elise menatap Brian intens. Brian membalas tatapan itu. Ada kefrustasian dalam sorot mata Brian. Sungguh, Brian tak ingin menyentuh wanita lain selain wanita yang ada di dalam dekapannya ini.
"Haruskah aku menyentuhnya?" pertanyaan Brian dan tatapan pria itu menyentil hati Elise. Membuat wanita itu ikut bersedih dan menyalahkan diri sendiri akan ketidakbecusannya dalam hal keturunan.
"Brian, aku...." Suara Elise tercekat. Dia tak sanggup berucap. Airmata hampir tumpah di sudut matanya. Menyadari kesedihan Elise, Brian dengan sigap memeluk wanita itu erat.
"Sudah, tak apa. Jangan menangis. Akan kulakukan apapun agar kau tetap berada di sampingku. Karena aku mencintaimu."
Elise semakin menangis kencang mendengar ucapan Brian. Pria itu sangat mencintainya tapi Elise tak bisa memberikan hal yang diinginkan olehnya. Elise tak bisa memberikan Brian keturunan.
Brian mengusap punggung Elise. Menenangkan istrinya. Matanya menyorot jauh. Elise sangat berarti untuknya. Dia tak ingin kehilangan wanita itu. Dia masih berharap Elise-lah yang akan mengandung anaknya, tapi jika Tuhan tak bisa mengabulkan hal itu. Setidaknya Brian sudah bahagia dengan Elise berada di sampingnya. Menemani dan membuat hidupnya menjadi bahagia.
....
Tiga hari telah berlalu, hari ini tepat tanggal lima. Seperti yang dikatakan Brian. Pria itu akan menyentuh Elena hari ini. Sejak pagi Elena sudah tak tenang. Jantungnya selalu berdegup kencang. Dia bahkan izin untuk tidak bekerja karena tak bisa menenangkan kegelisahan hatinya. Dia takut dan tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Tak sanggup membayangkan ada seorang pria yang melihat tubuhnya polos, menyentuhnya bahkan memasuki tubuhnya.
Elena juga tak tau kapan Brian akan datang, hal itu yang membuat dia semakin gelisah tak menentu.
Hari sudah malam dan hal itu semakin membuat Elena gelisah. Brian tak mungkin lupa akan hari ini. Itu artinya sebentar lagi pria itu pasti akan datang. Elena bahkan tak menjenguk Diego hari ini, dia hanya menanyakan keadaan pria itu melalui Mira. Menelpon Mira untuk memastikan keadaan Diego baik-baik saja.
Suara pintu apartemen yang terbuka menyentak tubuh Elena. Tubuhnya berdenyit pelan dengan degup jantung yang bertambah cepat. Elena menatap ke arah pintu apartemen. Disana Brian baru saja masuk. Dia sedang menutup pintu dan melepaskan sepatunya. Tampilannya sedikit brantakan. Dia mengenakan kemeja putih yang lumayan kusut dengan lengan yang digulung hingga ke siku. Dasi yang sudah tak rapi dan jas yang ada di genggamannya.
Mata Brian terkunci dengan mata Elena. Membuat Elena semakin gelisah dan takut. Karena mata tajam itu sangat mempengaruhinya.
"Cepat siapkan air hangat untukku! Aku ingin mandi terlebih dahulu." Brian berjalan menuju sofa yang ada di samping Elena. Elena hanya diam dengan terus memandang ke arah Brian.
"Apalagi yang kau tunggu? Cepat siapkan air hangat!" bentak Brian kesal melihat Elena yang diam saja. Elena dengan terburu bangkit dan masuk ke dalam kamar untuk menyiapkan air hangat.
Saat Elena sudah selesai dan keluar dari kamar mandi, dia terkejut mendapati Brian yang sudah ada di dalam kamar tepat di hadapannya. Elena diam mematung.
Brian hanya diam dengan mata yang terus menatap setiap jengkal tubuh Elena dengan intens. Membuat Elena semakin grogi dan tak nyaman. Dia ingin kabur dari sana tapi kakinya seakan dipaku ke lantai.
"A—airnya sudah...."
"Kau mandilah di kamar mandi luar." perkataan Brian membuat Elena mengerutkan keningnya.
"Tapi, aku sudah mandi."
"Kubilang mandi, ya mandi. Bersihkan seluruh tubuhmu. Aku tak ingin menyentuh wanita kotor." Setelah mengatakan itu Brian langsung masuk ke dalam kamar mandi.
Elena masih berdiri mematung di depan pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Hatinya bagai diiris sembilu saat mendengarkan ucapan tajam Brian. Mata Elena bahkan sudah berkaca-kaca.
Elena menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Lalu keluar kamar untuk mandi di kamar mandi luar.
Elena berdiri dengan kikuk di depan pintu kamar. Dia sudah selesai mandi dan hanya mengenakan bathrobe. Dia lupa mengambil bajunya yang ada di dalam lemari kamar.
Menarik napasnya panjang dan menghembuskannya perlahan. Berulang kali Elena melakukan itu untuk menenangkan degup jantung dan kegelisahannya. Namun semua tak berguna. Elena masih tetep gugup seiring berjalannya waktu.
Dengan tangan yang bergetar Elena membuka pintu dan masuk ke dalam. Brian sudah selesai mandi. Pria itu tengah duduk di tepi ranjang dan sedang menelpon. Elena berdiri diam di tempatnya. Tak tau harus melakukan apa.
Brian melirik ke arah Elena dan hal itu membuat Elena menunduk takut. Pria itu hanya mengenakan boxer tanpa memakai kaos apapun. Tubuh atasnya terekspos dengan sangat jelas.
Rasa panas mulai memenuhi pipi Elena. Ini pertama kalinya dia melihat seorang pria shirtless secara langsung selain Diego. Dan tubuh Brian benar-benar membuat pipi Elena memanas. Tubuh dengan bahu yang lebar, otot-otot yang kuat dan sixpack yang terbentuk di perutnya.
Oh My God, Elena tak bisa berkata-kata. Pria di hadapannya ini punya tubuh yang sangat menarik. Bahkan seorang perawan seperti Elena saja langsung memikirkan hal-hal vulgar saat melihat tubuh shirtless-nya. Bagaimana jika jari jemari Elena menyentuh otot itu? Menyusuri bagaimana rasanya menyentuh perut sixpack seorang pria. Elena menggeleng pelan, mengusir keinginan erotisnya. Tidak seharusnya dia berpikiran seperti itu.
Brian menyudahi panggilannya dan meletakkan ponsel di atas nakas. Lalu berbalik dan menatap Elena. Menyadari Brian yang sudah menutup panggilannya dan merasakan tatapan tajam di hadapannya membuat Elena semakin gugup dan takut.
"Mengapa kau hanya berdiri disana? Cepat kemari! Jangan bertingkah seolah kau masih seorang perawan," ucap Brian tajam.
Elena sama sekali tak sakit hati dengan ucapan tajam itu. Dia jauh lebih gugup dan takut. Elena sangat ingin kabur dari kamar ini. Dia belun siap. Elena tak ingin melakukan hal itu dengan pria yang tidak dia cintai.
Elena berjalan mendekati ranjang. Dan berdiri tak jauh dari Brian. Tingkahnya itu membuat Brian berdecak kesal.
"Apalagi yang kau tunggu? Lepaskan bathrobe-mu dan berbaring di atas ranjang."