"Bagaimana jika aku adalah senja yang baru saja kabur dari langit bersama matahari?
Karena, matahari lebih hangat dibanding langit yang terkadang begitu dingin.
Karena, langit begitu sibuk mengurusi bumi, menaunginya dan waktuku bertemu dengannya hanya di ujung sore.
Karena--"
"Karena senja kurang bersyukur dan tidak tahu berterimakasih kepada langit yang sudah menyisihkannya tempat."
Lamanda menghentikan tulisannya. Ia menengok ke belakang, ke arah suara yang tidak asing di telinganya. Jantungnya berdegup kencang begitu melihat sosok lelaki yang berada beberapa senti meter di depannya.
"Jadi, bagaimana jika aku adalah langit yang selalu menunggu senja?"
Lamanda enggan menggubris, ia langsung berdiri dari duduknya, segera menutup buku tulisnya dan sudah hendak keluar perpustakaan, ketika orang itu merampas bukunya dan mendorongnya untuk kembali duduk.
Mengapa bumi seolah menyempit dan sekarang ia terjebak lagi dengan lelaki itu lagi. Lalu semesta menciptakan sebuah kebetulan di saat yang tidak tepat. Terlebih ketika melihat orang itu memakai seragam dengan bedge yang sama dengannya. Ini bukan kebetulan yang Lamanda inginkan.
"Berhenti gangguin gue, gue nggak kenal bahkan nggak tahu siapa lo," ucap Lamanda lalu mencoba merampas buku catatannya yang mulai dibuka oleh lelaki itu. Tapi gagal.
"Masih belum percaya?" lelaki itu menyeringai. "Oke. Buku ini gue ambil lagi."
Lamanda langsung mendekat dan hendak merampas bukunya, tapi lelaki itu mengelak. "Balikin buku gue!!"
"Nggak."
"Alta, balikin!!!"
"Lo gampang nginget nama baru ternyata," kata Alta.
Lamanda sontak diam begitu menyadari perkataannya barusan. Ia reflek mengucapkan nama tersebut karena memori beberapa hari lalu terlintas di kepalanya tadi. Napasnya memburu, ia beringsut kembali duduk dan menetralkan emosinya.
Seharusnya ia ikut Arsya dan Kaila ke kantin tadi daripada menunggu di perpustakaan sekolah dan membuatnya kembali terjebak dengan lelaki bernama Alta itu. Ia menunduk,
dan memilih memperhatikan ke luar jendela sambil menunggu kedua temannya masuk dan mengajaknya keluar dari sini, membebaskannya dari Alta.
Begitu mendengar suara pintu berderit, mata Lamanda langsung berbinar. Ia berdiri bertepatan dengan Alta yang menariknya ke pelukannya lalu mendaratkan bibirnya tepat di puncak kepalanya, ia melebarkan matanya begitu lelaki itu mengusap kepalanya lembut. Dan pecahan barang jatuh nyaring terdengar di telinganya.
Lamanda menoleh, melihat sosok gadis bertubuh semampai memandangnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Di bawahnya, cangkir sudah pecah menjadi beberapa kepingan, membuat isinya berhamburan di lantai.
Gadis itu terus memandanginya bergantian dengan Alta yang masih merangkul tubuhnya, enggan melepaskan meskipun ia sudah mencoba beberapa kali.
"Dia siapa, Al?" tanya gadis itu. Ia tidak lagi peduli pada sekitarnya yang mulai terpancing perhatiannya. Beberapa murid mulai mendekat begitupula penjaga perpustakaan yang masih terbilang muda dan kadar keingintahuannnya masih setara dengan anak SMA.
Alta diam, ia melihat Lamanda yang mulai memalingkan wajahnya ke samping. Menghindari kontak mata dengan siapapun dan memilih menunduk.
"Lamanda," jawab Alta.
"Siapa lo?"
Mendengar itu, Lamanda langsung menatap Alta dengan alis berkerut. Membuat lelaki itu juga memandangnya sekilas. Ia melepas cekalan tangannya dan menajuhkan dirinya dari Lamanda.
"Harus ya gue jawab pertanyaan lo. Gue rasa lo nggak buta dan bisa lihat kedekatan gue sama dia. "
"Maksud lo apa?"
"Dia pacar gue.".
Lamanda menahan napas. Ini salah. Ia sudah hendak menyela ketika gadis di depannya mengurungkan niatnya.
