Sementara untuk Monica, Kakek tidak memiliki keinginan untuk mempersilakannya duduk seperti yang ia lakukan pada Bryan. Monica menatap keduanya dengan sinis. Merasakan kesenjangan, Monica memilih untuk tetap berdiri di hadapan Kakek.
Ia yakin ini tidak akan menjadi pembicaraan yang lama. Karena memang dirinya tidak ingin berlama-lama.
Detik kemudian, Wajah Kakek langsung berubah, "Lalu apa yang ingin kau katakan padaku?" tanyanya dengan penuh nada menyidak.
Melihat perubahan raut wajah Kakek yang sepertinya tidak terlihat senang, Monica yakin Kakek pasti sudah tahu apa kiranya yang akan ia katakan padanya. Anak buah Kakek yang sejak tadi terus membuntutinya tentu telah memberitahu Kakek bahwa Hendrik tadi menemuinya.
Walaupun begitu, Monica sekalipun tidak gentar untuk mengutarakan apa yang ingin ia katakan.
Ia menatap Kakeknya dengan wajah yang sama seriusnya.
"Apa yang sebenarnya sudah Kakek lakukan pada Hendrik?" tanya Monica langsung tanpa basa-basi. Ia tahu, sama sekali tidak diperlukan berbasa-basi jika sedang berbicara dengan Kakek. Semakin cepat ia mengutarakan maksudnya, semakin Kakek tidak bisa berdalih.
"..." Kakek diam sejenak. Matanya memancarkan kemarahan. Monica bisa merasakan ketegangan yang kiranya akan terjadi setelah ini.
"Kau ingin bicara denganku tentang sesuatu hal yang penting. Dan itu adalah tentang Si Brengsek yang tidak berguna itu?!!" Walapun sudah mengira hal itu yang akan mereka bahas, Kakek tetap saja marah, "Apa kau telah sangat dibutakan oleh perasaanmu sehingga kau masih saja peduli dengannya?"
"Tidak penting apakah aku masih peduli padanya atau tidak. Yang terpenting sekarang adalah apa benar Kakek sudah melakukan sesuatu padanya? Kakek menyabotase pekerjaannya?" tembak Monica dengan penuh penghakiman. Ia sangat membutuhkan jawaban yang pasti dan tidak ingin berbelit-belit sekarang.
Wajah Kakek langsung berubah tegang.
"Aku seharusnya membungkam mulut besarnya itu lebih dalam lagi agar dia tidak bisa mengadu padamu seperti seekor anak anjing yang menyalak. Apa dia pikir dengan mengadu padamu segala sesuatunya bisa dia rubah?" seru Kakek tanpa rasa simpati.
"Kakek!!" ucap Monica.
Monica benar-benar kesal. Ia telah kehilangan seluruh kata-katanya. Sejak dalam perjalanan pulang ia masih sangat berharap bahwa Kakeknya sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan masalah Hendrik. Tapi apa yang baru saja didengarnya?
Seharusnya ia membungkam mulut besarnya itu lebih dalam lagi?
Hah!! Monica sungguh tidak bisa mempercayai itu. Apa benar, Kakeknya itu seorang manusia?
"Kakek.. Kakek jelas tahu aku paling tidak suka jika ada orang yang seenaknya saja bermain-main dengan kekuasaan. Dan Kakek adalah contoh yang paling buruk yang pernah ada. Apa Kakek harus sampai melakukan semua itu sampai sejauh ini?" Monica menatap Kakeknya dengan frustasi.
Ia sudah tidak peduli dengan kehadiran orangluar yang terus menonton pertengkaran adu mulut antar sesama anggota keluarga yang makin tidak terkendali ini. Hatinya benar-benar telah panas sekarang.
Bryan pun sama sekali tidak berniat untuk menyuarakan pendapatnya. Masalah ini jelas tidak berada dalam otoritasnya untuk berkata-kata. Yang bisa dilakukannya hanya satu. Mengamati dan terus mengamati. Ia tetap duduk dengan tenang di kursinya tanpa berniat untuk membuat gerakan yang dirasanya tidak perlu.
Hanya saja. Mengapa mereka tidak menyuguhkan secangkir minuman untuknya?
Mereka memang baru dalam perjalanan pulang dari restoran. Dan Bryan memang tidak terlalu banyak berbicara saat di dalam perjalanan menuju kemari. Hanya saja melihat mereka terus membuang ludah, kenapa bukannya mereka yang seharusnya merasakan kekeringan di tenggorokkan mereka, tapi justru dirinya?
