webnovel

BAB 31 PERJALANAN KEMBALI

"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Daniel lagi. Suaranya terdengar semakin kasar. Sepertinya dia sedang tidak dalam mood yang baik.

"Aku sedang beristirahat disini."

Mungkin aku memang memilih lokasi istirahat yang cukup aneh. Seperti yang kusukai, beristirahat diatas rerumputan. Dengan naungan pohon yang rindang. Ini sudah cukup nyaman bagiku. Bahkan jika dibandingkan dengan ranjang yang penuh petaka itu, ini adalah pilihan yang jauh lebih baik.

"Siapkan semuanya!" perintahnya kepada Dhayu.

Wajah Dhayu tidak menunjukkan keterkejutan. Wajahnya masih tetap datar

Sepertinya hanya aku yang tidak paham apa yang mereka bicarakan.

"Apa maksudnya?" tanyaku sembari menegakkan dudukku.

"Ah, maaf saya lupa memberitahu Noni. Tuan Daniel dua hari ini mengurus kepindahan kita.."

"Segera kerjakan!" potong Daniel.

"Baik Meniir." jawab Dhayu patuh. Kemudian beranjak pergi meninggalkan aku bersama Daniel.

Ada ketakutan dalam hatiku. Berhadapan kembali dengan Daniel. Masih belum hilang dalam ingatanku bagaimana Dhayu diperlakukan.

Dia hanya diam memandangiku. Aku masih terduduk diatas rerumputan, enggan untuk beranjak. Aku mencoba mengabaikan kehadirannya.

Ada senyum di wajahnya yang hari itu tampak lebih merah dari biasanya. Mungkin dia sudah berada dibawah terik terlalu lama. Tapi senyum itu bahkan tampak lebih mengerikan daripada bentakannya.

"Kau.." dia diam sejenak, tampak ragu untuk melanjutkan kalimatnya.

Aku masih berlagak tidak peduli.

Dia berjongkok di dekatku. Aku menggeser dudukku menjauhinya.

"Kau akan lihat apa yang bisa aku lakukan."

Aku tidak paham apa yang dibicarakan. Aku hanya khawatir dia akan membahas soal anak dalam kandunganku.

Aku menantinya, tapi dia hanya memandangiku. Kali ini tidak ada bau alkohol dari mulutnya. Itu artinya dia dalam kondisi waras.

Aku mengalihkan pandanganku. Aku merasa jengah, dia masih masih tetap memandangiku, seakan ada sesuatu yang ingin dia cari.

Sampai akhirnya aku tidak tahan lagi dan bertanya, "Apa maumu?"

Daniel hanya tersenyum mendengar pertanyaanku.

Aku sungguh tidak nyaman dengan caranya memandangiku.

"Sialan! Berhenti memandangiku seperti itu!" ucapku ketus

Dia malah tertawa terbahak mendengar umpatanku.

Aku akhirnya berusaha berdiri untuk meninggalkannya. Jika dia tidak mau pergi, maka aku yang akan pergi. Belum sampai aku berhasil berdiri, Daniel mendorongku kembali ke tanah. Aku jatuh terduduk dan mengaduh.

"Jangan kau pikir aku tidak tahu apa yang kau sembunyikan! Aku tetap tidak akan melepaskanmu!"

Dicengkeramnya wajahku untuk menghadapnya. Sebelum aku menyadarinya, bibirnya sudah menyapu bibirku dengan kasar.

Aku berusaha menarik wajahku dari cengkeramannya. Aku tidak ingin berciuman seperti ini dengan Daniel.

"Kau masih saja sok suci!" umpatnya marah. "Aku tahu! Malam itu aku sudah memperkosamu."

Aku terkejut setengah mati. Apa dia melakukannya saat aku tidak sadar?

Bajingan sekali dia.

"Jadi anak itu.." ujarnya sambil menunjuk perutku. "... Sudah menjadi anakku."

"Jij eikel!" seruku kesal sambil memukul-mukul tubuh Daniel. (*Dasar brengsek!)

Daniel berusaha memegangi lenganku yang terus membabi buta memukulinya.

"Kau gila! Kau bajingan gila! Ik haat je!" seruku sambil menangis.

Aku bukanlah perawan suci yang tak pernah tersentuh pria. Aku bukan tidak pernah bercinta. Bahkan aku biasa melakukannya dengan pacar-pacarku sebelumnya. Tapi setelah mengenal Aryo, seakan tubuhku terlarang untuk disentuh pria lain. Setelah menikah dengan Aryo, pria lain adalah sesuatu yang tidak bisa kuterima.

Aku tidak pernah sesetia ini dalam hidupku. Dengan Aryo semua menjadi berbeda. Dia berbeda. Dia begitu taat sekaligus begitu berani. Dia lugu tapi juga mampu bercinta dengan cara yang luar biasa.

Aku tidak dapat menerima pria lain menjamah tubuhku, seakan hanya ini persembahanku kepada Aryo. Walau kutahu dia memiliki wanita yang lain, aku masih begitu yakin bagaimana hatinya untukku.

Aku merasa ternoda dengan kata-kata Daniel. Aku merasa sakit dengan ucapannya.

Karenanya dia merasa punya hak atas anak ini? Dia benar-benar sudah tidak waras.

Dhayu berjalan mendekatiku. Semakin hari wajah lugu Dhayu berubah menjadi wajah tanpa ekspresi. Aku bahkan sering harus mengira-ira apa yang sedang dipikirkan atau dirasakan. Tak lagi ada guratan sedih, takut ataupun bahagia. Dia hanya berbicara seperlunya tanpa banyak menjelaskan. Dia hanya menjawab apa yang aku tanyakan.