"Bohong!! Lo nggak mungkin pacaran sama dia. Gue bahkan baru lihat dia di sekolah." Gadis itu mendekati Lamanda, membuat Alta menarik Lamanda ke belakang tubuhnya sebelum gadis di depannya itu berbuat nekat. Namun gadis itu tidak menyerah, ia menarik lengan baju Lamanda dengan kuat dan membuat keduanya sudah berhadapan.
Gadis itu memandangi Lamanda dari bawah hingga atas. "Dia bahkan nggak lebih cantik dari gue," cibir gadis itu. Ia menoleh pada Alta yang menatapnya tajam. "Kalau dia pacar lo, selera lo emang rendahan. Pantes kalau lo nolak gue berkali-kali, yang lo cari modelnya kaya begini."
Ia bersedekap, tersenyum sinis pada Lamanda yang mulai mendongak dan berani menatapnya. "Oh atau, kalian udah pernah tidur bareng?"
Lamanda tercekat. Ia malu karena gadis di depannya itu begitu merendahkannya. Ia baru saja masuk di sekolah ini tapi sudah mendapat masalah dan dipermalukan seperti ini. Padahal, harapannya jauh dari itu.
"Kenapa nggak jawab? Jadi bener?"
"Cukup, Ra! Lo keterlaluan," ucap Alta.
Gadis dengan nametag Liora Titania Abraham itu menaiknya sebelah alisnya. "Gue cuma nanya kebenaran. Curiga aja lo bisa tertarik sama dia, padahal tampangnya biasa aja. Kecuali, kalau dia sodorin lo tubuhnya. Gue rasa semua cowok itu sama. Normal. "
Perpustakaan itu hening. Mereka bertiga menjadi sorotan dan tidak ada yang berani melerai. Perkataan Liora barusan membuat beberapa siswi berpikiran yang sama.
Alta kembali meraih tangan Lamanda. Ia tahu gadis itu menahan air matanya agar tidak keluar akibat perkataan Liora. Alta menatap Liora, ia mengunci mata kecoklatan di depannya. "Setelah semua yang lo bilang, gue rasa selama ini gue beruntung karena udah nolak lo berkali-kali. Youre so bad, and i dont like you," ucap Alta.
Setelah itu ia menarik Lamanda keluar dari perpustakaan tersebut, meninggalkan Liora yang langsung diam menyadari banyak kalimat buruk yang telah ia lontarkan, padahal selama ini ia selalu mengolah kalimatnya. Menjadi Liora yang baik dan begitu disegani. Tapi, Alta telah merubahnya.
***
Alta membawa Lamanda turun ke lantai dua, tempat dimana kelas sebelas berada. Ia mengeratkan pegangan tangannya begitu banyak siswi mengalihkan pandangan pada mereka. Sedangkan Lamanda tidak berbicara apapun, memilih untuk menurut dan mengikuti langkah Alta yang terburu. Karena ia sudah mencoba melepaskan tangannya dari cekalan Alta karena risih jadi pisat perhatian tapi percuma karena Alta mengeratkan cekalannnya membuat tanganya sakit.
"Kelas berapa?" tanya Alta.
"IPA 1," jawab Lamanda.
"Kenapa nggak bilang?" Alta menghembuskan napas dan berbalik lagi karena kelas yang mereka tuju sudah terlewati. Setelah melewati tiga kelas ia berhenti tepat di kelas dengan papan kecil bertuliskan XI IPA 1 dia atas pintu. Alta melepaskan cekalan tangannya kemudian meraih kembali tangan Lamanda begitu melihat pergelangan tangan gadis itu yang memerah. Tapi Lamanda keburu menariknya.
"Setelah ini jangan pernah keluar kelas sendirian," perintah Alta.
Lamanda memberanikan diri menatap Alta. Tidak peduli pada matanya yang sudah memerah sejak tadi. "Setelah ini berhenti gangguin gue dan ngaku sebagai Davino lagi."
"Gue cuma mau lakuin apa yang gue mau."
"Gue juga. Jadi lo nggak berhak ngelarang gue ngelakuin apa yang gue mau."
"Keras kepala, huh? Oke. Mau lo keluar kelas sendirian kek, mau lo nggak nganggep gue Davino atau apapun itu. Terserah lo. Tapi, jangan pernah nyuruh gue berhenti."
"Mau lo apa sih?"
"Lo. "
***
Terimakasih sudah membaca sejauh ini:)