Pasca kehadiran ular itu diketahui seantero rumah KKN dan beberapa tetangga sebelah rumah, anak-anak wanita jadi sedikit takut untuk berada di samping rumah ataupun di dekat tangga, di dekat tangga ini memang terdapat rerumputan yang dekat dengan saluran pembuangan air, memang termasuk tempat yang lembab dan nyaman untuk habitat ular. Jawir yang mendengar berita tersebut kemudian berkata kepadaku, "Tinggal kita lihat saja, apakah pertanda kedatangan ular-ular itu adalah rejeki ataupun musibah!" terangnya kepadaku.
"Pak dukun ini bisa saja! Sudah serahkan saja kepada Tuhan!" ujarku tak mau ambil pusing dengan ocehan Jawir.
Acara perkenalan ini akan dilaksanakan nanti malam, sebelumnya ketika kami memulai KKN ini ada dana yang disetorkan oleh setiap peserta KKN sebesar 500.000 rupiah perkepala, total uang yang disimpan oleh Feranda selaku Sekretaris KKN ada sekitar 6 juta lebih, uang inilah yang dijadikan bekal untuk kami melakukan kegiatan KKN, sebenarnya beberapa proposal sudah disebar, namun sampai sekarang belum ada panggilan dari DPL KKN mengenai pencairan dana proposal tersebut. Para wanita mulai belanja untuk persiapan jamuan nanti malam, sedangkan aku, Endy, Jawir, Dwi, Tony, Mak dan Feranda bertugas untuk membersihkan lantai dua sekali lagi. Aku yang khawatir mengenai adanya ular yang masuk ke dalam rumah kemudian mengambil inisiatif untuk menaburkan garam di penjuru rumah, ilmu kudapat ketika mengikuti kegiatan Pramuka tempo dulu, jikalau ular tidak begitu suka dengan adanya garam.
Kami semua membersihkan rumah, namun ada hal yang aneh dengan Endy. Ia duduk dijendela yang mengarah ke depan rumah, matanya kosong dan menatap keluar dengan raut muka sedih, "Han, itu si Endy kenapa?" tanya Feranda penasaran. "Entahlah ... anak itu memang seperti beberapa hari ini, kangen rumah mungkin!" ujarku. "Ya sudah ... aku coba kesana!" Mak kemudian mendekati Endy dan menepuk punggungnya.
"En ... kamu gpp?" tanya Mak penasaran. Endy menoleh dan terlihat menyapu air matanya yang tidak terasa turun, "Eh ... aku tidak apa-apa, Mak!" Endy kemudian melanjutkan pekerjaannya.
Pembersihan rumah itu akhirnya selesai. Kami sudah siap untuk melakukan perjamuan dan perkenalan anak-anak KKN kepada warga desa, makanan sudah dibeli, minuman juga, kebersihan lantai dua untuk ruangan perjamuan juga sudah sedemikian rupa, tinggal menunggu waktu lepas maghrib dan para undangan akan segera datang. Malam perkenalan itu boleh dibilang berjalan lancar, kami menjelaskan maksud kedatangan kami kepada warga desa, menjelaskan program kerja KKN kami ke depan yang bertujuan membangun desa dan ditanggapi positif oleh warga desa.
Waktu berjalan dengan cepat, tidak terasa sudah dua hari lamanya setelah acara perkenalan KKN malam itu. Hari ini kami memiliki agenda untuk mengajari anak-anak SD,SMP & SMA setelah pulang sekolah, otomatis rumah KKN terlihat cukup ramai dengan kedatangan sekitar 20-30 anak-anak dari penjuru desa, keadaan saat itu begitu indah, apabila diingat-ingat lagi.
Mak kemudian membisikki aku yang kini tengah berdiam diri duduk di tangga depan rumah, "Han ada yang aneh dengan tingkah, Endy!" Aku kemudian mendengarkan cerita Mak mengenai kejadian aneh yang ia lihat di sosok Endy. Aku memang tidak terlalu ambil pusing dengan masalah orang lain, namun tampaknya Mak merasa kalau Endy memang cukup bertingkah aneh hari ini. Mak kemudian mengeluarkan suatu buku dan menyerahkannya kepadaku.
"Lihat ini!" Mak membuka lembar demi lembar buku tersebut dan terlihat beberapa catatan.
"Ini tulisan, Endy?" tanyaku kepada Mak. Apa yang aku lihat sekarang ini adalah tulisan dengan gambar-gambar aneh, simbol-simbol yang tidak kupahami dan terakhir terlihat beberapa tulisan mengenai kematian. Kalimat "Mati" sangat sering terlihat dengan gambar seram dan simbol aneh disetiap lembar buku tersebut.
"Iya ... Endy juga sudah dibilang 3 hari ini tidak makan apa-apa. Kalau kita makan, ia ditawari dan bilang sudah kenyang. Putri dan Aisyah beberapa kali memaksanya makan dan anak itu muntah, terutama aku mencium bau busuk dari tubuhnya, anak itu tampaknya tak pernah mandi beberapa hari belakangan." terang Mak.
"Yang benar, Mak? Apa memang aku yang tidak terlalu memperhatikan Endy!" timpalku.
"Kamu terlali sibuk dengan tanggungjawab terhadap proker yang berjalan. Tapi kulihat kamu sering mengabaikan Endy dan terlalu sering mengobrol dengan Dwi ataupun Tony. Kamu juga mungkin tidak tahu, kalau Jawir sudah dua hari ini kembali ke kota tanpa izin."
