Berselang tak berapa lama setelah perceraiannya dengan Depati Kecik, Majedah mendapat lamaran beruntun dari enam orang lelaki. Anehnya, semua lelaki yang melamar itu adalah famili dekat Depati Kecik, bahkan seorang diantaranya adalah adik Depati Kecik lain ibu, yakni Kuris.
Semua lelaki yang melamar itu sudah dikenal oleh Majedah ketika dia masih berada di Gunung Meraksa. Dua orang diantaranya duda, empat orang lainnya masih bujang.
Dan Kuris ini malahan berumur empat tahun lebih muda dari Majedah.
Kuris sehari-hari bekerja sebagai penggembala sapi milik kakaknya, Depati Kecik. Sapi yang digembala Kuris berjumlah 40 ekor. Depati Kecik terkenal sebagai seorang pasirah kepala marga yang kaya. Kuris juga menetap di rumah kakaknya itu. Kuris dikenal sebagai pemuda pekerja keras dan rajin serta sederhana.
Demikianlah, ketika satu persatu lelaki yang melamar ditolak oleh Majedah. Tetapi, ketika Kuris yang datang melamar, janda Depati Kecik itu langsung menerimanya.
Ketetapan Majedah memilih Kuris untuk menjadi kosuaminya, telah mencengangkan orang banyak.
Akhirnya, setelah ada ketetapan bahwa Majedah betul-betul menerima lamaran pemuda Kuris, maka para orang tua kedua belah pihak bersepakat menentukan hari pernikahan yang akan dilangsungkan di rumah orang tua mempelai perempuan.
Pada hari yang telah ditentukan berlangsunglah pesta pernikahan Majedah dan Kuris. Acara pesta itu dilangsungkan sederhana saja tak seperti ketika Majedah menikah dengan Depati Kecik. Kembali Depati Kecik memperlihatkan jiwa besarnya, serta kemurahan hatinya. Segala biaya pelamaran dan pesta pernikahan Majedah dan Kuris berikut mas kawinnya ditanggung oleh Depati Kecik.
Setelah menikah, Kuris pindah menetap di dusun istrinya di dusun Lampar. Ibu-bapak Majedah dan keluarga serta famili-famili yang lain, senang semua pada Kuris, malahan seisi dusun. Seperti disebut, dia ini seorang pekerja
yang keras, bertabiat baik, sopan dan santun, penolong dan orang yang suka beribadat. Sembahyang Jum'at tidak pernah tinggal yang dilakukannya di Masjid.
Semenjak datang di Lampar, Kuris membuka kebun kopi di belakang dusun, menanam kelapa dan juga memelihara sapi pemberian kakaknya Depati Kecik. Kuris masih tinggal di rumah mertuanya, tetapi berangsur- angsur dia beramu kayu di hutan untuk nantinya dapat mendirikan rumah sendiri. Sapi jantannya banyakmenolong, sebagai sapi penarik kayu-kayu.
Tepat dua tahun setelah menikah, rumahnya selesai dibangun dan dia pindah ke rumah barunya. Upah tukang dibayarnya dengan menjual dua ekor sapi. Dia masih punya sapi-sapi dari sisa yang dijual, masih ada empat ekor, yaitu dua ekor betina dan dua ekor jantan.
Bukan main senangnya Majedah dengan suaminya Kuris, bisa tinggal di rumah sendiri, hasil jerih payahnya sendiri. Rumah bagus, baru biarpun kecil dan di rumah mereka inilah lahir anak pertama seorang perempuan, yang diberi nama Hanimah.
Penduduk dusun Lampar sangat terkesan atas keberhasilan Kuris. Kebun kopi di pinggir dusun, biarpun tak seberapa luas, tapi tumbuh dengan subur karena terawat baik sekali. Dapat dikatakan tak sebatang rumputpun tumbuh di kebunnya. Juga kebun kelapanya, biarpun jumlahnya hanya 30 batang tetapi tumbuh dengan baiknya.
Biasanya tanaman kelapa yang masih kecil tak koakan berumur lama, karena dimakan babi. Tapi Kuris membikin kandang yang kokoh satu persatu untuk tiap bibit kelapa, sehingga tak dapat dirusak babi hutan.
