webnovel

82. KEJUTAN ARYO (1)

Senyum masih menghiasi wajah tampannya. Aku tidak tahu apa yang direncanakan Aryo. Tapi dia terlihat sangat senang.

Aryo memaju kuda pelahan, membelah hutan.

Hanya cahaya rembulan yang menembus dedaunan hutan yang menerangi perjalanan kami.

"Apa kau benar-benar tidak akan memberitahuku, kita akan kemana?" tanyaku lagi.

Dia hanya menggeleng.

Oke, baiklah. Kau menang. Aku akan mengikuti permainanmu.

Malam semakin larut saat kita mendaki bukit terjal. Aku tidak memiliki bayangan kemana Aryo akan membawaku.

"Kita akan jalan kaki dari sini." katanya. "Ayo.."

Aryo membantuku untuk turun dari kuda.

Dia menggandeng tanganku mendaki bukit terjal. Jangan-jangan Aryo lupa bahwa aku sedang hamil.

"Apakah kau tidak apa-apa?" tanyanya panik, ketika kakiku terantuk kerikil yang cukup tajam. Aku tidak menggunakan sepatu yang sesuai dengan medan yang kulalui. Tentu saja ini sangat menyulitkan.

"Apakah kau ingin melepas sepatumu?" tanyanya tidak yakin.

Aku menggeleng.

"Tidak..." jawabku.

Tidak mungkin aku melepas sepatuku, menapak di medan berbatu seperti ini. Yang benar saja? Itu pasti menyakitkan.

Aku memang akhir-akhir ini sering tidak menggunakan alas kaki, seperti para inlander. Tapi bukan berarti aku sudah terbiasa dengan hal itu.

"Apakah tidak sakit menapak di batuan seperti itu?

Pantulan cahaya bulan menunjukkan wajah Aryo yang tersenyum geli menatapku.

"Jika terasa sakit, aku bisa menggendongmu."

"Heii.. Apa kau sudah lupa bahwa tubuhku semakin berat?" timpalku kesal.

"Tidak masalah, jika itu adalah kamu."

Aahh... rayuannya selalu melelehkanku.

"Kau semakin pintar merayu."

"Karena istriku semakin cantik."

Pasti wajahku sudah merona merah sekarang.

Aryo tersenyum melihatku.

"Apakah masih jauh?" tanyaku

Yang kami lalui tidak bisa disebut jalan. Jalan setapak yang berbatu sudah lama berakhir. Kami harus memanjat bebatuan besar, melompati aliran air, dan pasir yang menyulitkan langkah.

"Apa kau yakin bisa?" tanya Aryo khawatir. "Apa kita perlu berhenti dulu?"

"Aku baik-baik saja." ucapku. "Dari dulu aku menyukai kegiatan outdoor, seperti mendaki gunung. Dan tidak jarang aku harus melalui rute yang keras dan sulit. Jadi.. ini bukan masalah."

Setelah berjalan beberapa waktu, Aryo berkata, "Kita hampir sampai.", dengan semangat.

Sepatuku terasa sesak. Sepertinya kakiku membengkak. Aku berusaha menahan rasa sakit yang mulai menjalari kakiku. Aku tidak ingin membuatnya khawatir.

"Nah, kita telah sampai."

Ini adalah tebing.

Aryo menggandeng tanganku untuk duduk di tepian tebing. Aryo memastikan aku sudah duduk dengan nyaman, sebelum dia duduk di sebelahku.

"Kau suka melihat bintang, kan?"

Aku melihat matanya yang berbinar cerah. Dia masih mengingat saat kami bertemu di pesta di Batavia. Bagiku itu adalah pertemuan pertamaku dengannya. Hari itu kita berbincang untuk yang pertama kali. Hari itu, aku jatuh cinta kepadanya. Sikapnya yang tampak dingin namun perhatian membuatku benar-benar terpikat.

Aku mengangguk.

"Disini tempat yang sangat bagus untuk melihat bintang." katanya sambil merebahkan kepalaku di pundaknya. "Dari sini bintang terlihat sangat terang..."

Kata-katanya terdengar indah. Tapi kenapa aku justru ingin menangis. Padahal saat ini kita bersama. Jemari kita bahkan saling bertaut.

"Dan kita akan disini hingga matahari terbit. Kita akan menikmati fajar menyingsing diatas sini. Karena akan sangat berbeda dengan saat kita dibawah. Disini lebih indah."

"Aryo...tunggu, aku ingin melepas sepatuku."

Benar saja kakiku membengkak. Apakah karena aku hamil ataukah memang tubuh gadis ini yang lemah. Dulu aku mampu berjalan jauh dan melalui medan yang sulit. Tapi ini baru beberapa jam aku berjalan, kakiku sudah membengkak. Aku memijat pelahan kakiku.

