webnovel

RUTE YAMI KETIGA: CERIA

Yami POV

"Seriusan?! Kemarin Kojima-kun ngasih jimat cinta itu?"

"Beneran! Aku juga kaget karena tiba-tiba dia ngasih."

"Terus-terus, apa yang terjadi? Apa reaksimu?"

"Itu… dia langsung mengungkapkan cinta kepadaku. Terus, a…a-aku me…menerimanya."

"Waaahhh, selamat!"

"Ternyata cintamu tidak bertepuk sebelah tangan!"

"Hm, iya, aku sangat senang sekali!"

Itulah yang kudengar dari ketiga siswi yang sedang istirahat di pojok ruangan. Kemudian, mereka berdua memeluk temannya yang mendapatkan keberuntungan itu.

"Hei, Yami-chan!"

"Hai!"

Spontan aku berdiri kaget mendengar seseorang memanggilku dengan suara keras seperti itu.

"Dari tadi aku manggil, tapi kau enggak menyahut. Ada apa?"

"I-Itu… bukan apa-apa…" Aku pun kembali duduk, sambil senyum-senyum malu. "Terus, gimana dengan papannya?"

Sekarang aku sedang di dalam ruangan klub kaligrafi. Di sini aku meminta Tohiko, temanku yang merupakan salah satu anggota klub ini, membuatkan papan promosi rumah hantu yang akan diadakan kelasku. Sebenarnya bisa saja dengan tulisan biasa, tapi aku rasa akan lebih menarik kalau tulisannya ditulis oleh anggota kaligrafi. Pasti ada aura tersendiri saat melihat tulisannya.

"Kenapa malah tanya lagi? Kan aku bilang, belum selesai. Aku sedang mau istirahat dulu, karena tadi membuatkan banyak sekali pesanan."

"Be-Benar juga… Heheheh, maaf, aku lupa."

Sebelumnya, Tohiko membuatkan papan tulisan untuk festival nanti. Mau itu untuk klub lain, gerbang, dan lainnya. Tentu saja dia tidak sendiri, karena klub ini cukup banyak anggotanya. Tapi, karena temanku ini memiliki kemampuan menulis yang bagus, jadinya banyak yang inginnya dia yang membuatkannya.

"Apa mungkin tadi kamu mendengar pembicaraan mereka?" tanya Tohiko.

"Iya, begitulah. Aku iri dengan dia."

"Hmmm… Jadi, kamu sedang jatuh cinta, ya?"

"Heh? Ah, enggak, kok! Aku enggak lagi jatuh cinta!"

"Masa?"

"Beneran!"

"Begitu. Oh iya, Rifki yang sering kau bicarakan itu udah punya pacar belum? Aku ingin ajak dia kencan."

"Tidak, dia tidak punya. Tunggu, kau tertarik dengannya?"

"Iya. Dia kelihatan keren."

"Yah… Nanti aku coba tanya dia, apakah punya waktu luang pekan nanti."

"Hahahahah, maaf-maaf. Aku bercanda, kok!" ujar Tohiko berhasil menjahiliku. "Tenang saja, aku tidak tertarik dengannya."

"A-Aku tidak peduli mau kau ternyata benar tertarik atau tidak."

"Dengar, Yami-chan. Kalau kau begitu terus, bisa-bisa dia direbut sama perempuan lain, loh."

Tiba-tiba hatiku terasa sakit mendengar itu. Memang benar, kemungkinan itu bisa ada. Mengingat Kiki itu orang yang baik sekali, maka tidak akan aneh kalau ada yang menyukainya juga. Terus, dia dikelilingi banyak perempuan, terutama para penghuni asrama. Kemungkinan itu memang akan terjadi.

Kuakui, aku memang jatuh cinta kepada Kiki. Malah, dia adalah cinta pertamaku, terlebih cinta pandangan pertama. Rasa cintaku semakin besar, setelah aku sering bersamanya. Aku benar-benar mencintainya.

Aku jadi ingat, kalau Kiki memiliki jimat cinta yang dimaksud ketiga perempuan itu. Kira-kira, siapa yang akan dia kasih, ya? Aku harap itu adalah aku.

"Hei, Yami-chan."

"Yami-chan."

"Yami-chan!"

"Ya?"

"Lagi-lagi kau begitu. Ada apa? Apa kau punya masalah di rumah?"

"Tidak. Tidak, kok. Aku baik-baik saja! Ah, aku mau ke kelas dulu. Mungkin saja di sana ada yang bisa aku kerjakan sambil menunggu papannya."

"Oke."

Aku pun pergi ke luar dan menuju kelasku. Jaraknya cukup jauh, karena bisa dibilang beda gedung.

Aku jadi kepikiran soal Kiki yang akan memberikan jimat itu kepada siapa. Kalau dilihat dari sikapnya, kira-kira dia suka dengan Avira. Pertama, Kiki terima saja makanan pemberiannya, walau rasanya aneh. Kedua, Kiki selalu membantunya, terutama saat Avira melakukan kecerobohan. Ketiga, aku dengar kalau laki-laki suka sekali diandalkan, jadi kurasa Kiki menyukai Avira yang bisa membuatnya jadi laki-laki diandalkan.

Sedangkan aku, aku tidak punya apapun yang bisa menarik baginya. Feminim tidak, yang ada malah berisik. Ukuran dada, masih dalam proses perkembangan. Tingkah, kurasa tidak ada bagian yang bisa membuat laki-laki nyaman.

Pokoknya, aku jauh dari perempuan idealnya Kiki. Sudah dipastikan bukan aku yang akan diberikan jimat itu.

