Suasana kembali tegang saat Arjuna menceritakan tentang apa yang dilakukan Ardan kepada Sekar. Arjuna juga menceritakan perubahan sikap Ardan sejak menikah dengan Sekar, Renata terkesima dan tak tahu harus berkata apa.
"Jadi saya mohon untuk sementara Ibu jangan memberi tahu masalah itu ke Tuan Ardan. Entah apa yang akan terjadi jika rahasia besar itu meledak. Banyak pihak yang akan terluka, dan yang paling saya takutkan adalah Tuan Ardan akan menyalahkan dirinya sendiri dan kita tidak akan tahu apa yang akan Tuan lakukan untuk menghukum dirinya," sambung Arjuna.
Renata masih diam dan mengamini ucapan Arjuna yang ada benarnya, "Kamu benar tapi ada hal penting yang belum sempat saya beri tahu melalui email," Renata meneguk langsung jus jeruknya dan mengunyah bongkahan es yang ada di dalamnya.
"Rahasia apa lagi?" tanya Arjuna. Kepalanya langsung pusing saat sadar ternyata banyak rahasia yang belum terbongkar dan menyatu menjadi bongkahan bom yang hanya menunggu waktu untuk meledak.
"Kejadian malam itu menghasilkan seorang anak laki-laki. Ardan dan Sekar punya anak, saya tidak tahu di mana keberadaan anak itu tapi satu hal yang pasti … anak itu akan menjadi alat Mami untuk mengeruk harta milik Ardan. Saya tidak bisa tinggal diam dan membiarkan Mami mengambil keuntungan jika berhasil menemukan anak itu. Ardan harus tahu kalau di luar sana dia masih memiliki keturunan," Renata mengambil napas dan membuangnya setelah mengeluarkan semua rahasia yang ia ketahui. Arjuna semakin pusing dan shock mendengar cerita tentang anak kandung Ardan yang kini entah berada di mana.
"I … Ibu serius? Ya Tuhan, kenapa Nyonya Sekar sekali pun tidak pernah membahas masalah anak itu. Jangan bilang …"
"Saya tidak tahu, tapi yang pasti anak itu tidak pernah diasuh ibunya. Ya, wanita mana yang mau mengasuh anak hasil perkosaan tanpa tahu siapa pelakunya. Ya Tuhan, saya tidak bisa membayangkan kalau berada dalam posisi Sekar dan gilanya sekarang dia menikah dengan laki-laki yang merusak masa depannya," Renata memegang tangan Arjuna.
"Rahasia ini bisa menghancurkan semuanya," sambung Arjuna.
"Kamu benar Arjuna, kalau sampai rahasia ini terbongkar maka banyak pihak yang akan terluka. Ardan, Sekar, dan mungkin juga anak itu. Apa yang harus kita lakukan?" tanya Renata. Arjuna meminta pelayan membawakan dua gelas air dingin agar sakit kepalanya bisa hilang.
"Hanya satu hal yang bisa kita lakukan saat ini. Menutup rapat-rapat rahasia itu sampai anak itu ditemukan. Saya janji akan mencari anak itu sampai ke ujung dunia sekali pun, dan setelah itu kita akan memberi tahu Tuan Ardan tentang perbuatannya. Untuk saat ini hanya itu yang bisa kita lakukan,"
Renata mengangguk setuju dan beban berat yang ia simpan beberapa bulan ini seperti terangkat dan menghilang dari pundaknya, "Jadi … bagaimana dengan Mami dan Paman Felix? Mereka akan melakukan apapun demi kepentingan mereka. Kita harus mencegah mereka melakukan hal kejam. Saya merasa bersalah kepada Ardan, dia menanggung semua kebencian Mami dan Paman Felix hanya karena Papi menyerahkan seluruh harta warisan kepadanya," sambung Renata.
"Ibu tenang saja, saya akan menjaga Tuan Ardan dari gangguan pihak manapun. Lebih baik Ibu bersembunyi sejauh mungkin sampai kondisi benar-benar stabil. Saat saya tahu kalau Ibu dimasukkan ke rumah sakit jiwa oleh Ibu Marinka, saya bisa pastikan Ibu Marinka tidak akan segan-segan menyakiti Ibu supaya rencana jahatnya bisa terpenuhi," Renata mengangguk dan untungnya tadi pagi sebelum meninggalkan hotel ia sempat membuat perjanjian tentang pernikahannya dengan Pasha.
Renata mau menjadi istri Pasha dan mengandung anaknya tapi mereka harus pindah ke luar negeri sampai Renata melahirkan. Renata tidak mau mengandung dan melahirkan di Jakarta karena mata-mata Ibu Marinka bisa merusak rencananya dan untungnya Pasha menerima syarat itu.