Orang-orang menaruh hormat padanya, karena tingkah lakunya yang baik, suka menolong orang, dan agamanya yang kuat. Segala yang dikerjakannya menjadi contoh bagi penduduk.
Cara dia menanam kopi, cara dia berkebun kelapa, cara dia beramu membikin rumah, dan sikap yang ramah, singkatnya Kuris menjadi buah bibir orang-orang sedusun.
Kalau ada yang sedekahan (kenduri), pasti Kuris diberikan tempat yang terhormat. Bahwa ada juga yang iri hati, tentu saja.
Mencari Lahan Baru
Suatu malam selepas sembahyang Isya, Kuris mengajak istrinya Majedah berunding tentang sesuatu yang telah lama dipikirkannya. Kuris menyampaikan bahwa dia akan berjalan, berkeliling mencari tempat yang baik untuk membuka kebun kopi.
"Kebun kopi di pinggir dusun, terlalu kecil, biarpun tumbuh dengan bagusnya. Lahan/tanah sekitar dusunnya untuk berkebun secara luas tak cukup, sehingga perlu mencari di tempat lain," kata Kuris.
Akhirnya, atas persetujuan istrinya, Kuris disertai famili bernama Mantap berangkat mencari lahan baru.
Mereka berencana paling lama sepuluh hari sudah kembali.
Mantap ini adalah saudara sepupu kakek dua beradik dengan Majedah.
Dengan membawa sepuluh kilogram beras dan ikan asin, Kuris dan Mantap, menyeberangi sungai Musi menggunakan rakit. Keduanya menuju ke Dusun Kembahang yang jauhnya lebih kurang enam kilometer.
Setelah menyeberang sungai Musi mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki ke Dusun Kembahang. Dusun ini adalah sebuah dusun yang kecil, yang dihuni sebanyak lima belas kepala keluarga,
Sesampai di Dusun Kembahang, Kuris dan Mantap bertanya kepada warga setempat tentang dimana tempat yang cocok untuk bertanam kopi.
Kejadian ini sekitar tahun 1880. Warga Dusun Kembahang yang ditanyai tentu heran, mereka menunjuk ke Bukit Balai, rentetan gunung yang berada di sebelah belakang dusun mereka. Mereka balik bertanya, dari mana mereka datang?
Dari Dusun Kembahang mereka terus menuju ke Dusun Talangpadang. Hari sudah sore dan mereka bertanak nasi. Seharian belum makan selain sewaktu pagi-pagi berangkat meninggalkan Dusun Lampar. Mereka berdua tidur di masjid kecil Dusun Talangpadang.
Besoknya mereka bertanya-tanya lagi pada penduduk setempat. Bukan hanya pada seorang saja, tapi pada beberapa orang. Semuanya menjawab di Bukit Balai.
Sesudah makan, tengah hari mereka mulai berjalan menempuh arah Bukit Balai. Medan yang dilalui cukup berat dan mendaki. Jalan yang ditempuh hanya jalan setapak melalui beberapa kebun-kebun penduduk, dan setelah beberapa jam Kuris dan Mantap sampai di kebunpenduduk yang terakhir.
Dari sana sudah tak ada lagi jalan, dan mereka telah sampai di kaki Bukit Balai.
Di kebun terakhir ini tidak ada orang. Ada pondok kecil kosong yang berada di tengah-tengah kebun. Kuris dan Mantap bermalam di pondok kosong itu.
Setelah sembahyang Subuh, mereka menanak nasi, dan sesudah makan mereka berangkat. Sisa nasi yang dimakan, mereka bungkus dengan daun pisang, untuk bekal. Kuris dan Mantap masing-masing mempunyai bekal
sebungkus nasi. Beras dan lain-lain, juga dibagi dua, dan masing-masing membawa sebagian.
Sungguh terasa berat perjalanan mendaki Bukit Balai, karena harus menempuh hutan yang lebat dan harus mencari serta merintis / membikin jalan sendiri.
