webnovel

Pengakuan Max

Pak Kepala desa dan Elia pergi dari tempat itu. Helikopter yang tadi mengantarnya telah ada di tempat tadi ia datang. Deru dan sapuan angin kembali terasa di tempat yang sama. Max yang tadi terpatung bersama Andre mencoba mengejarnya. Tapi usahanya tak berbuah. Helikopter yang ditumpangi Kepala Desa dan Elia telah menjauh.

"Elia!! Tunggu!!", teriak Max. Tapi helikopter itu semakin menjauh. Meninggalkan Max dan Andre yang bisa menatapi kepergian helikopter itu.

" Semua ini gara-gara pelayan itu!!", bentak Max yang kemudian ia berlari mencari pelayan tadi meninggalkan Andre.

Langsung saja Max menuju ruang makan, tempat para pelayan berada. Satu lantai di atas penjara, menuju lantai itu Max melangkah. Memasuki lift dan menekan tombol berangka -10.

Hanya memerlukan puluhan detik saja, pintu lift akhirnya terbuka. Dengan perasaan kesal, Max memasuki ruang makan. Mencari si pelayan. Mencoba bertanya pada siapapun ia berpapasan. Tak satupun orang disana berkenan. Ia terus mencari, tapi tak ia temui jua si pelayan.

Lantas ia pun bertanya pada kepala bagian disana tentang pelayan yang tadi mengantar minuman pada Max dan tamunya. Pria yang merupakan kepala bagian disana pun menunjukkan wanita yang tadi disuruhnya mengantar minuman pada Max dan tamunya. Dipanggillah wanita itu. Sesaat setelah ditanyai apakah wanita ini yang tadi tak sengaja menumpahkan minuman pada Kepala Desa atau bukan. Max yakin kalau itu bukanlah wanita tadi. Ia begitu mudah mengenalinya berkat tahi lalat di dagu wanita pelayan tadi. Karena semakin bingung dengan semua pernyataan kemudian Max bertanya, " Apa yang sebenarnya terjadi disini?".

Wanita pelayan yang tadi dikira sebagai pelayan yang menumpahkan minuman angkat bicara, " Biar saya jelaskan Pak. Jadi tadi saat saya hendak mengantar minuman itu, ada seorang wanita berpakaian seperti saya, pelayan, menawarkan diri untuk menggantikan saya mengantar minuman tersebut, karena kebetulan saya kurang enak badan, jadi saya mempercayakannya kepada dia".

"Lantas kemana ia sekarang, hah?", tanya kesal Max.

Wanita pelayan tadi kembali menjawabnya dengan santai, " Saya juga kurang tahu, Pak. Saya baru pertama kali melihatnya, saya kira pelayan baru tadi".

"Ahh..siall!!", geram Max yang kemudian pergi menuju lift meninggalkan mereka.

Pintu lift terbuka. Dan Max pun memasukinya. Ia menggerutu di dalam hatinya, " Kemana wanita itu, jangan-jangan..ia disuruh seseorang, agar perjanjianku dengan kepala desa gagal?".

Langkah dari sepatu kulit terdengar. Semakin mendekat ke arah Andre yang tengah bersandar. Di sudut ruangan dekat layar besar. Dan saat hentakkan tangan Max di bahu Andre membuat pikirannya buyar. Seketika itu juga pandangan Andre teralih pada Max yang membuatnya terkejut benar. Andre mengangkatkan alisnya mengisyaratkan pada Max sebuah tanda tanya besar.

" Sedang apa disini?", tanya Max pada Andre yang masih saja terduduk di lantai.

Sebenarnya Andre sedang mengamati apa yang selanjutnya harus ia lakukan untuk membebaskan teman-temannya yang tadi dijebloskan lagi ke penjara setelah Candra hilang. Andre mencoba untuk tak terlihat mencurigakan. Ia malah menjawab pertanyaan Max dengan sebuah pujian, " Canggih sekali semua alat-alat ini, ini semua kamu yang rancang?".

Max merasa tersanjung dan mulai menampakkan kesombongannya, " Tentulah. Aku yang merancang semua ini. Aku yang berkuasa disini. Tak boleh ada yang menentangku".

" Tapi ingat! Masih ada Tuhan yang ada di atas segalanya. Kau tak akan ada disini kalau Tuhan tak ciptakan kamu, jangan belagu dulu kamu", cetus Andre yang mulai kesal dengan kesombongan Max, kemudian ia berdiri dan menatap Max dengan tatapan tajamnya.

