Hari yang menentukan itu pun tiba. Ribuan pandita duduk di alun-alun kota yang baru setengah jadi. Mereka menghadap ke arah pendopo yang saat ini masih kosong. Terlihat penantian di sorot mata mereka.
Para pandita bisa dikatakan tokoh berpengaruh dalam masyarakatnya masing-masing. Mereka dianggap sebagai panutan yang bijaksana. Oleh sebab itu jika salah satu dari mereka mengatakan Aji Wurawi itu baik, ribuan orang pengikutnya akan mengatakan hal yang sama. Maka memenangkan dukungan mereka menjadi hal yang sangat penting. Airlangga tak boleh melewatkan kesempatan ini.
Sang raja berdiri, lalu menarik napas dalam-dalam. Sekali, dua kali, tiga kali. Ia berjalan ke atas podium. Dari sana, ia menatap ribuan orang yang balik menatap ke arahnya. Hatinya langsung gentar. Ia ingin turun lagi dari podium.
Diam, beri penonton waktu untuk melihatmu. Beri dirimu waktu untuk menenangkan diri.
Suara Narotama tiba-tiba terngiang dalam benaknya. Ia mengingat saran yang diberikan sang abdi setia. Maka ia mengikutinya. Ia berdiri, meletakkan kedua tangannya di samping badan.
Jangan bersedekap! Jangan mengusap-usap lengan! Jangan mengetuk-ngetuk jari! Tenangkan tanganmu, dan kau akan terlihat menguasai keadaan!
Airlangga menatap kerumunan, menyapukan pandangan dari ujung ke ujung hingga semua orang merasa mendapat perhatiannya, lalu melempar senyuman.
"Selamat pagi para pandita, saya adalah Airlangga, menantu almarhum Sri Maharaja Darmawangsa. Di saat-saat terakhirnya, Sri Maharaja Darmawangsa menyerahkan getih anget wangsa Isyana pada saya." Suaranya keras dan jelas.
Mereka harus tahu siapa diri Sri Raja, yaitu sang pewaris tahta yang sah.
"Saya tumbuh besar di lingkungan penganut Wisnu, tapi sejak tiba di Medang tiga tahun lalu, saya menyadari satu hal. Sesungguhnya Wisnu dan Siwa adalah saling melengkapi. Wisnu ada di dalam hati Siwa, dan Siwa ada di dalam hati Wisnu. Brahma menciptakan semesta, Wisnu yang merawat, dan Siwa yang menghancurkan. Ketiganya sungguh bekerja bersama-sama, dan semesta ini tak akan lengkap tanpa salah satunya. Jadi kenapa kita harus membeda-bedakan?"
Buat para pandita merasa memiliki hubungan emosional atau kesamaan pengalaman dengan Sri Raja.
"Tapi bagaimana dengan tanah Jawa saat ini, apakah lima raja Jawa, juga Sriwijaya, memerintah berdasarkan ajaran Wisnu maupun Siwa?"
Airlangga berhenti sejenak, memberi kesempatan bagi penontonnya mencerna pertanyaan yang ia ajukan.
Libatkan penonton, jadikah pidato Sri Raja sebagai interaksi dua arah.
"Mereka tidak peduli! Sriwijaya cuma menginginkan kuasa atas jalur perdagangan laut. Sementara kelima raja hanya mengenyangkan perut mereka masing-masing!"
Ciptakan musuh bersama, maka orang-orang akan bersatu.
"Tak lama lagi kelima raja akan saling berperang untuk menguasai tanah ini. Perang itu akan panjang. Tapi yang paling menderita bukanlah para penguasa itu, melainkan para suami dan anak laki-laki yang dikirim ke medan perang. Juga para petani yang hasil sawahnya dirampas untuk memenuhi kebutuhan prajurit. Serta wanita dan anak perempuan yang nantinya menjadi korban penjarahan."
Tebarkan rasa takut. Lalu jadilah solusi atas ketakutan itu sendiri.
"Saya akan menyatukan lima kerajaan, mengembalikan kejayaan Medang, dan memastikan setiap penduduk tanah ini hidup makmur!"
Lagipula pidato yang dilakukan Airlangga bukanlah kebohongan. Saat ini praktik penindasan memang terjadi di mana-mana. Sama seperti yang dilakukan Hasin dahulu.
"Namun, saya cuma manusia," lanjut Airlangga. "Saya tidak punya uang, tanah, maupun prajurit yang besar. Saya tidak bisa memenangkan 'perjuangan' ini sendiri. Oleh sebab itu dengan segala hormat, saya mengharapkan dukungan dari para pandita yang hadir di tempat ini. Demi Kemaharajaan Medang yang adil dan sentosa, seperti di masa silam!"
