webnovel

Dilema Andrea

Fruit 33: Dilema Andrea

Tokk! Tokk!

Saat Andea sedang termenung di tempatnya dengan ditatap para Soth, pintu tiba-tiba diketuk. "Drea sayang, apa kamu nggak lapar, Nak?"

Suara Oma.

"Unghh... Drea... Pengen diet, Oma!" sahut Andrea berdusta.

"Buka dulu, sayang." Oma menggerak-gerakkan gagang pintu kamar Andrea. Tumben sekali akhir-akhir ini cucunya sering mengunci kamar. Tapi Oma tak berani menegur. Ia terlalu sayang pada sang cucu.

"Umhh..." Andrea bingung, dilema. Gimana kalau Oma jadi tau ada banyak perempuan setengah telanjang menyesaki kamar cucunya? Nanti bisa dikira cucu tersayang menggelar pesta harem? Ohh tidak! Dia masih ingin setia pada Shelly!

"Tuan Puteri, buka saja pintunya tak mengapa. Kami tak akan bisa dilihat mata manusia biasa." Salah satu Soth mengucap sambil mengelus-elus paha saudarinya. Andrea baper. Dia juga ingin begitu dengan Shelly.

"Yakin lo? Sumpe lo?!" Andrea tatap sangsi pada Soth itu.

Soth tadi mengangguk. Akhirnya Andrea pun percaya dan membuka pintu. Oma langsung masuk sembari membawa nampan berisi nasi goreng seafood kesukaan Andrea plus kerupuk udang dan es jeruk.

"Kok sekarang kamu sering banget kunci kamar, sih?" tanya Oma mulai penasaran.

'Mampus dah! Kudu jawab apaan, nih?' batin Andrea sambil berfikir. "Eng... anu, Oma... itu... Drea... Drea masih ada... engh... kerjaan. Gak bisa diganggu. Takutnya gak kelar tepat waktu." Apakah kilahan Andrea sudah mampu menjawab rasa penasaran sang Nenek?

Nyatanya, Oma mengernyitkan dahi sebentar sebelum akhirnya senyum lembut. "Ya sudah. Oma lega kalau benar kerjaan penting. Oma kira kamu lagi ngelakuin yang enggak-enggak."

"Idih Oma apaan sih tuduhannya, iihh..." rengek Andrea manja dan mengambil alih nampan di tangan Oma. "Makasih ininya, ya Oma. Pasti lekker aduhai kayak biasanya, hehe..." Ia angkat nampan itu beberapa senti ke atas disertai pujian pada masakan sang Oma yang biasanya lezat.

Neneknya menyahut dengan senyuman penuh kelembutan.

"Oma pokoknya the best!" Ia pun taruh nampan di meja. Lalu ia merangkul Oma sambil lirik ke para Soth yang diam memperhatikan dua manusia itu.

"Jangan sampai melupakan makan, sayang," nasehat Oma sebelum melangkah keluar dari kamar sang cucu.

"Hu-um. Oh ya, Opa udah makan, belum?"

"Udah tadi waktu Oma naik ke kamarmu."

"Drea jarang ketemu Opa."

"Itu karena Opa sekarang kerja di kios buah di pasar induk. Opa bilang bayarannya lumayan biar kita bisa makan enak tiap hari, hehe..." Oma tersenyum lebar penuh kebahagiaan. Bagi mereka, sudah bisa makan setiap hari dan menyekolahkan Andrea, adalah hal yang paling membahagiaan mereka.

Andrea ingin menangis. Dia merasa tak berguna saja sampai Opa yang sudah renta harus bekerja sekeras itu demi dirinya. Apalagi ia juga lihat Oma menumpuk jahitan, tanda Beliau menerima apapun yang datang. Padahal mereka semua sudah tua dan sudah waktunya istirahat.

Andaikan mereka masih memiliki anak, andai Ibu masih ada, tentu Ibu yang akan bekerja menggantikan keduanya. Bahkan Andrea juga bisa bekerja sampingan sepulang sekolah.

Sayangnya, Ibu menghilang. Dan Opa tidak mengijinkan Andrea bekerja saat masih duduk di bangku sekolah.

Semua kemalangan ini akibat dari sesosok Iblis Incubus keparat! Andrea menggertakkan geraham tanpa sadar. Andai Iblis keparat itu tidak menodai Ibunya, setidaknya Ibu bisa punya suami yang sah dan bertanggung jawab. Andrea tidak lahir pun tak mengapa asalkan Opa dan Oma tidak senestapa ini hidupnya.

Sepeninggal Oma dari kamar, mood Andrea mendadak buruk. Ia menatap sengit ke para Soth. Masa bodo bila pikirannya terbaca. Demikian batin Andrea.

"Tuan Puteri, kehidupan sudah ada yang mengatur." Soth 4 berkata

"Dan raja bedebah elu itu kah yang mengatur, heh?! Raja brengsek! Bikin keluarga gue jadi ngenes gini!" Andrea tidak menutupi perasaan bencinya pada sang ayah.

"Masih ada yang jauh lebih berkuasa tinggi melebihi raja kami, Puteri." Kali ini Soth 2.

"Lo mo sok ceramahi gw tentang agama? Tentang Tuhan? Lo mo bilang ini semua takdir dari Tuhan, gitu?" Andrea meradang, namun tetap menjaga suaranya agar tidak sampai terdengar keluar kamar atau Oma akan curiga.