"Kenapa?" tanya Aryo lagi.

Duh, aku benar-benar tidak ingin dia menjadi panik dan merusak suasana indah ini.

"Hanya sedikit capek. Bukan masalah .."

Dia mengangguk dan percaya dengan jawabanku, syukurlah.

Aryo merebahkanku dipangkuannya. Aku menatap langit malam yang tampak jernih dan sangat indah. Semua begitu damai. Andai saja waktu ini bisa berhenti. Aku ingin saat ini bisa lebih lama.

Jemari kami masih saling tertaut, seakan menyatakan keingian kami untuk tidak terpisahkan.

"Aku masih punya dua kejutan yang lain." katanya seraya mencium bibirku.

"Kau tidak berniat untuk mengajakku bercinta disini, kan?" sindirku, saat aku berhasil melepaskan bibirku dari lumatannya.

Dia tertawa cukup keras. Baru kali ini aku melihatnya seperti itu.

"Tidak... tidak akan... itu tidak boleh." katanya menjelaskan.

Ya, ya.. aturan hidupnya sangat banyak sekali.

"Kenapa?" tanyanya, "Apa kau menginginkannya?"

"Tsk..." aku mencebik kesal karena dia terus menggodaku.

"Tunggu... Setelah kita kembali."

"Aku tidak mau!"

"Tapi aku mau.." sahutnya ringan.

Dulu aku sering menggodanya, sekarang Aryo yang sering menggodaku. Jika seperti ini, dia tampak seperti remaja. Bukan seorang kepala keluarga. Bukan seperti sosok bijak dengan beban tanggung jawab yang menggunung. Aku yakin dia sangat kesulitan saat ini. Kondisi politik yang semakin buruk menyebabkan dirinya harus berseberangan dengan kerabatnya sendiri. Musuhnya semakin banyak. Dia harus mengungsikan ibu dan istri-istrinya. Dia sendiri bergerilya. Tapi dengan semua tanggung jawab itu, dia masih menyempatkan diri untuk menyenangkanku. Untuk menemaniku. Dia benar-benar sosok suami yang luar biasa.

Walaupun bahagia ini mungkin singkat. Tapi aku bersyukur telah dipertemukan dengannya dan berkesempatan dicintai olehnya.

Kubelai wajahnya yang tampan. Dia menahan tanganku untuk tetap di wajahnya. Diciumnya tanganku. Dan senyumnya mengembang menghiasi wajahnya.

"Margaret... Aku percaya, setelah kesulitan akan datang kemudahan."

Aku ingin mempercayai kata-kata itu.

Kami menikmati langit yang penuh bintang dalam suasana penuh cinta.

"Lihat!" serunya sambil menunjuk ke angkasa.

Itu adalah komet.

"Itu disebut lintang kemukus." ujarnya serius.

Aryo mengangkat kepalaku dari pangkuannya. Lalu berdiri. Aku melihatnya tanpa paham maksudnya.

"Hari apa ini?" gumamnya. "Aku harus memberitahu Romo Yai." Dia melihatku yang masih duduk diatas tanah. "Nanti ingatkan aku, ya?"

Aku mengangguk. Dan Aryo kembali duduk.

"Di Jawa, setiap tanda alam memiliki makna, karena alam semacam buku yang memberi kita petunjuk akan setiap hal yang sudah dan akan terjadi. Dengan memahami alam, kita akan dapat berlaku dengan baik dan benar dimuka bumi ini."

Dia bercerita tentang makna dari komet, berdasarkan arah jatuhnya. Lalu dia mengelus perutku dan mulai bercerita bagaimana seorang wanita Jawa jika hamil. Banyak sekali ritual yang dilakukan, hingga saat melahirkan. Aryo menjelaskan makna dari setiap ritual. Walau kelihatan ribet, tapi penjelasan Aryo yang baik, membuatku mampu memahami hal-hal itu secara logis.

"Maaf jika aku tidak bisa menyiapkan semua itu untuk anak kita." ujarnya dengan nada sedih. "Hei...Dia kan hanya separuh Jawa, jadi itu tidak akan menjadi masalah." sahutku dengan nada ceria. Aku tidak ingin suasana indah ini rusak karena apapun. "Aku yakin dia akan tetap sehebat kamu."

"Terimakasih, Margaret."

Sesuai yang dikatakan Aryo, pemandangan fajar dari tebing itu terlihat sangat indah. Sayang sekali aku tidak bisa ngabadikannya.

"Indah sekali." kataku kepadanya

"Kau senang?"

"Tentu saja." jawabku sambil tersenyum lebar kepadanya. "Dan aku menantikan kejutan berikutnya, sayang." lanjutku sambil memeluknya.

Próximo capítulo