"Ohh ... Jawir memang sudah izin kepadaku tempo hari, katanya istrinya sedang sakit. Jadi terpaksa aku memberinya izin untuk kembali ke kota. Kalau memang begitu ayo kita cek keadaan Endy!"
Aku mulai menyuruh anak-anak yang sedang belajar itu kembali ke rumah, waktu juga sudah memasuki waktu sore, terlihat Feranda, Ceni, Ira, Aisyah dan Putri telah selesai mengajari anak-anak ini. Aku kemudian mengajak mereka semua berkumpul dan melaksanakan rapat dadakan. Aku mulai menanyakan mengenai catatan tersebut kepada anak-anaka yang lain dan bertanya kepada Endy mengenai apa yang sedang terjadi. Endy terlihat begitu pucat. Ia berbicara kepadaku dengan tangan yang gemetaran seperti orang yang sedang demam.
"Kamu tidak apa-apa, En? Kamu sudah makan?"
"Sudah ... aku sudah makan!"
Putri dan Aisyah yang tahu benar hanya menggeleng. Menurutnya, Endy tidak makan sudah dua hari ini dan hanya minum air putih saja. Mereka khawatir kalau Endy terkena maag ataupun pingsan, karena gelagatnya memanglah seperti itu. Tapi ... Endy tetap kukuh dengan pendiriannya dan aku juga tidak bisa memaksa lebih banyak.
Aisyah membawakan Endy sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya. Endy bersikeras masih menolak makanan tersebut, hingga kemudian dibujuk dengan setengah dipaksa Endy akhirnya buka mulut, "Aaaa..." makanan itu masuk ke mulut Endy. Namun tak butuh lama Endy terlihat seperti orang sakit, ia dengan seketika itu juga memuntahkan makanan itu ke lantai menyebabkan Aisyah yang sedang menyuapinya terkejut dan piring yang penuh dengan makanan itu terjatuh ke tanah.
"Kamu sakit, En! Ayo ke poli desa untuk berobat!" ajakku sembari membantu membersihkan makanan yang tumpah di lantai.
"Tidak ... aku tidak lapar! Makanan itu pahit!" ujarnya.
"Kalau lapar nanti makan ya, Endy! Nanti kamu tambah sakit!" bujuk Mak dan juga Aisyah.
Tingkah laku Endy yang seperti ini berlangsung selama kurang lebih 3 hari lamanya setelah pasca kejadian. Kabar baiknya Endy sudah mulai kembali makan walaupun porsinya tidak sebanyak biasanya. Namun kebiasaannya menulis di buku dengan catatan kematian itu masih berlanjut, sifatnya juga berubah drastis, anak ini tidak lagi mudah tersenyum, suka melamun dan terkadang apabila ditegur dia menjadi sosok yang sensi. Aku tidak mau hal ini berlarut-larut dan mencoba untuk menegur Endy, karena menurutku hal ini sudah agak kelewatan, karena memang membuat anak-anak KKN yang lain menjadi khawatir terhadap dirinya. Pembicaraanku dengan Endy termasuk alot, ia sama sekali tidak ingin mendengarkan nasihat dan perkataanku. Aku yang tidak mau berdebat, hanya mengalah dan kemudian fokus dengan proker KKN yang memang harus dijalankan.
Suatu hari, kami mendapatkan undangan dari salah satu kelompok koperasi desa yang membawahi bagian lelang sumber daya alam desa mulai dari kopi, tembakau, kapas dan tidak lupa karet. Aku dan semua anak-anak KKN termasuk Endy mengikuti kegiatan itu dengan seksama. Acara ini merupakan perkenalan mengenai sistem lelang, sistem donasi dan juga distribusi sumber daya alam desa ini, hingga kemudian acara ini masuk ke bagian tanya jawab. Aku mempersilahkan teman-teman yang lain, jika ada pertanyaan mengenai mekanisme ini. Tony terlihat aktif karena memang jurusannya adalah Ekonomi Marketing, sedangkan aku yang di fakultas Hukum ini tidak terlalu ambil pusing mengenai trafic dan keuntungan. Endy terlihat antusias, setelah giliran Tony, ia memberanikan diri untuk bertanya. Ia berbicara mengenai apa yang ia ketahui, tapi omongan itu agak sedikit ngelantur dan terlihat tangan Endy bergetar hebat seperti orang yang sedang sakit.
Aku yang melihat hal itu kemudian berbisik kepada Tony, "Endy tampaknya sakit, Ton! Apa ktia bawa ke polidesa saja?" Tony mengangguk ia sependapat dengan perkataanku. Mungkin setelah ini kami akan membawa Endy ke poli desa untuk berobat.
Karena ocehan yang dilontarkan oleh Endy sudah tidak bisa diterima nalar, salah satu orang yang merupakan bagian dari BPD meminta Endy untuk berhenti dan kembali ke tempat duduk. Aku kemudian membisikki Endy dan berniat mengajaknya ke poli desa, "Kamu tampaknya sakit, En! Mukamu pucat, bro!" beberku kepadanya. Ia tetap bersikeras tentang keadaan dirinya yang baik-baik saja. 'Apa kupanggil saja bidan desa itu ke rumah KKN ya' batinku.