webnovel

Bab 74

Dinda yang di temani Daniar hanya bisa duduk sembari memperhatikan dari jauh gerak-gerik Bella dan kekasihnya itu.

"Apakah kamu akan memberitahu tuan?" tanya Daniar.

"Entahlah. Meskipun Bella melakukan hal yang tidak seharusnya ia lakukan. Namun aku yakin, pasti ada alasan di balik ini semua."

"Tapi dia berkhianat Dinda."

"Kamu lihat, mbak Bella sangat bahagia bersama pria itu. Aku belum pernah melihat tawa selepas itu darinya. Tentang alasan apa yang membuat dia seperti ini? Aku akan menanyakannya nanti. Percayalah Daniar, di pisahkan dengan orang yang kita cintai itu seperti mati. Serasa mati tapi masih hidup, masih hidup tapi ingin mati."

"Dinda...."

"Aku akan membiarkan dia bahagia sebentar. Aku turut senang melihat dua orang yang saling mencintai bisa mengisi kekosongan di hati mereka. Walau kecewa, tapi aku juga bahagia. Karena apa yang di katakan mbak Bella padaku tempo hari rasanya benar adanya. Dia tidak pernah mengharapkan cinta Arjun lagi. Kamu lihat kan? Cintanya ada di sampingnya, aku tau betul perasan itu Daniar. Dan entah mengapa aku tidak ingin merusak momen ini untuknya. Biarkan saja mbak Bella menikmati sisa hari ini bersama dengan kekasihnya."

"Dan kita jadi obat nyamuk gitu?"

"Ayolah, kayak nggak biasanya kamu jadi obat nyamuk saja."

"Bukan begitu Dinda, tawarin es teh kek biar nggak kehausan."

"Hahahaha nih ambil." Dinda memberikan selembar uang yang di berikan oleh tuan Arjun Saputra sebelum pergi.

"Yeay, mau beli apa nyonya?"

"Terserah kamu saja, yang enak pokoknya."

"Siap." dengan riang Daniar melenggang membawa uang pemberian Dinda dengan gembira.

----

Dinda dan Daniar sudah berada di dalam mobil, dengan gelisah menunggu Bella yang tidak kunjung datang sesuai janjinya. Ini sudah hampir gelap, mereka harus segera kembali. Atau tuan Arjun Saputra akan marah besar kepadanya karena pulang terlambat.

"Kamu tunggu di sini, aku akan menjemput mbak Bella."

"Aku ikut saja."

"Tidak usah, di sini saja. Lagi pula itu hanya di depan sana Daniar."

"Ya sudah, cepat kembali ya. Aku takut di tinggal sendirian."

"Iya iya...."

Dengan cepat Dinda melangkahkan kakinya mencari keberadaan Bella.

Dinda sedikit bernafas lega saat melihat Bella masih berada di sekitar sana. Ia terlihat sedang menyandarkan kepalanya di pundak kekasihnya itu.

"Mbak." panggil Dinda dengan ragu.

"Dinda.."

"Mbak ini sudah terlambat, kita harus kembali. Atau Arjun.."

"Tentu Dinda."

Bella menatap Ega dengan perasaan sedih, serasa waktu cepat berlalu. Akhirnya momen perpisahan itu harus terjadi juga.

"Kamu sudah mau pulang?"

"Aku harus kembali. Benar apa kata Dinda. Kami sudah terlambat."

"Kita kawin lari saja. Tinggalkan suamimu itu."

"Aku ingin, tapi aku sudah berjanji pada Dinda. Dia yang meyakinkan Arjun untuk mengizinkanku pergi menemuimu."

"Lalu kapan kita akan bertemu lagi sayang?"

Buliran menyembul di sudut mata Bella. Hatinya begitu pilu, berat meninggalkan pria yang sangat ia cintai itu kali ini. Entah kapan kesempatan ini akan hadir kembali.

"Jaga dirimu baik-baik. Jangan telat makan ya."

"Bella...." panggil pria itu lirih.

Bella tidak kuasa menahan rasa sedihnya. Dia memeluk Ega dengan erat seolah tidak ingin melepaskannya.

"Bisakah kamu membiarkan Bella untuk tinggal? Bilang saja dia kabur saat acara kompetisi berlangsung." kata Ega pada Dinda.

"Maaf mas. Itu terlalu ekstrim. Aku tidak berani berbohong sebesar itu." Dinda menyesal.

"Lihatlah, kami ini saling mencintai. Tolong kasihi cinta kami." Ega memohon pada Dinda.

Bella sesenggukan menahan tangisnya. Mencoba memberi pengertian pada Ega agar tidak mencari masalah dengan mereka.

"Aku tidak apa. Mungkin suatu saat kita bisa bertemu kembali. Aku berharap kamu selalu mengingat setiap momen kebersamaan kita ini. Kamu juga harus bahagia ya, cobalah untuk membuka hatimu untuk wanita lain. Aku sedih jika harus memikirkan dirimu yang merana sendirian.".