"Kakek hanya melakukan apa yang seharusnya Kakek lakukan. Dia pantas mendapatkan itu. Kau seharusnya berterimakasih pada Kakek karena telah membalas perbuatannya itu padamu. Tidakkah seharusnya kata-kata terimakasihlah, yang seharusnya kau ucapkan padaku?" Kakek tetap bersikukuh pada perbuatannya yang dianggapnya benar dan tepat.
Monica jelas tidak setuju.
"Aku sama sekali tidak butuh bantuan Kakek untuk menyelesaikan masalahku dengannya!! Apapun yang terjadi antara aku dengan Hendrik, itu jelas adalah urusan kami. Kakek sama sekali tidak punya hak apapun untuk ikut campur!!" teriak Monica.
"Tidak punya hak untuk ikut campur?" Kakek semakin meninggikan nada suaranya, "Lalu memangnya apa yang akan kau lakukan untuk membalas pria itu? Menerimanya begitu saja dan lari seperti seorang pengecut? Tidakkah kau berpikir jika oranglain akan menertawakan kebodohanmu ini dengan sangat keras, begitu mereka mendengarnya?" Kakek terus menerjang Monica dengan tanpa belas-kasih.
Dan itu sama sekali tidak membuat Monica gentar ataupun goyah.
"Kakek, tidak selamanya sebuah kejahatan harus dibalas dengan kejahatan juga. Setidaknya aku seharusnya bersyukur karena telah dibukakan mata dan batinku untuk mengetahui bagaimana sebenarnya Hendrik itu sebelum kami benar-benar menikah. Apa hal itu tidak pernah terpikirkan oleh Kakek?" Monica kembali membalas setiap ucapan Kakek dengan keyakinannya sendiri. Mereka memang tidak pernah sepaham. Tapi ia perlu untuk mengemukakan pahamnya sendiri.
"Omong kosong. Kakek jelas perlu menegakkan hukum karma padanya. Jika dia telah berbuat sesuatu yang buruk pada keluarga kita. Maka Kakek tentu harus mengadilinya dengan sangat tegas tanpa belas kasihan," ucapan Kakek cukup membuat Bryan sedikit bergidik.
Ia memang telah tahu, Tuan Hendra bukan orang sembarangan. Laki-laki tua ini jelas punya banyak kuasa untuk menuntaskan segala keadilan yang diinginkanya untuk dicapai. Dan tentunya, keadilan itu harus berdasarkan dengan sudut padangnya sendiri.
Bryan kembali menatap Monica dengan khawatir. Wanita ini sama keras kepalanya dengan Kakeknya. Dan Bryan tidak tahu mana diantara keduanya yang akan menang. Tapi Bryan yakin Tuan Hendra pasti lebih unggul darinya.
Monica tersenyum kecut. Apa yang ia harapkan dari Kakek yang tidak pernah sepaham dengannya ini? Berharap ia akan memiliki pemikiran yang sama dengannya? Atau bahkan sepaham dan mau mendengarkannya? Itu jelas mustahil.
"Kakek.. aku tidak peduli apapun yang sudah Kakek lakukan pada Hendrik. Hentikan itu sekarang juga sebelum aku benar-benar marah dan melakukan tindakan gila yang mungkin tidak pernah akan Kakek sangka," seru Monica penuh ancaman.
"Kau berani mengancamku demi laki-laki bajingan itu?" Kakek semakin murka. Ia merasa telah sangat salah dalam membesarkan dan mendidik cucunya. Bagaimana mungkin cucunya itu bisa begitu nekat terus membela laki-laki yang sudah menyakitinya itu di hadapan Kakeknya sendiri? Apa dirinya telah dicuci otaknya?
Kakek benar-benar telah kehilangan kesabaran.
"Sampai kapanpun Kakek tidak akan menghentikan apa yang sudah Kakek lakukan. Kau tidak punya apapun untuk melawanku!!" ujar Kakek penuh ketegasan dan keyakinan.
Monica menatapnya tajam. Lalu detik berikutnya ia menatap Kakeknya dengan sedih.
"Apa Kakek tahu apa yang orang-orang katakan tentang Kakek di luar sana?" tanya Monica dengan nada lirih, ia merasa sangat lelah sekarang.
"..." Kakek diam dan tidak membalas.
***