webnovel

BAB 95. SUAMIKU

Seorang gadis dengan rambut yang tersanggul rapi, menatapku dengan penuh kemarahan.

Apa lagi ini?!

"Kau!" serunya tertahan.

Dadanya naik turun. Kemarahannya seakan siap meledak.

"Siapa kamu?!"

"Namaku?" tanyaku balik dengan sikap acuh.

Masalahku sudah membuatku pusing. Dan sekarang sepertinya bertambah satu lagi. Sial!

"Kau!"

"Putri, dia orang Belanda." bisik orang yang ada di belakangnya.

Walau begitu aku masih dapat mendengarnya dengan jelas.

"Kenapa jika dia orang Belanda!" serunya marah kepada wanita paruh baya itu.

"Ampun Tuan Putri... saya..."

Apa-apaan ini? Aku terlalu lelah untuk menanggapi hal-hal seperti itu.

"Tuan putri." panggilku, saat dia masih ribut dengan wanita yang lain, "Aku ingin istirahat. Tolong pergi dari sini."

"Kau mengusirku!" Matanya terbelalak seakan tidak percaya dengan kata-kata yang baru saja kusampaikan.

Aku sudah berusaha menyampaikan dengan sopan. Kenapa dia seperti tidak terima?

"Heh, Belanda Jalang!"

Emosiku segera tersulut karena kata-katanya. Gadis sialan!

"Aku memanggilmu putri, tapi kau menyebutku jalang?!"

Aku segera berdiri dihadapannya.

Gadis yang hanya setinggi telingaku segera mundur saat aku berangsur kearahnya.

"Jalang?" tanyaku sinis. "Siapa yang kau sebut jalang?"

"Tentu.. tentu saja kamu!" pekiknya tanpa berani menatapku.

Tsk.. ternyata gadis ini tidak terlalu bernyali. Bagaimana kalian menghadapi kami jika hanya dengan gertakan saja sudah mundur?

"Noni...!!"

Inang yang sebelumnya mengantarku masuk ke kamar ini tergopoh-gopoh masuk dan menyeruak diantara aku dan gadis itu.

"Noni, maafkan saya." ucapnya, lalu menoleh kepada gadis itu, "Tuan Putri, saya mohon. Pangeran akan sangat marah, jika Tuan Putri menerobos masuk ke kediamannya seperti ini."

"Kau membela wanita ini?!" teriaknya marah.

"Kalian!" seru Inang kepada para wanita yang mengikuti gadis itu. "Bawa Tuan Putri keluar dari sini!"

Dengan patuh mereka menarik gadis itu untuk keluar dari kamar itu. Walaupun dengan enggan dan penuh kemarahan, akhirnya gadis itu bersedia untuk pergi.

"Maafkan saya, Noni." kata Inang, "Saya akan lebih hati-hati."

Setelah memberi hormat kepadaku, dia segera undur diri.

"Tunggu!" panggilku. "Siapa putri itu, Inang?"

"Dia... Dia adalah calon istri Pangeran, Noni." jawabnya. "Noni, pangeran tentu akan mempunyai calon istri-istri yang lain kedepannya." katanya kemudian.

Aku mengangguk. Tentu saja aku paham bagaimana poligami yang berlaku di kalangan mereka.

"Syukurlah Noni bisa memahami. Sebagai calon ratu kami, tentu Noni...."

"Tunggu dulu!" kataku memotong kata-katanya. "Calon Ratu?"

"Tentu saja. Noni adalah istri pertama Pangeran. Jadi besar kemungkinan Noni akan menjadi ratu di masa depan."

Apa?! Rasanya kepalaku akan pecah. Mereka sudah salah paham dengan hubunganku dan Barna.

Aku menarik nafasku dalam-dalam untuk meredam emosiku.

'Okai, Margie. Tetap tenang dan jelaskan pelan-pelan.' ucapku pada diriku sendiri.

"Tolong dengarkan saya baik-baik, Inang."

"Iya, Noni?"

"Hubungan saya dan Pangeranmu tidak seperti yang kamu bayangkan. Kami bukan suami istri...."

"Ya Tuhan!" pekiknya sambil menutupi mulutnya. "Jadi Pangeran belum menikahi Noni? Padahal Noni sudah hamil. Saya tidak percaya pangeran mampu melakukannya."

Aaarrghh!!! Rasanya ingin berteriak saja. Kenapa sulit sekali menjelaskannya?!

"Maksudku bukan begitu."

"Aaahh... apakah maksud Noni adalah belum melakukan upacara resmi?"

"Apa?" tanyaku bingung. "Upacara apa?"

"Upacara pernikahan yang resmi."

Tiba-tiba Barna masuk ke ruangan itu bersama beberapa orang pria yang mengikutinya. Penampilannya sangat berbeda dengan pemuda yang ada di hutan bersamaku sebelumnya.

