webnovel

BAB 50. KEMBALI KE BATAVIA

"Bagaimana?" tanyaku menggodanya.

Dia memandangiku, mencium bibirku. Ringan. Terlalu ringan malah.

Aku mencebikan bibirku, kecewa.

"Ini hukumannya. Kamu harus istirahat dengan baik."

Sebelum sempat aku meraih tangganya untuk mencegahnya lari. Dia sudah melesat dengan cepat dan senyap.

'Sial!' umpatku dalam hati.

Untunglah orang macam Aryo tidak ada di dunia modern. Dengan sikapnya yang lugu sekaligus dingin dan misterius, dia akan menjadi sosok incaran cewek-cewek.

Pagi itu aku benar-benar malas untuk bangun. Kutarik selimutku tinggi-tinggi saat Papa membuka tirai yang menutupi cahaya matahari agar tidak menerobos masuk kedalam kamarku.

"Papa!" protesku "Ik voel me nog steeds slaperig." (*Saya masih mengantuk)

"Saya harus berangkat ke Batavia untuk menjemput bibimu. Apakah kamu yakin kamu tidak akan ikut?"

Aku segera membuka mataku lebar-lebar.

Ada hal penting yang harus aku lakukan. Aku harus bertemu dukun itu.

"Kenapa Papa tidak memberitahuku bahwa Papa akan ke Batavia sekarang!" ujarku kesal

Dengan berat aku harus menarik tubuhku yang mulai berat untuk beranjak dari tempat tidurku. Seorang pelayan segera membantuku untuk menyiapkan air mandi dan membantuku berpakaian.

Tentu saja aku harus ke Batavia. Paling tidak aku bisa menjauhi Daniel sementara waktu.

Daniel memasuki kamarku saat aku masih hendak menggunakan pakaian dalamku.

Dia tertegun menatapku. Beberapa kali dia menelan ludahnya.

"Dengan perut buncitmu, kau semakin tampak seksi." ujarnya pelan

Aku segera berbalik badan memunggunginya.

Bukan tangan pelayan yang menyentuh pundakku. Tangan yang lain dan asing.

"Beruntung sekali pria itu. Aku sangat iri dan cemburu kepadanya hingga rasanya aku mampu untuk membunuhnya." bisiknya di telingaku.

Hatiku berdesir. Apakah ini sebuah ancaman?

Daniel dengan pelahan memakaikan pakaianku. Walau tidak secekatan Aryo tapi sepertinya dia memang sengaja melakukannya dengan pelahan untuk punya kesempatan lebih lama menyentuh tubuhku.

Setelah mengikat pita bajuku dia memelukku dari belakang.

"Apakah aku benar-benar tidak memiliki kesempatan?"

"Daniel....Aku sudah menjelaskan kepadamu."

Dia mendengus menahan amarahnya.

"Kamu harus kembali minggu depan."

"Kenapa?!" tuntutku sambil membalikkan badanku dan melepaskan rengkuhan lengannya.

"Karena kau istriku!" tegasnya, lalu beranjak meninggalkanku.

Semalam Papa mengatakan untuk bertemu lagi dengan Aryo.

Apa yang ingin dibicarakan ya? Kenapa harus merahasiakannya kepadaku? Dimana mereka akan bertemu?

Aku masih curiga Papa berusaha untuk memutuskan hubunganku dengan Aryo. Aku tidak ingin itu terjadi. Kalaupun hubungan kami harus berakhir itu adalah karena masaku disini telah berakhir bukan karena yang lain.

Aku sudah bersiap untuk keberangkatanku ke Batavia. Awalnya Papa ingin menggunakan dua kereta. Tapi aku menolaknya.

"Kau sedang hamil. Kau butuh ruang yang lebih leluasa agar bisa beristirahat dengan baik. Perjalanan ini cukup panjang dan berat untuk wanita hamil."

"Nee, Papa." tolakku "Aku ingin bersama Papa. Aku tidak butuh ditemani pelayan."

Setelah berdebat cukup panjang akhirnya kami berangkat. Dua pelayan yang menyertai kami hanya duduk diatas barang kami dibelakang kereta.

"Papa, aku akan tidur dulu." ujarku sambil bersandar di dinding kereta. Perjalanan itu terasa begitu lama, bahkan lebih lama daripada perjalanan-perjalanan yang pernah kulakukan.

"Heii!" seruku kepada kusir kuda "Kenapa pelan sekali jalannya?!" tanyaku sambil berseru.

"Mevrouw, Meniir van Jurrien meminta kami untuk berhati-hati, karena Mevrouw sedang hamil."

"Laat maar!" seruku. "Jalan lebih cepat!" perintahku. (*Lupakan!)

"Ja Mevrouw." jawabnya

Dan dengan segera kuda berderap lebih kencang.

Kita beberapa kali harus beristirahat, karena Papa mengkhawatirkan diriku.

"Het gaat goed, Papa."

"Apakah kau yakin baik-baik saja?" tanya Papa tidak yakin.

Perjalanan yang lama membuatku benar-benar lelah. Rasanya seluruh tubuhku sangat ngilu.

"Ya, Papa."

"Kalau begitu kita bisa langsung ke pelabuhan dan menginap di dekat pelabuhan."

Aku menyetujuinya. Sekalipun aku tinggal di Batavia yang merupakan kota pelabuhan, selama berada di tubuh gadis van Jurrien ini aku belum pernah melihat kapal. Kecuali perahu-perahu disepanjang kanal yang bagiku lebih mirip di Venesia.

"Nah, kita telah sampai." kata Papa kemudian.

Pelayan dengan terburu-buru membantuku untuk turun dari kereta.

"Kamu beristirahatlah terlebih dahulu." kata Papa kepadaku, saat kita sudah turun dari kereta.

Papa memberi instruksi kepada pelayan sebelum sempat aku bertanya lebih jauh.

Rumah penginapan ini lebih mirip rumah pribadi daripada penginapan. Seorang perempuan pribumi menyambut kami dan memgantarkanku kedalam kamar yang cukup luas di lantai dua. Aku dapat melihat ramainya pelabuhan dari jendela kamarku. Udara laut yang panas dan lengket menerpaku. Kuminta pelayan menyiapkan air untuk mandiku. Aku ingin berendam.

"Mevrouw, silahkan..." kata seorang pelayan dan membawaku kearah kamar mandi.

Aroma rempah dan wangi bunga menguar dari air didalam bak mandi.

Segera saja aku berendam didalamnya.

Segar sekali rasanya.

Pelayan tadi hendak menggosok punggungku.

"Nanti saja." ujarku. "Aku masih ingin berendam."

"Baik, Mevrouw." sahutnya patuh dan berdiri agak jauh dibelakangku.

Aku pejamkan mata, menikmati sensasi air yang segar.

Tiba-tiba sepasang tangan memijat pundakku dengan lembut.

"Mmmmpp... Enak sekali."

Tunggu sebentar rasanya tangan ini cukup familiar.

Aku membuka mataku dan menoleh.

"Kau?!"

Próximo capítulo