Airlangga mengakhiri pidatonya, lalu menanti respon positif. Ia harap para pandita tergugah sehingga memberi dukungannya. Tetapi suasana masih hening. Orang-orang itu memperhatikan sang raja dengan tatapan yang sama seperti sebelum pidato dimulai. Perasaan Airlangga mulai tidak enak.
Tanpa sadar tangan pemuda itu terangkat untuk mengusap lengan. Tapi ia mencengkram tangannya sendiri, lalu kembali diletakkan di samping badan.
"Apakah… ada yang mau pandita sampaikan?" suaranya bergetar.
Para pandita itu tidak menjawab. Beberapa melirik satu sama lain. Sampai akhirnya, seseorang memberi salam dengan mengatupkan kedua telapak tangan.
"Saya Pandita Soma," ucap seorang pria paruh baya berperangai wajah tegas. Rambutnya pendek dan tubuhnya tegap, lebih mirip prajurit ketimbang pandita. "Maaf jika saya lancang, ada satu hal yang mengganjal di pikiran saya. Sri Maharaja Darmawangsa yang mewariskan getih anget kepada Sri Raja Airlangga adalah penganut Siwa. Mengapa Sri Raja Airlangga tidak menjadi penganut Siwa saja? Ini Medang, bukan Bedahulu."
Seketika atmosfir udara terasa berbeda. Seolah ada beban yang terlepas. Rupanya pertanyaan Pandita Soma mewakili pertanyaan para pandita lainnya.
Rakyatlah yang harus mengikuti keyakinan rajanya, bukan sebaliknya.
Airlangga teringat perkataan Narotama. Ia cukup menirunya sebagai jawaban. Mudah sekali.
Namun, ia tak menyukai jawaban tersebut.
Ia tidak suka keegoisan semacam itu.
Kenapa seorang raja harus memaksakan keyakinan dirinya kepada rakyat?
Dan kenapa rakyat harus memaksakan keyakinan dirinya kepada raja?
Airlangga memejamkan mata beberapa jenak, menciptakan ruang bagi dirinya sendiri. Ia menyusun kata-kata di dalam kepalanya. Saat ia membuka mata, mulutnya berkata lantang.
"Apakah para pandita mau dipimpin oleh seseorang yang dengan mudah mengganti keyakinannya hanya karena ambisi berkuasa? Orang yang kelak akan mengubah lagi keyakinannya begitu keadaan tak lagi menguntungkan baginya?"
Para pandita—Pandita Soma khususnya—tak menjawab. Pertanyaan itu mengusik batin mereka sendiri.
"Saya juga tidak akan meminta penduduk Medang untuk berpindah pada Wisnu. Getih anget ini tak lebih dari titipan, sebuah pesan dari Sri Raja Darmawangsa yang menginginkan saya melindungi Medang. Itulah yang akan saya lakukan. Hanya itu.
"Kelak saya akan mengembalikan getih anget ini pada pewaris wangsa Isyana yang sah, yang di tubuhnya mengalir darah Mpu Sindok.
"Wahai Pandita! Perjuangan ini bukanlah untuk saya, tetapi untuk Medang. Untuk anak-cucu Siwa!"
Pandita Soma terenyak. Kedua mata kepalanya tidak sedang melihat raja. Yang ia lihat adalah seorang pria dengan tekad tak tergoyahkan. Bukan untuk berkuasa, melainkan guna mencapai kemakmuran negeri.
Lalu ia menangkupkan kedua telapak tangannya.
"Saya Pandita Soma, akan mendukung pemerintahan Sri Raja Airlangga."
Sebuah deklarasi tunggal di antara ribuan pandita lainnya.
Sampai pandita berikutnya mendeklarasikan hal yang sama. Dan diikuti oleh pandita-pandita berikutnya. Hingga ribuan pandita yang berkumpul hari itu menyatakan dukungannya yang luar biasa. Seluruh alun-alun terasa bergetar saat mereka berbicara dalam satu suara.
Airlangga sendiri terperangah.
Pada akhirnya, yang terpenting dari pidato adalah menyampaikan apa yang ada di lubuk hati terdalam Sri Raja. Jika mereka setuju, maka mereka akan mengikuti. Dan itulah jenis dukungan terbaik.