"Tinggalkan kami." perintahnya kepada semua orang yang ada di kamar itu.

Kini hanya ada aku dan Barna berdua di ruangan itu.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya

Kenapa dia bertanya dengan nada seakan aku adalah istrinya?

"Jika kau bertanya tentang kondisi fisikku, aku baik-baik saja.Tapi jika kau tanya bagaimana perasaanku, aku kacau!" jawabku sinis.

Barna tersenyum melihatku.Aku semakin kesal dengannya.

"Apa maksud ini semua?!" tanyaku ketus. "Aku harus segera bertemu suamiku..."

"Raden Aryo?" tanyanya

"Ya... iya. Apa kau tahu keadaannya?"

Dia sudah tahu?

Dia hanya diam, sambil tersenyum, melihatku yang sudah tidak sabar menanti jawaban dari bibirnya.

Barna berjalan mendekatiku. Menarikku untuk duduk diatas ranjang tempatku rebahan sebelumnya.

Aku memperhatikan wajahnya. Sampai beberapa waktu lamanya dia hanya diam memandangku.

Apa maskudnya?

Aku tidak bisa menunggunya lebih lama. Aku sudah tidak sabar.

"Katakan apa yang terjadi kepadanya!" desakku.

"Margaret." katanya. "Margaret van Jurrien. Benarkah itu namamu?"

Senyuman itu berangsur menghilang dari wajahnya. Wajahnya kini menjadi dingin, seakan diliputi oleh kemarahan.

"Benarkah kau Margaret van Jurrien, istri dari Raden Aryo- R.M Haryo Kusumo Paramudya."

Suaranya bergetar.

Dia beringsut kearahku. Wajahnya semakin dekat denganku.

Reflek aku berusaha mundur.

Tiba-tiba dia mencengkeram lengaku dan menarikku lebih dekat kearahnya.

Aku merasa ketakutan melihat matanya yang dipenuhi kemarahan.

"Kau bertanya soal ibuku. Apa kau sudah tahu apa yang terjadi dengan ibuku?" tanyanya dengan nada sinis.

Cengkeramannya di lenganku mulai terasa menyakitkan.

Aaah, sial! Apa maunya pemuda ini?

Apa aku sudah memilih orang yang salah untuk menolongku?

Aku menggigit bibirku. Rasanya aku ingin menangis.

"Kenapa?" tanyanya "Kau ingin menangis?"

"Kau... kau menyakitiku, Barna..." kataku pelahan.

Dia tersenyum sinis menanggapi kata-kataku.

"Apakah ini terlalu menyakitkan untuk seorang pembunuh?" tanyanya

"Pem...pembunuh? Aku.. aku tidak pernah.. Aku.."

Apa maksudnya?

"Kau.." geramnya, "Demi mengembalikan nyawamu, nyawa ibu menjadi gantinya."

"A..Apa?!"

Kata-katanya membuatku teringat mimpiku waktu itu. Jadi wanita itu adalah ibu Barna. Dia mati karenaku? Kenapa ini menjadi salahku? Bahkan aku yang saat ini tersesat disini sudah sangat dirugikan!

"Aku... Aku tidak pernah..."

Aaah sial! Aku sangat terkejut. Kepalaku rasanya menjadi ringan. Wajah Barna tiba-tiba menghilang dari pandanganku dan semuanya menjadi gelap.

Entah berapa lama aku pingsan. Aku terbangun dengan seseorang sedang menyeka dahiku.

Barna duduk di samping ranjangku. Wajahnya tampak bingung dan khawatir. Walau aku tidak paham apa yang dia khawatirkan.

Apa dia sedang mengkhawatirkan orang yang dia anggap sebagai pembunuh ibunya mati begitu saja? Apa dia ingin menghabisiku dengan tangannya sendiri, untuk memuaskan dirinya?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalaku.

Aku sedang hamil. Tentu saja aku takut dia memenggalku begitu saja. Dan bagaimana jika aku benar-benar mati tanpa bisa kembali lagi ke masa depan? Semua itu membuatku bingung dan takut.

Aku harus segera menemukan Aryo. Aku tidak bisa lebih lama lagi disini. Aku tidak bisa mempercayakan keselamatanku kepada orang yang menganggap diriku adalah pembunuh ibunya.

Aryo.. Aku mohon, temukan aku.

"Kau sudah sadar. Kenapa kau pura-pura pingsan lagi?"

Kata-katanya sangat dingin

Pelahan aku membuka mataku.

Aku menatapnya dengan marah.

Dia kembali meminta semua orang untuk meninggalkan kita.

"Aku akan pergi." kataku sambil berusaha untuk bangun.

Tapi Barna mendorongku untuk kembali pada posisi tidur.

"Kau tidak ingin tahu dimana suamimu?" tanyanya.

"Suamiku?"