"BODOH! APA YANG KAMU LAKUKAN FELIX!" teriak Ibu Marinka saat melihat Biyandra terlihat lemas dan tidak berdaya setelah Tuan Felix mengurungnya seharian. Tuan Felix tertawa dan mendekati Ibu Marinka dengan langkah oleng.
"Mbak membentakku demi anak haram itu?" ocehan Tuan Felix membuat Ibu Marinka menutup hidungnya. Bau alkohol tercium dari mulut Tuan Felix, Ibu Marinka mengambil tas tangannya dan memukul Tuan Felix agar segera sadar dari mabuknya.
"Bodoh! Bodoh! Bodoh!" Ibu Marinka menghajar Tuan Felix menggunakan tasnya. Tuan Felix kadung kesal langsung menahan tangan Ibu Marinka dan mendorongnya hingga terjatuh.
"Jangan pernah memanggiku bodoh! Atau aku akan membunuh Mbak dan anak haram itu!" oceh Tuan Felix semakin tidak jelas sebelum jatuh dan tidak sadarkan diri. Ibu Marinka melihat kondisi Biyandra yang semakin pucat langsung menggendong anak itu dan membawanya ke rumah sakit. Semua rencananya bisa gagal jika Biyandra mati. Harta yang ada di depan matanya bisa lenyap kalau pangeran keluarga Mahesa dinyatakan meninggal dunia.
"Bertahanlah, kamu harus bertahan!" Ibu Marinka memeluk tubuh mungil Biyandra agar tetap hangat.
Sesampainya di rumah sakit Ibu Marinka langsung menyuruh dokter merawat Biyandra. Kondisi Biyandra cukup serius, ia kekurangan cairan dan makanan. Tuan Felix mengurungnya dan tidak memberikan makan dan minum.
"Felix bodoh! Lihat saja kalau sampai Biyandra mati … aku akan membunuhnya dengan tanganku langsung," gerutu Ibu Marinka.
Beberapa kali Ibu Marinka mondar mandir di depan ruang UGD sambil menunggu dokter atau perawat datang memberi kabar. Setelah menunggu satu jam barulah dokter keluar sambil membawa kabar buruk.
"Bagaimana kondisi cucu saya, dok?" tanya Ibu Marinka.
"Kondisi cucu Ibu cukup memprihatinkan. Pasien kekurangan cairan dan gizinya cukup buruk. Kondisinya semakin memburuk dan kita hanya bisa menunggu pasien sadar dari komanya," ujar dokter dengan nada pilu. Ibu Marinka terdiam beberapa saat, kondisi Biyandra seperti ini akan merusak segala rencananya.
"Terima kasih atas bantuannya dokter," Ibu Marinka hanya bisa membalas dengan lemah dan tidak bersemangat. Semua impiannya hancur karena kebodohan Tuan Felix. Ibu Marinka murka dan berencana memberi pelajaran dengan menghajar dan memiskinkan Tuan Felix.
Setelah kepergian Ibu Marinka barulah dokter yang merawat Biyandra tadi muncul bersama perawat yang sedang menggendong Biyandra yang masih terlelap setelah menerima perawatan dari dokter, "Apakah kita salah menyembunyikan anak ini dari keluarganya, dok?" tanya perawat itu.
"Kamu buka bajunya," ujar dokter. Perawat itu membuka baju Biyandra dan menemukan bekas pukulan, cakaran, sudutan rokok, dan bekas-bekas kekerasan lainnya.
"Saya tahu kalau Ibu itu bukan nenek yang baik, makanya saya memberi tahu kalau kondisi pasien ini sangat memprihatinkan,"
"Apa yang akan dokter lakukan dengan anak ini. Menyembunyikannya dari keluarga kandungnya akan membawa masalah baru," tanya perawat itu. Dokter itu membuka kacamatanya dan memijit keningnya yang terasa sakit.
"Untuk sementara wanita tua itu tidak akan datang. Mendengar kondisi anak ini koma reaksinya hanya murka dan penuh amarah. Saya yakin dalam beberapa minggu ini dia tidak akan datang untuk melihat cucunya. Setelah kondisi anak ini membaik saya akan mengatur cara agar wanita tua itu mengira anak ini sudah meninggal, saya rela kehilangan jabatan di rumah sakit ini asal wanita itu tidak menganiaya anak ini lagi. Anak ini sangat tampan dan masa depannya masih panjang," dokter baik hati itu teringat cucu laki-laki yang sudah meninggal. Dokter baik hati itu mengelus pipi Biyandra yang sembab akibat penganiayaan yang ia terima.
"Saya akan mengasuh anak ini," ujar dokter baik hati itu lagi.