Dengan pisau yang tajam mereka memotong tumbuhan-tumbuhan yang menghalangi, berupa semak-semak dan rumpun-rumpun rotan. Kalau bisa dihindari, mereka mengambil jalan memutar, dan kalau tidak bisa memutar mereka terpaksa membuat jalan agar bisa maju.
Keadaan seperti itulah yang membuat perjalanan mereka sangat lambat dan meletihkan. Kuris dan Mantap saling bergantian menyingkirkan penghalang di hadapan mereka.
Siapa yang dapat giliran berjalan di depan kerjanya lebih berat karena harus memotong atau menebas penghalang, sedangkan yang dibelakang agak lebih ringan, karena sekadar membersihkan sedikit-sedikit melapangkan jalan yang sudah dibuka.
Merekapun berjalan maju sambil membuat tanda-tanda di pohon-pohon danmemperhatikan keadaan sekeliling. Gunanya, agar pada saat mereka kembali nanti tidak akan tersesat di jalan dalam hutan lebat yang belum dijamah manusia.
Perjuangan mereka memang memerlukan keberanian serta tekad yang sangat luar biasa. Untuk menjelajah suatu tempat yang berhutan lebat seperti dilakukan Kuris dan
Mantap butuh mental baja. Bahaya dari harimau si Raja Hutan, gajah liar, beruang-beruang, dan ular-ular berbisa, setiap saat dapat mencelakakan mereka.
Menurut beberapa orang penduduk Talang Padang, kira-kira tiga per empat waktu perjalanan untuk sampai ke puncak bukit, akan ditemui suatu dataran luas yang sangat cocok untuk berkebun kopi.
Di tengah dataran itu mengalir pula sebuah sungai kecil dan tanahnya subur dengan suhu udara yang dingin, tempat yang sangat cocok dan ideal untuk bertanam kopi.
Datarannya luas, sehingga dapat memenuhi kebutuhan berkebun seberapa pun, tergantung kemampuan.
Diceritakan bahwa dataran tersebut pernah
ditemukan oleh tiga orang penduduk Dusun Talangpadang kira-kira sepuluh tahun sebelumnya. Ketiga orang itu pada waktu itu juga bermaksud mencari lahan yang luas guna berkebun kopi.
Dua orang diantaranya hilang tersesat di jalan sewaktu turun hendak pulang dan seorang lagi dapat sampai ke rumahnya dalam keadaan sakit. Sebelum meninggal, dia masih sempat bercerita tentang dua orang kawannya dan tentang penemuan dataran yang begitu luas dan subur.
Semenjak peristiwa itu tak seorangpun yang mencoba lagi naik ke Bukit Balai ini.
Tempat seperti yang dikisahkan inilah yang hendak ditemukan oleh Kuris dan Mantap. Dengan tekad yang bulat, keduanya berani menantang segala kesulitan dan bahaya. Menyadari bahaya tersesat di jalan seperti yang dialami penduduk Talang Padang sebagaimana diceritakan kepada mereka.
Kuris dan Mantap senantiasa memberi tanda-tanda pada tempat-tempat yang dilalui. Cara ini sangat memperlambat perjalanan, tetapi sangat berguna agar aman pada saat jalan balik.
Melihat condongnya matahari, mereka memutuskan beristirahat dan makan bekal yang dibawa. Menurut perhitungan, mereka sudah berjalan kurang lebih 8 jam, tanpa berhenti, sambil nebas. Mereka merambah lagi,
membikin jalan yang mendaki berbelok-belok dan kadang-kadang menuruni lembah yang dalam setelah itu mendaki lagi.
Berdasar petunjuk penduduk dusun, setelah setengah hari berjalan ke arah puncak bukit, hendaklah berpatokan ke matahari, yaitu matahari tetap di sebelah kiri dan jangan
jauh di kanan matahari, tetapi sedikit saja. Petunjuk jalan inilah yang mereka turuti.
Sebelum matahari gelap mereka berhenti, menanak nasi, dan mencari pohon kayu yang cocok untuk dinaiki untuk tidur di atasnya guna menghindari bahaya binatang buas. Setelah dari Dusun Talangpadang, malam ini adalah malam yang pertama mereka bermalam di hutan Bukit Balai.
