Hari menjelang siang, bis telah sampai di tempat tujuan. Semua keluar dari bis. Sebelum mendirikan tenda, semua berkumpul untuk melaksanakan apel pembukaan kemah. Berkali - kali Kelli menguap, ia baru saja bangun dari tidurnya. Selama di perjalanan, ia tidur membiarkan Reyhan yang sibuk mengoceh sendirian.
Setelah apel selesai, setiap kelas membuat tenda sendiri - sendiri, Tenda laki - laki berada di sisi kanan sedangkan perempuan di sisi kiri. Kelli menggeram kesal, ia dan anak perempuan yang lain sibuk membuat tenda. Sedangkan Nita dkk hanya melihat tanpa berniat membantu.
"Bantuin kita buat tenda, jangan malah nongkrong liatin kita - kita. Kalau lo sama antek - antek lo nggak mau bantuin, nanti malam mending tidur di luar," ucap Kelli, anak perempuan satu kelas bersorak setuju dengan ucapan Kelli.
"Ada apa ini? Kok ribut," tanya Pak Ron menghampri tenda milik kelas 10 IPS 1, tidak lain dan tidak bukan adalah kelas milik Kelli.
"Ini Pak, Nita, Putri sama Ria, mereka asik liatin kita. Mereka nggak mau antuin kita," sahut Mita, Pak Ron langsung menatap ketiga perempuan itu tajam.
"Ya udah kalian semua istirahat, biar mereka yang melanjutkannya." Nita dan antek - anteknya melebarkan matanya, ketiganya tidak terima. Sepeninggal Pak Ron, Nita menatap Kelli sinis.
"Puas lo," ucap Nita. Kelli dan yang lainnya tersenyum.
"Belum puas sih sebenarnya," balas Kelli seraya menyeringai.
"Kelli sialan." Nita menghentakkan kakinya kesal.
"Nah gitu dong nge-gas," balas Kelli seraya tersenyum lebar.
***
Setelah selesai mendirikan tenda, untuk laki - laki diminta mencari kayu bakar untuk acara api unggun malam nanti. Karena kayu yang di bawa tidak cukup. Bian berkali - kali mendumel, perutnya perih. Sedari pagi ia belum makan karena ia bangun kesiangan.
"Lo kenapa Bi?" tanya Reyhan, menyadari laki - laki di sampingnya terus memegangi perutnya.
"Perut gue perih," balas Bian, Vion dan Reyhan mendengus. Keduanya tidak akan mempercayai omong kosong Bian, tidak mungkin seorang Bian telat makan.
"Gue serius, tadi kesiangan nggak sempat sarapan," ujar Bian masih dengan memegangi perutnya.
"Bilang aja lo nggak mau bantuin cari kayu, pakai alasan belum makan segala," sahut Vion, disambut anggukan oleh Reyhan.
Mereka kembali mencari kayu bakar lagi bersama yang lain. Keringat dingin mulai membasahi kening Bian, matanya mulai berkunang - kunang.
'Bruk.'
Reyhan dan anak yang lain terkejut mendapati Bian yang jatuh pingsan dengan wajah pucat, ia dan Vion segera membawa sahabatnya itu ke tenda PMR. Sesampai disana Pak Ron dan Pak Milan terkejut melihat Vion dan Reyhan menggendong Bian.
"Bian kenapa?" tanya Pak Milan, pria paruh baya itu menatap anak didiknya khawatir.
"Dia nggak sempat makan tadi Pak, Bian punya penyakit maag. Keliatannya maag-nya kambuh Pak," terang Reyhan.
"Ya udah kalian kembali cari kayu bakar, biar saya dan Pak Milan yang mengurus Bian disini," ujar Pak Ron, Vion dan Reyhan mengangguk. Keduanya kembali mencari kayu bakar.
Sepeninggal Reyhan dan Vion, kedua pria paruh baya itu teringat sesuatu.
"Bukannya kita mau nyusun games buat anak - anak besok? Kita bahkan belum taruh plang arah di pohon," ucap Pak Milan.
"Nita," Pak Ron memanggil Nita, kebetulan sekali perempuan itu berada tidak jauh darinya.
"Kamu bisa jaga Bian, dia berada di dalam. Tadi dia pingsan, maagnya kambuh. Nanti jika Bian sadar, tolong buatkan teh hangat dan Roti. Rotinya berada di kantong plastik merah," jelas Pak Ron. Nita ingin menolak, mengingat kedua gurunya itu killer, ia memilih cari aman.