***
Setelah pertemuan akbar berakhir, para pandita kembali ke daerahnya masing-masing. Mereka menyatakan dukungannya pada Airlangga, sehingga para kepala desa mendeklarasikan diri sebagai bagian dari Kerajaan Medang. Pajak yang masuk pun meningkat pesat, ditambah gelombang sukarelawan yang berdatangan ke Watan Mas. Tak sedikit desa-desa yang menawarkan bantuan logistik apa apabila suatu hari kelak prajurit sang raja melintas di wilayahnya.
Di sisi lain, Sri Dewi berhasil mencapai kesepakatan dengan pamannya. Ia pulang ke Watan Mas membawa bergerobak-gerobak bahan baku logam. Para pandai besi lekas bekerja siang dam malam, demi mempersenjatai bala tentara Medang secepat mungkin.
Hasin melatih prajurit-prajuritnya dengan disiplin yang keras, agar kelak mereka menghasilkan kemenangan yang telah dinanti.
Padi-padi pun menguning, siap untuk dipanen.
Istana Watan Mas selesai dibangun. Tidak terlalu megah, tapi cukup sebagai titik awal perjuangan. Airlangga menempati singgasananya di Balai Witana. Lalu ia mengumpulkan orang-orang yang sangat berjasa membantu dirinya menjalankan roda pemerintahan.
"Mpu Narotama!"
"Saya menjawab panggilan Sri Raja." Pria itu bersimpuh.
"Mpu adalah seorang yang sangat setia. Sudah tak terhitung berapa kali Mpu menyelamatkan nyawa saya. Mpu juga tak pernah lelah membantu saya membangun ulang kerajaan ini. Oleh sebab itu, saya mengangkat Mpu sebagai Rakryan Kanuruhan dari Kerajaan Medang!"
"Terima kasih, Sri Raja."
Rakryan Kanuruhan adalah jabatan yang setara dengan perdana menteri. Ia adalah tangan kanan dari seorang raja yang membantu segala urusan pemerintahan.
Narotama nyaris menitikkan air mata saat menerima gelar tersebut. Ia sadar dirinya cuma seorang abdi dalem. Tak ada yang bisa ia berikan selain kesetiaan. Dan kesetiaan itu pula telah mengantarnya hingga titik ini.
"Hasin!" lanjut Airlangga.
Pria besar itu segera menghadap.
"Dosamu besar!" lanjut Airlangga. "Karena itu saya ingin kau menghabiskan sisa hidupmu menebus dosa tersebut. Saya ingin kau memimpin bala tentara Medang membebaskan penduduk yang masih tertindas. Saya mengangkatmu sebagai Senapati Kerajaan Medang!"
"Saya terima tanggung jawab ini, Sri Raja."
Senapati, adalah sebutan bagi panglima perang.
Hasin sangat bersyukur akhirnya bisa mengabdikan diri untuk Medang satu kali lagi.
"Sri Dewi!"
Sri Dewi lekas menghadap. Airlangga menatapnya lekat-lekat. Sebagai penerus Pandita Terep—pemimpin desa sebelum dibangun menjadi ibukota—mungkin seharusnya ia memegang jabatan yang berkaitan dengan kelola ibukota.
Namun, Airlangga merasa gadis itu bisa diandalkan. Sri Dewi bisa memimpin, bertarung, bahkan terkadang mewakilinya menghadapi orang-orang. Airlangga jadi tenang bila berada di belakangnya.
"Kau yang dulu memanggilku dari pertapaan. Sekarang aku sudah turun gunung, siap untuk mengembalikan kejayaan Medang. Aku ingin kau menjadi saksi sekaligus ikut melindungi perjuangan ini. Karena itu aku mengangkatmu sebagai pengawal pribadi raja."
Gadis itu tampak tertegun, kemudian bersujud, "Saya siap berkorban untuk Sri Raja dan kejayaan Medang."
Selain itu datang juga bangsawan-bangsawan kecil yang memberi kesetiaannya pada Airlangga. Mereka bersumpah mendukung pemerintahan yang baru.
Setelah setiap orang berada di posisinya masing-masing, Airlangga siap memimpin ekspedisi militer pertamanya.
Pada akhir tahun itu, Airlangga membawa tak kurang dari lima ribu prajurit infanteri yang bersenjata tombak dan perisai. Ada sedikit prajurit kavaleri sebab anak-anak buah Hasin berhasil mengumpulkan sejumlah kuda di saat-saat terakhir. Tetabuhan berupa gendang, ketipung, gong, dan gemuruh tambur terus dibunyikan mengiringi perjalanan, guna meningkatkan moral prajurit sekaligus mengintimidasi lawan.
Tujuan pertama mereka adalah Wuratan, negeri yang dimpin oleh Wisnuprabawa sang titisan Wisnu.