Pada saat nanak nasi untuk makan pagi sengaja mereka memasak sekaligus untuk makan siang dan sore. Sebab kalau tiap kali berhenti untuk bertanak nasi, akan menghabiskan waktu. Kuris dan Mantap mengharapkan selepas tengah hari sudah sampai di dataran yang dituju. Perjalanan hari ini lebih berat dari kemarin dan dari hari pertama pendakian.
Jalan-jalan yang ditempuh lebih terjal, banyak jurang yang harus dituruni dan naik kembali.
Pemberian tanda-tanda jalan yang jelas harus lebih banyak dibuat, karena jalan berliku-liku. Tapi tetap dengan semangat dan tekad yang tinggi, mereka seolah-olah tak kenal lelah. Maju, tebas, maju, beri tanda, maju lagi, tebas lagi semak-semak, rumpun-rumpun rotan yang menghalangi.
Matahari tak tampak karena tertutup pepohonan yang lebat. Di tepi jurang yang terbuka matahari terlihat jelas.
Keajaiban Sebungkus Nasi
Sudah lewat tengah hari, sebab matahari sudah condong ke barat, dan dari tempat terbuka ini mereka dapat melihat ke seberang jurang, tampak dataran yang dituju.
Dari ketinggian pohon-pohon yang dapat dikatakan rata sejauh mata memandang, terlihat sama, yakinlah mereka bahwa mereka telah berhasil sampai di tujuan.
Dengan sekali lagi menyeberangi jurang yang dalam dan kemudian mendaki sampai di puncaknya, mereka akan sampai ke tempat yang didambakan. Senang sekali hati Kuris dan Mantap. Mereka berpelukan, mencium tanah dan berdoa syukur kepada Allah Swt.
Mereka beristirahat dulu dan mengeluarkan bekal masing-masing untuk makan sebelum meneruskan perjalanan menuruni jurang yang kelihatan dalam dan lebar.
Lalu terjadi sesuatu yang aneh. Ketika bekal nasi mereka buka dari pembungkusnya, yaitu daun pisang hutan, ternyata nasi bekal Kuris telah berubah menjadi ulat-ulat putih yang sama besarnya dengan butir-butir nasi. Semuanya.
Kuris memandangnya dengan takjub, heran dan terdiam. Sedangkan kawannya, Mantap telah mulai makan, dan duduk agak berjauhan.
Rupanya nasi Mantap tidak berubah seperti nasinya.
Kuris terdiam, berpikir dan berkesimpulan bahwa kejadian ini adalah petunjuk yang baik dari Tuhan, dan dengan ucapan Bismillah dia mulai makan yang dilihatnya bukan nasi, tetapi ulat-ulat yang putih bersih. Tak sebutirpun disisakannya.
Kejadian ini tidak segera diceritakannya pada Mantap, dan mereka meneruskan perjalanan dengan menuruni jurang yang dalam.
Sebelum menuruni jurang, Kuris memotong dahan atau ranting kayu yang di pinggir jurang, dan dibiarkan masih tersangkut di pohon. Menurut pemikiran Kuris, dahan pohon yang dipotong dan tidak jatuh ke tanah, kalau sudah mengering akan dapat terlihat dari seberang jurang, dan dapat dijadikan patokan arah perjalanan.
Menuruni jurang makan tenaga juga. Jurang terjal dan dalam. Selain itu, jurang ini seolah-olah kebun rotan, begitu banyak dan rapatnya rumpun rotan. Nyatanya, pada saat nanti, rotan-rotan yang bagus-bagus dan bermacam-macam jenis ini sangat diperlukan mereka.
Mereka berusaha berjalan dan maju dengan cepat, agar sebelum matahari gelap telah dapat mencapai puncak jurang, yang berarti telah sampai di dataran yang mereka tuju. Syukur, sebelum hari gelap mereka telah mencapai puncak jurang. Mereka makan bekal yang ada dan menaiki pohon kayu untuk bermalam. Bekal yang dimakan Kuris petang ini tidak berubah, masih nasi, tidak seperti bekal yang siang tadi.