"Asal kamu tahu ya, saat dulu aku sering beribadah, aku sering membantu orang, tapi kenapa aku malah dihina, direndahkan, tersiksa, terpuruk, bahkan tak punya apa-apa, kemana Tuhan yang selalu kamu sanjung itu, hah?", jawab Max yang sepertinya sudah kelewat batas kadar kesombongan.

Andre makin kesal mendengar jawaban Max seperti itu, tapi ia mencoba menimpalinya dengan nada lembut, " Max, adikku, dulu aku tak pernah mengajarimu untuk sombong. Ayah dan Ibupun tak pernah mengajarimu seperti ini. Apa yang kamu banggakan disini? Alat-alat yang canggih ini? Bisa menguasai desa-desa kecil? Menjajahi mereka? Itu perbuatan jahat, Max. Aku tak mendidikmu jadi penjahat. Siapa yang mengajarimu seperti ini? Kenapa kau menjadi seperti ini?".

Max melangkahkan kakinya ke lantai 2 di ruangan itu, tempat yang ia buat untuk mengawasi setiap pekerjaan, Andre mengikutinya, menunggu jawaban apa yang akan diucapkan oleh Max. Hingga Max pun mulai berucap," Kakak meninggalkanku, ayah dan ibu juga meninggalkanku, semuanya meninggalkan aku, Kakak. Aku sendiri. Max kecil yang menyedihkan. Aku yang saat itu tengah tertidur. Terbangunkan sirine mobil polisi yang terparkir di halaman rumah. Kakak tak ada di sampingku. Aku mencarimu ke ruangan lain, tapi nihil. Tak ada orang di rumah besar itu. Aku sendiri kala itu. Max kecil..yang malang". Tak sengaja air mata mengalir di atas pipi Max. Tapi karena ia tak ingin berlarut dalam kesedihan yang sempat menimpanya, Max menghapus air matanya itu, kemudian kembali berbicara dengan nada yabg sedikit mencekam, " Tapi..aku bukan anak bodoh. Yang terpuruk dalam kesendirian. Aku sudah terbiasa sendiri saat kau sedang sibuk sekolah. Dan asal kakak tau, aku dijadikan kelinci percobaan oleh ilmuwan biadab itu. Dan saat kalian semua sudah pergi meninggalkan aku seorang diri. Aku berjanji akan balas dendam pada kalian saat aku sudah besar. Dan kini, aku sudah besar, berkuasa. Aku bisa melakukan apapun yang aku mau. Aku buat bunker ini. Buat berbagai rintangan untuk menuju kesini, biar tak ada yang bisa menemukanku. Aku tau kamu dan ilmuwan biadab itu tinggal di desa itu. Aku mengurung kalian, dan mengubah kalian menjadi manusia abnormal yang tak berdaya. Tapi karena aku masih menyayangi kakak, aku menyuruh seseorang memanggil kakak, agar kakak pergi dan tak menggagalkan usahaku saat semua warga di desa itu aku ubah".

" Tapi kenapa? Yang kamu lakukan itu jahat. Ingat semua yang kamu lakukan itu pasti ada karmanya. Aku mohon, bebaskan mereka, kembalikan mereka seperti semula. Aku tahu kamu pasti punya penawarnya, kan?", tanya Andre yang mencoba mengingatkan Max agar menghentikan semua perbutannya.

Max menjawab pertanyaan Andre dengan nada agak tinggi, "Kenapa? Sudah aku bilang padamu, aku dendam pada kalian, aku benci mereka. Aku tak mau bebaskan mereka, kecuali dengan satu syarat,.."

Sebelum Max meneruskan ucapannya, Andre menyelanya ," Apa syaratnya? Apapun itu, akan aku lakukan!".

" Elia harus menjadi istriku, dengan syarat itu, aku baru akan membebaskan mereka, kecuali kedua ilmuwan biadab, mereka akan merasakan apa yang aku rasakan waktu kecil", ketusnya ditambah dengan tawa jahat dari mulutnya.

Kemudian Max meninggalkan Andre yang masih terkejut mendengar jawaban Max. Mungkin kemarin Elia dan Kepala desa hendak menandatangani itu. Andre sedih, wanita pujaannya menjadi syarat kebebasan para warga di desa itu.

Próximo capítulo