Kondisi Alleia semakin membaik dan bayi mungil itu mulai bisa tertawa setiap Ardan mengajaknya bermain atau bercanda. Sekar hanya bisa manyun karena Ardan tidak mengizinkannya untuk menggendong Alleia. Sejak kepulangan mereka dari rumah sakit, Sekar hanya bisa menggendong Alleia saat menyusui atau saat memandikannya. Ardan semakin posesif dan merasa Alleia hanya miliknya seorang.
"Aku ingin menggendongnya," wajah Sekar mengiba agar Ardan mengizinkannya menggendong Alleia lebih lama. Ardan menggeleng semakin memeluk erat Alleia di pangkuannya.
"Gantian, bukankah kamu tadi sudah menggendongnya saat menyusuinya," balas Ardan tak mau kalah.
"Tapi … aku hanya menggendongnya sepuluh menit sedangkan kamu berjam-jam," jawab Sekar yang merasa Ardan semakin egois jika berhubungan dengan Alleia.
"Jadi kamu iri Alleia lebih suka bersamaku dibanding kamu?" tanya Ardan semakin menggoda Sekar. Alleia tersenyum dalam mimpi setelah mendengar perdebatan kedua orangtuanya, "Alleia tidur dengan nyenyak jika aku menggendongnya sedangkan dia selalu bangun saat bersamamu," Ardan semakin menggoda Sekar. Sekar semakin memanyunkan bibirnya dan menghentakkan kakinya ke lantai.
"Nah kan Alleia tertawa melihat sikap kekanakan ibunya," sindir Ardan.
"Kamu yang kekanakan, aku ini ibunya dan rasanya kamu terlalu memonopoli dia. Ayolah Ardan … aku ingin menggendongnya lebih lama," Ardan tertawa dan ingin mengambil kesempatan dalam kesempitan.
"Bagaimana kalau kita buat kesepakatan,"
"Lagi? Kenapa kamu selalu menggunakan Alleia agar bisa menekanku,"
"Ya sudah kalau tidak mau," Ardan semakin memanas-manasi Sekar dengan mengajak Alleia bercanda atau sekedar mencium pipi gembil bayi itu. Sekar menggerutu dan akhirnya kalah lagi dalam perdebatan dengan Ardan.
"Aku selalu kalah berdebat dengan kamu, kamu menyebalkan!"
"Kesepakatannya cukup gampang kok dan aku yakin kamu bisa melakukannya," balas Ardan dengan wajah penuh kemenangan.
"Apa!"
"Tersenyumlah saat bersamaku … hilangkan wajah manyun saat kita sedang bersama. Jika dalam sehari kamu bisa tersenyum maka aku akan membiarkan Alleia lebih lama bersama kamu tapi kalau kamu lupa tersenyum dan menatapku benci maka jangan harap kamu bisa menggendong Alleia lebih lama,"
"Itu bukan kesepakatan tapi pemaksaan,"
"Semua terserah kamu," balas Ardan acuh. Sekar mendengus dan akhirnya mengangguk tanda setuju, ia bisa apa jika Ardan selalu menekannya dengan menjadikan Alleia senjatanya.
"Kamu selalu menang," balas Sekar mencoba untuk tersenyum agar ia bisa menggendong Alleia lebih lama.
"Nah gitu dong, istri itu seharusnya terlihat manis di depan suaminya. Suami jadi semangat untuk bekerja," Ardan menoel hidung Sekar lalu menyerahkan Alleia ke tangan Sekar.
"Aku … akan tetap tinggal di apartemen," ujar Sekar setelah Ardan menyerahkan Alleia ke tangannya. Ardan tersenyum dan berusaha memeluk Sekar walau hanya sebentar karena Alleia mulai menangis.
"Terima kasih,"
"Aku melakukan ini demi Alleia, bukan untuk kamu," elak Sekar.
"Ya, aku tahu … aku tidak peduli apapun alasan kamu. Yang aku tahu kita bertiga akan tetap bersama sebagai satu keluarga. Aku akan berusaha agar kamu bisa menerimaku sebagai seorang suami, itu sudah cukup bagiku."
"Tapi aku tidak mudah ditaklukkan,"
"Oh ya? Bagaimana kalau aku mulai menaklukkan kamu dengan ciuman," Ardan mengambil Alleia dan meletakkan bayi itu ke dalam box-nya.
"Bu … bukannya kamu mau ke kantor?" tanya Sekar semakin salah tingkah.
"Membahagiakan kamu lebih penting dari apapun," wajah Sekar kembali bersemu merah. Perlahan demi perlahan Sekar mulai melupakan benci dan dendamnya. Sekar mulai terbiasa akan kehadiran Ardan di sampingnya termasuk mulai terbiasa Ardan menggodanya walau baru sebatas ciuman.