Ega kembali memeluk Bella "Aku tidak akan mencintai wanita lain. Aku hanya ingin dirimu. Dirimu saja sayang."

"Tapi...."

"Aku tidak peduli jika harus melajang di sisa umurku. Cintaku sudah ku berikan seluruhnya untukmu."

Bella melepaskan pelukan Ega. Mengecup kening Ega kemudian beranjak pergi.

"Bella...."

Bella menoleh, berat memang. Tapi iya harus melakukan ini semua. Dia tidak mungkin mengkhianati Dinda yang sudah tulus membantunya.

"Sampai jumpa sayang. Jaga dirimu baik-baik ya."

Bella melambaikan tangannya, sembari menangis berlari meninggalkan Dinda yang masih termenung di tempatnya.

Menyaksikan cinta tulus pasangan di hadapannya. Ega menangis tersedu-sedu saat di tinggalkan Bella seorang diri.

"Apakah kamu sangat mencintai mbak Bella? Kamu benar-benar mencintainya?" tanya Dinda.

"Tentu saja. Susah payah kami membangun cinta. Tapi ternyata takdir tetap saja mempermainkan cinta kami."

Dinda menatap iba Ega yang bersimpuh menahan air matanya agar tidak terjatuh. Ia terlalu menatap Dinda yang masih saja berdiri di dekatnya.

"Aku tentu saja tau perasaan kalian. Di pisahkan begitu tentu sangat menyakitkan bukan? Tapi aku tau benar, mbak Bella hanya mencintaimu saja di dunia ini. Aku berani jamin, jika cinta kalian akan bersatu selamanya."

"Bersatu? Tapi bagaimana?"

----

Di sepanjang perjalanan kembali, Bella hanya diam. Memandangi buket bunga yang di berikan Ega padanya. Tatapannya begitu sendu. Dinda sendiri juga tidak berani menanyakan apapun padanya. Memilih membiarkannya seorang diri untuk menenangkan pikirannya.

Ketika sampai, bahkan Bella tidak mengucapkan sepatah kata apapun. Dia begitu sedih sehingga tidak berpamitan pada Dinda.

"Lihatlah bahkan dia tidak mengucapkan terimakasih padamu. Main pergi saja." gerutu Daniar.

"Sudahlah, hatinya sedang sedih saat ini Daniar, jadi tolong kamu maklumi ya." Dinda mencoba untuk menasehati abdi dalem nya itu.

"Eh tuan datang. Ya sudah aku pergi ya, nanti ku siapkan kamu air hangat untuk mandi." kata Daniar yang langsung kabur saat melihat tuan Arjun yang datang menghampiri Dinda.

"Kenapa baru sampai? Ini sangat terlambat."

"Macet loh sayang."

"Maca cih?"

"Isssshhhh nggak percaya lagi. Makannya harusnya tadi kamu ikut saja tadi biar tau."

"Iya iya, jangan cemberut gitu dong."

"Ibu sudah pulang?" tanya Dinda.

"Sudah tadi sore. Ada baiknya juga sih kamu pulang terlambat. Jadi kamu tidak perlu menemui ibuku."

"Memangnya kenapa? Apakah dia marah padaku?"

"Tidak begitu. Dia hanya ingin menanyakan beberapa hal saja. Menunggu kamu kembali sampai ibu bosan."

"Hmmmm mencurigakan. Pasti kamu berkata yang tidak-tidak ya tentangku."

"Jangan menuduh begitu, nggak baik tau."

"Hemmmm...."

"Aku punya kabar baik untukmu."

"Hah apa?" Dinda antusias.

"Kiss dulu dong." tuan Arjun menyodorkan pipinya.

"Hiiii ngarep.com ya om haha...."

Dinda hendak pergi, namun dengan cepat tuan Arjun Saputra mencegahnya.

"Beneran nggak mau dengar? Ini tentang papa mertua."

"Benarkah? Apa itu om?"

"Nggak tau nih setan kecilku. Tiba-tiba om ini lupa."

Cup.... Dinda mengecup pipi tuan Arjun Saputra agar suaminya itu mau membuka mulut.

"Jadi kata dokter Raihan papa mertua kondisinya sudah mulai stabil dan...."

"Dan apa?"

"Dan apa ya? Kok aku lupa lagi." tuan Arjun melirik nakal Dinda yang tentu tengah kesal itu.

Cup.... Dinda kembali mengecup pipi tuan Arjun Saputra yang lain.

"Oh iya aku ingat sekarang. Papa juga sudah mulai mengigau. Yang artinya kesadarannya sudah mulai kembali."

"Iya? Syukurlah. Terimakasih ya allah. Terus apa lagi?"

Tuan Arjun Saputra memalingkan wajahnya. Mendongak menatap bintang-bintang di langit.

"Apa lagi?" rengek Dinda.

Próximo capítulo