Aku pun menghentikan langkah, walau belum sampai di depan pintu kelas. Karena aku melihat ada Avira sedang berdiri sendirian. Hendak aku ingin memanggil dan menghampirinya, tapi tiba-tiba datang Kiki. Jadi, aku sembunyi di belokkan.

Aku tidak terlalu jelas apa yang mereka bicarakan, tapi yang jelas aku bisa menyimpulkan kalau Kiki datang terburu-buru menyusul Avira yang hendak pergi. Dari kelihatannya, sepertinya situasinya cukup serius.

Lalu, apa yang terjadi selanjutnya adalah hal yang mengejutkan, walau aku bisa memperkirakannya. Aku tahu kejadian itu akan terjadi, tapi entah kenapa itu membuatku terkejut dan menyakitkan.

Benar-benar menyakitkan. Saking sakitnya, air mataku keluar karena tidak bisa menahannya. Jantungku pun terasa sesak, seolah ada yang mencengkramnya kuat-kuat.

Aku langsung lari dari sana, menjauh dari tempat yang bisa membuatku melihat kejadian yang menyakitkan bagiku.

Aku tahu itu… Aku tahu kalau Kiki menyukai Avira. Tapi, kenapa aku terkejut dengan hal itu dan merasa sakit hati seperti ini?

"Yo, Yami!"

Mendengar seseorang memanggilku, membuatku terkejut dan tanpa sengaja mengeluarkan 'Ah' dengan cukup keras. Lalu, aku pun memutar badanku ke belakang. Dapat dilihat, sosok laki-laki yang kucintai, namun tidak ingin kulihat sekarang.

"Yo… Kiki…" balasku, berusaha agar tidak terlihat seperti menghindarinya.

"Kenapa matamu merah begitu? Apa kau habis menangis?" tanya Kiki cemas.

"Ti-Tidak, kok… I-Ini… mataku hanya kemasukkan debu saja," balasku mengelak, aku tidak mau memberitahukan alasan yang sebenarnya.

"Kalau begitu biar aku tiup. Mata yang mana?"

"Ti-Tidak perlu!" tolakku sambil menggerakkan kepala ke samping, untuk menghindarinya. "Ini tidak apa-apa…" lanjutku sambil menggosok pelan kedua kelopak matanya.

"Lalu, apa yang sedang kau lakukan di sini? Apa membuat papan promosinya sudah selesai?"

"Be-Belum… a-aku baru saja dari toilet. Kalau kau sendiri kenapa ada di sini?"

"Aku mau pergi ke kantin untuk membelikan beberapa makanan dan minuman pesanan teman-teman."

"Be-Begitu… Kalau begitu, aku pergi ke ruang klub kaligrafi. Dah!"

Aku pun pergi dengan tidak melakukan kontak mata dengannya, untuk pamit. Aku langsung mempercepat jalanku menuju ruang klub kaligrafi dan agar menjauh dari Kiki secepat mungkin.

Sesampainya di ruang klub, aku hanya berdiri di dekat pintu masuk. Mungkin karena merasa aneh, Tohiko langsung menghampiriku.

"Hei, Yami-chan. Kau kenapa?"

"Tidak apa-apa…"

"Tidak apa-apa bagaimana. Wajahmu sangat merah dan matamu juga. Apa tadi kau menangis? Apa kau terluka?"

"Tidak… Aku tidak ter…lu… WUAAAAA!"

Aku langsung memeluk temanku ini, sambil mengeluarkan kesedihan yang sudah tidak bisa kutahan. Kukeluarkan dengan suara kencang sekali. Walau begitu, Tohiko tidak marah karena aku membuat gendang telinganya sakit. Malah, dia menepuk-nepuk punggungku sambil mengeluarkan kalimat untuk menenangkanku.

***

Malam hari pun tiba. Setahuku, persiapan untuk rumah hantu di kelas hampir selesai, jadi ada beberapa teman sekelas yang memutuskan untuk menginap di sekolah untuk menyelesaikannya. Begitu juga denganku. Namun, aku memiliki alasan yang berbeda.

Alasan aku tidak pulang karena aku ingin menenangkan diri akibat kejadian tadi siang. Aku juga tidak mau bertemu dulu dengan Kiki, karena hatiku belum siap menerima apa yang baru saja terjadi. Selain itu, aku ada perasaan tidak enak kepada Avira. Mungkin saja tanpa disadari, aku akan membencinya.

Walau tadi aku sudah menangis sekeras-kerasnya, bahkan sampai menceritakan semuanya ke Tohiko. Namun, tetap saja. Perasaan sedih dan sakit di hati belum juga hilang. Masih terasa, walau tidak separah awal.

Aku harus segera menghilangkan rasa sakit ini sebelum besok tiba, karena aku pasti akan bertemu dengan mereka berdua besok. Tapi, bagaimana caranya?

Kalau tidak salah, aku pernah mendengar kalau ingin meredakan emosi seseorang, maka keluarkan dengan teriak. Aku bahkan sudah teriak berkali-kali, dipelukan Tohiko. Namun, tetap saja belum reda.

Terus, ada yang bilang kalau emosi bisa dihilangkan dengan meluapkan emosi melalui pukulan sekeras-kerasnya. Aku sudah melakukan itu, memukul berkali-kali bantal karakter cewek milik salah satu anggota laki-laki kaligrafi yang tidak sengaja ditemukan. Tapi, tetap belum reda juga.

Apa mungkin emosi karena patah hati berbeda?

"Yo, Yami. Kenapa kau ada di sini malam-malam begini?"

Mendengar seseorang memanggilku, aku langsung melihat ke arahnya.

"Ki-Kiki…"

Sepertinya, keputusanku untuk tetap di sekolah adalah kesalahan besar.

Próximo capítulo