webnovel

33. Pipis

Gelora 💗 SMA

Udara siang hari ini terasa sangat dingin, mungkin karena kondisi cuaca di luar yang lagi mendung. Langit nampak gelap dan pastinya hari akan segera turun hujan, sehingga membawa hawa sejuk seperti di daerah puncak. Hawa dingin inilah yang menjadi pemicu kandung kemihku mendadak jadi penuh. Aku benar-benar kebelet pipis. Dan saat begini biasanya burung pelatukku berereksi tanpa terkendali. Meskipun air seni sudah berasa di ujung kepala burung aku tidak berani untuk ijin ke toilet. Aku lebih memilih menahan kencing daripada melewatkan penjelasan materi di jam-jam terakhir pelajaran begini.

__Jangan ditiru, ya! karena menahan kencing berdampak buruk untuk kesehatan ginjalmu.

Tet ... Tet ... Tet!

Akhirnya, bel tanda pulang berdentang. Sang Guru pun pamit dan langsung keluar meninggalkan kelas. Saat itulah aku bergegas mengemasi buku dan peralatan tulisku. Kemudian dengan gesit aku berlari menuju ke toilet.

Tiba di toilet aku langsung bergerak ke tempat urinoir yang kosong, karena beberapa tempat sudah terisi oleh para siswa yang lain. Tanpa banyak tingkah, di depan urinoir ini aku segera melorotkan celanaku dan mengeluarkan kepala burung-ku, sedetik kemudian, currrr ... aku membuang hajat kecilku. Achhhh ... Sambil memejamkan mata, aku menikmati setiap semprotan air seniku yang mengucur deras mencemari badan urinoir. Tubuhku seketika itu bergidik, Uchhh ... legaaaa.

Akhirnya, tuntas juga aku berkencing ria. Aku perlahan membuka mataku, dan aku mendadak terkejut tatkala aku melihat ada orang yang sedang kencing berdiri tepat di sebelahku. Yang membuatku bertambah terkejut lagi aku mengenal orang itu dan orang itu adalah orang yang paling menyebalkan di kelas. Siapa lagi kalau bukan si Akim. Dengan santainya dia memperlihatkan alat vitalnya yang sedang memancurkan air seni.

''Ackkkhh ... nikmaaatttt,'' ujar Akim sambil merem-melek dengan tubuh yang bergidik manjah.

''Gendeng!'' gerutuku seraya dengan cepat aku memasukan kembali burung-ku ke celana. Aku tidak rela perkakas kebanggaanku ini jadi tontonan gratis mata cowok genit semacam Akim.

''Eh ... ada si Manis,'' celoteh Akim sambil melirikku, lalu dia meringis dan mempermainkan alisnya naik-turun.

''Mmmm .. '' gumanku sambil bersingut-singut.

''Kenapa, Poo? Kaget, ya ... lihat punyaku gede dan panjang begini. Hehehe ..." Lagi-lagi Akim berseloroh, "kamu suka, 'kan?'' imbuhnya sambil menggoyang-goyangkan senjata pribadinya itu.

''Sueeee!'' timpalku dan langsung memalingkan mukaku.

''Hehehe ..." Akim cuma terkekeh.

''Kamu tuh, kayak setan, Kim! Suka muncul tiba-tiba,'' kataku.

''Hahaha ... '' Akim jadi ngakak.

Aku hanya geleng-geleng kepala, lantas aku melangkah ke arah wastafel untuk mencuci tanganku dengan sabun.

''Kapan ya, kita bisa pipis enak bareng ... Poo?'' ujar Akim mengantri di belakangku. Aku melirik dia dari pantulan kaca. Dari situ aku melihat dia lagi sibuk merapikan celana dan pakaiannya. Dia sudah selesai membuang hajat kecilnya.

''Pipis enak?'' Aku memutar bola mataku, "maksudnya apa, Kim?'' tanyaku.

''Masa'... kamu tidak tahu?'' Akim memonyongkan mulutnya.

''Tidak!''

''Hehehe ... makanya kamu bergaul dong, sama Akim ... biar tahu apa itu 'Pipis Enak'. Wkwkwkwk ...."

''Terima kasih, deh ... mendingan aku tidak tahu istilah begitu daripada bergaul dengan kamu ...'' balasku sambil ngeloyor pergi meninggalkan makhluk entah beranta itu.

''Poo ... tunggu!'' seru Akim menahan langkahku. Tangannya dengan refleks memegang pergelangan tanganku.

Aku jadi terhenti, aku menatap tangan Akim yang menempel di tanganku dengan sorot mata yang tajam. Lalu cowok tengil ini perlahan melepaskan genggaman tangannya dari tanganku.

''Hehehe ...'' Dia tersungging memamerkan gigi ginsulnya, ''Poo ... kita pulang bareng, yuk?!'' lanjut dia.

''Tidak mau!'' jawabku.

''Kenapa?''

''No comment!'' Aku membalikkan tubuh dan mulai melanjutkan langkahku. Si Akim membuntutiku seperti anak ayam yang mengikuti induknya.

''Poo ...''

''Apaan, sih ...''

Akim berusaha berjalan tepat beriringan dengan aku.

''Aku tahu ... kamu udah cerai 'kan dengan Randy ...'' ujar Akim enteng, polos, dan tenang, tapi bikin aku ngegrundel. Pengen ketawa sih, dengar kata cerai, tapi aku masih tahan. Aku tidak mau tertawa di depan dia. Bayangkan! Kok bisa sih, dia mengambil istilah cerai untuk menggambarkan hubungan aku dengan Randy. 'Kan lucu. Kenapa gak pakai istilah yang lain aja. Putus kek. Berantem kek. Atau apalah gitu yang umum digunakan.

''Poo!''

''Mmmm ...''

''Boleh dong kalau kita ta'aruf-an!''

''Hahaha ...'' Sumpah, kali ini aku benar-benar ngakak mendengar kata ta'arufan. Nyebelin banget 'kan!

''Kenapa kamu tertawa?''

''Karena kamu tuh, lucu!''

''Yes ... akhirnya kamu mengakui kalau aku ini lucu dan kamu bisa tertawa,'' Akim mengepalkan tangannya seperti orang yang senang mendapatkan kemenangan.

''Hmmm!'' Seketika itu pula aku langsung diam. Aku mencabut tawaku. Dan memasang wajah manyun. Aku tidak akan membiarkan Akim merasa berhasil karena bisa membuatku tertawa. Aku mempercepat langkahku, agar Akim tidak bisa mengejarku lagi.

"'Poo!'' seru Akim memanggilku, tapi aku tidak peduli.

''Poo .... jangan tinggalkan aku!'' seru dia lagi dengan gaya manjah-manjah gimana gitu bagai artis cowok alay yang bertingkah melambai-lambai seperti kembang goyang, (baca: ngondek).

Aku makin tidak menggubrisnya. Dia terlalu konyol untuk aku ladeni. Menyebalkan dan bikin ilfeel parah. Walaupun aku tahu dia hanya bercanda dan untuk menghiburku semata, tapi terus terang aku tidak suka.

__Maafkan aku, Akim!

Próximo capítulo