"Baik Pak," ucap Nita.
Nita masuk ke dalam tenda PMR, ia melihat laki - laki itu terbaring lemah dengan wajah pucat. Nita mendekati Bian, ia duduk di samping tempat laki - laki tidur. Melihat keringat di kening Bian, ia mengambil tisu di saku celananya. Nita mulai mengelap keringat di kening laki - laki itu perlahan, ia baru menyadari jika Bian memiliki wajah yang rupawan. Walaupun tidak serupawan Reyhan.
"Lo sebenarnya ganteng, tapi-" ucap Nita menggantung.
"Tapi apa?" tanya Bian dengan senyuman lemah. Nita terkejut, wajahnya merah padam.
"Lo kok bangun sih," rutuk Nita seraya membuang muka.
"Jawab pertanyaan gue, tapi apa?" tanya Bian lagi. Nita menghembuskan napasnya, ia bangkit dari duduknya.
"Bentar gue bikinin teh hangat," ucap Nita. Sebelum Bian membalas ucapan perempuan itu, Nita sudah pergi ke pojok tenda.
Bian merutuki dirinya, harusnya ia tidak pingsan. Pasti kedua sahabatnya panik tadi, jangan sampai Vion dan Reyhan menghubungi Mamanya. Kalau sampai itu terjadi, pasti mamanya menyusul dirinya kesini. Ia tidak mau itu terjadi.
"Nih." Nita menyodorkan segelas teh hangat dan dua bungkus roti kepadanya. Bian pun menerimanya, ia mulai meminum tehnya.
"Kemanisan," ujar Bian, Nita memutar bola matanya.
"Harusnya lo bilang makasih sama gue," ucap Kelli ketus.
"Makasih," balas Bian singkat, perempuan itu hanya membalas dengan anggukan.
Bian dan Nita bertukar pandang ketika keduanya mendengar suara ribut di luar tenda. Perasaan Bian tidak enak, ia familiar dengan suara seseorang di luar.
"Bian!" pekik Dea a.k.a Mama Bian. Laki - laki itu melebarkan matanya terkejut, baru saja ia berharap agar Mamanya tidak datang.
Dea memeluk anaknya erat, membuat laki - laki itu meronta - ronta. "Ma, Bian nggak papa."
Dari ekor matanya, ia bisa melihat Nita terkikik. Bian menatap perempuan itu tajam. Ia menghela napasnya lega ketika Mamanya melepas pelukannya. Bian bisa melihat Mamanya menangis tersedu - sedu, ini yang ia takutkan. Ia tidak mau Mamanya datang, karena wanita paruh baya itu selalu berlebihan cenderung mendramatisir keadaan. Demi tuhan dirinya hanya pingsan. Ini pasti ulah kedua sahabatnya, ia akan meminta perhitungan setelah ini.
"Mama tadikan suruh kamu buat makan dulu, kamu dibilangin susah banget sih. Mama khawatir tau nggak," ujar Dea seraya menghapus air mata di pipinya. Ia menoleh ke samping, kemudian senyuman mengembang.
"Makasih ya kamu sudah merawat anak tante yang bandel ini." Nita hanya mengangguk dengan canggung.
"Bian udah baik - baik aja sekarang, Mama bukannya harus pergi ke Bandung ya?" Mendengar ucapan Bian, Dea menghela napasnya.
"Kamu ngusir mama ya," ucap Dea dengan nada sedih, Bian menggeleng dengan cepat.
"Bukan gitu maksu-" ucap Bian terpotong.
"Ya udah Mama pergi, jangan lupa minum obat. Jangan telat makan, jangan-"
"Iya Ma iya," balas Bian.
"Nama kamu siapa?" Nita melirik Bian, ia bingung.
"Nita tante," jawab Nita seraya tersenyum tipis.
"Tante titip Bian ya." Nita menatap Mama Bian dengan tatapan tidak percaya. Kenapa harus dirinya yang menjaga laki - laki rese di sampingnya.
Sepeninggal Dea, Nita dan Bian saling berpandangan. Nita membuang mukanya, hingga suara Bian memecah keheningan.
"Lupain ucapan Mama gue yang tadi," ujar Bian seraya menatap Nita. Perempuan itu mengangguk.
"Gue baru tau, ternyata lo anak mama ya," ucap Nita dengan seringaiannya.
"Ya iyalah gue anak mama, masa anak tetangga," balas Bian, Nita mendengus.