Tak ada satu pun Soth yang menjawab. Bahkan Kenzo saja memilih diam di pojokan. Duduk melayang.

"Trus, maksud lo semua... Tuhan yang bikin raja brengsek elo itu hamili emak gue, gitu? Tuhan berpihak ke Iblis untuk bikin keluarga gue kacau. Gitu?!"

Andrea merasakan dadanya ingin meledak. Matanya buram, panas. Rasanya ia ingin menghantam apapun.

"Heh, kalian ini anak buah gue, kan? Sekarang ini?"

Karena ditanya, maka Soth 1 pun menjawab, "Iya, Tuan Puteri. Kami adalah hamba Anda."

"Bagus, kalo gitu... kasi tau gue cara bunuh bokap gue."

Andrea tatap tajam para Soth satu-persatu. Namun tak ada yang berani bersuara untuk beberapa detik ke depan.

"Puteri, kendalikan dirimu. Jika kau terlalu emosi, dikuatirkan kekuatanmu akan memancar dan menarik perhatian banyak Nephilim." Kenzo memberanikan diri menyahut. Memang begitu yang akan terjadi jika Andrea tak mampu kekang emosinya saat dia belum mampu mengendalikan kekuatan Cambion-nya.

"Trus gue bakal dibunuh Dante gila dan konco-konconya yang lebay, gitu? Ya udah, biarin aja gue matek."

"Lalu Puteri tak kasian pada Opa dan Oma bila ditinggal Puteri?" Kenzo masih bisa menjawab.

Telak! Kenzo amat telak menembus titik lemah Andrea.

Opa dan Oma. Dua orang hebat nan tangguh yang mampu bertahan merawat Andrea di tengah gempuran masyarakat yang menista kelahiran Andrea. Di tengah sumpeknya hidup serba pas-pasan usai mereka melepaskan semua kekayaan mereka di desa demi menyelamatkan Andrea kecil agar bisa tetap hidup dan tumbuh menjadi manusia kebanggaan dua manula itu.

Jika Andrea pasrah saja pada kematian, bukankah perjuangan Oma dan Opa sia-sia belaka selama ini? Betapa terkutuknya Andrea jika tidak menghargai jerih payah Oma dan Opa! Andrea meremas kuat tangannya sambil menggigit bibir kuat-kuat menahan amarahnya.

Malam itu Andrea membekap wajahnya pada bantal dan menangis sekeras dia mampu.

Usai puas menangis, ia pun memakan nasi goreng yang susah payah Oma buat khusus untuknya. Sekenyang apapun, ia habiskan semua. Karena apapun yang ada di atas nampan, adalah bukti cinta Opa dan Oma yang amat besar padanya.

Setelah menghabiskan semua makanan dan minuman, Andrea memilih bertelepon dengan Shelly sebelum akhirnya pamit tidur.

Shelly di rumahnya tau Andrea sedang kalut. Terpapar jelas dari suara Andrea. Suara pasca menangis.

Ingin menanyakan kenapa, tapi Shelly enggan dan merasa bukan waktu yang tepat. Mungkin esok ketika mereka bertemu adalah saat yang tepat. Bagaimana pun bertatap muka lebih membuat nyaman daripada hanya sekedar suara.

Para Soth pun berjaga di sekitar Andrea. Kadang mereka saling berpandangan mengirim telepati satu sama lain.

"Tuan Puteri yang ini sangat kasar."

"Benar, Kak. Aku sampai kaget mendengar dia menghujat Ayahnya sendiri."

"Aku lebih kaget waktu dia ingin tau cara membunuh Tuan Raja Zardakh!"

"Astaga, Puteri macam apa yang kita lindungi ini?"

"Hei kalian! Bisakah berucap sopan tentang Puteri?!"

"Maaf Panglima Kenz. Kami terlalu terbawa suasana."

"Iya, Panglima. Kami mohon maaf. Jangan laporkan ini pada Paduka Zardakh, yah!"

"Humm... aku anggap kalian hanya sedang kaget dengan tabiat keras Puteri. Coba mengerti dia. Dan ingat selalu, bahwa dia adalah calon Puteri Mahkota klan Orbth!"

"Iya, Panglima. Kami mengerti."

Keesokannya, semua berjalan apa adanya. Andrea berangkat dijemput Shelly. Kenzo pun ikut masuk ke dalam mobil tanpa membuat kecurigaan manusia lainnya. Semua begitu alami. Sementara, para Soth sebagian ikut melayang di atas mobil Shelly. Dan sebagian lainnya menjaga rumah Andrea. Dikuatirkan musuh akan menyambangi rumah dan menaruh sihir jahat untuk Tuan Puteri mereka.

H-2 menuju ulang tahun ke-17 Andrea.

Woosshh~

Sesuatu melesat cepat di depan balkon rumah Andrea.

"Kakak, apakah itu..." Soth 3 menatap ke Kakak sulungnya. Yang ditatap mengangguk.

"Ayo kita kejar." Soth 1 berkata pada Soth 3. "Adik 2. Kau di sini dulu." Titahpun turun untuk Soth 2.

"Baik, Kak."

"Ayo, 3!"

"Ayo, Kak 1!"

Keduanya melesat keluar dari kamar Andrea, mengejar sosok tadi.

Próximo capítulo