"Noni, ayo. Semua sudah siap."

"Kemana? Siap apa?"

Ada perasaan takut menggelayut. Aku berpikir bahwa mereka menyiapkan alat untuk menggugurkan anakku. Aku berusaha menenangkan diriku.

"Kita akan berangkat sore ini." jawab Dhayu

"Kemana?"

"Kita ke Surakarta."

Jawaban Dhayu seperti tidak dapat kupercayai.

Aku akan bertemu dengan Aryo. Ada gemuruh rasa di dadaku yang menyeruak membuatku sesak. Jawaban itu membuatku sangat senang sekaligus menakutkan. Aku takut itu semua hanya ilusiku.

Tapi, tunggu, bagaimana mungkin Daniel akan membiarkanku ke Surakarta dan bertemu Aryo. Bagaimana?

Ini tidak masuk akal.

Daniel tidak akan membiarkan aku bertemu Aryo. Daniel tidak akan melepaskanku dengan mudah.

"Tuan Meniir sudah menyiapkan semua. Noni bisa segera berangkat."

Apa maksudnya? Apakah Daniel mengusirku? Semudah itukah? Apakah kali ini cuma mimpi? Rasanya ingin menangis karena terlalu bahagia.

Seingatku, aku bukanlah gadis yang emosional. Tetapi semenjak menjadi van Jurrien duniaku benar-benar berbalik. Aku begitu ekspresif. Menangis, tertawa dan jatuh cinta begitu saja.

Kereta itu berjalan lambat. Sangat lambat menurutku. Andai saja bukan kuda yang menarik kereta kuda ini. Andai pesawat yang membawaku bertemu dengan Aryo. Aku tidak bisa tenang didalam kereta kuda. Aku gelisah seakan ada yang salah dengan perjalanan kali ini.

Aku ingin menepis semua gelisahku. Aku tidak ingin membayangkan hal-hal buruk lagi. Aku hanya ingin bertemu kekasihku. Aku hanya ingin menuntaskan rinduku pada pria pribumi yang sungguh lebih tampan dari pria manapun yang pernah kutemui. Pria yang senantiasa membuatku jatuh cinta hingga segenap rasa. Aryo, nama itu terdengar indah untuk kusebut. Setiap kali dia mengucap namaku, seakan pula cinta bertumbuh dihatiku. Aku membayangkan wajah Aryo, matanya yang penuh cinta, senyum indah di bibirnya yang jarang dia perlihatkan, dan tubuh tegapnya yang akan memelukku.

Perjalanan itu begitu melelahkan. Untunglah kehamilanku tidak seperti yang pernah kubaca atau cerita para wanita eraku yang sangat menyusahkan. Anak ini seakan tahu bahwa hidup ibunya sudah cukup menderita untuk ditambah lagi dengan penderitaan proses kehamilan. Aku bersyukur sekali. Sangat jarang aku merasa mual ataupun pusing. Dan Dokter Hoog masih sering mengirimkan vitamin secara sembunyi-sembunyi.

Kami sampai di daerah pemukiman Belanda. Para penduduk pribumi hanya tahu Belanda. Padahal diantara para pendatang ini juga ada orang Inggris, Belgia dan juga Perancis, atau bahkan mungkin lebih banyak lagi. Mereka hanya tahu kami adalah Belanda. Mereka menyebutnya "Londo".

Rumah-rumah itu tertata apik dengan jalan yang rapi. Halaman-halaman yang cukup luas ditata dengan taman yang indah. Mereka semua menjadi tampak seperti bangsawan di negeri ini.

Sungguh ironi melihat bahwa penduduk pribumi diperlakukan dengan buruk, bahkan di negeri mereka sendiri. Mereka dijadikan Nyai, dijadikan budak, tukang pukul, bahkan diperjual-belikan seperti barang.

Dhayu adalah salah satu korban dari kesuraman zaman ini. Hal ini memang tidak hanya terjadi disini, di tanah ini, di Indonesia. Hampir di setiap benua dieksplorasi dan dikolonialisasi oleh bangsa Eropa. Pengetahuan dan arus informasi yang sangat terbatas membuat para manusia ini tidak dapat berbuat banyak untuk kebebasan mereka.

Letupan meriam membuat mereka gentar. Desingan peluru membuat mereka bertekuk. Padahal andai mereka tahu bahwa kekuatan mereka saat bersatu akan mampu mengalahkan itu semua. Mereka tidak akan menjadi negeri jajahan seperti ini.

Rumah itu berwarna gading. Ada pagar rendah berwarna putih dibagian depan. Taman kecil yang terawat. Vas berisi mawar merah terletak di pintu masuk. Tatanan rumah itu seluruhnya sangat cantik. Suasananya tidak jauh berbeda dengan Batavia.

Aku menyentuh mawar itu. Masih segar. Baru saja dipotong rupanya.

Apakah Daniel yang menyiapkan semua ini?

Seorang wanita muda dengan baju kebaya berwarna hijau tua mendekatiku. Wajahnya cukup cantik. Dia tidak seperti Dhayu. Dia bukan gadis lugu seperti Dhayu. Bahkan dia tampak menakutkan bagiku. Dia terlihat senang dengan kedatanganku. Dan sepertinya orang-orang di rumah itu memperlakukannya seperti seorang majikan.

Siapakah wanita ini?

"Mevrouw, selamat datang di Surakarta." sapanya sambil menundukkan kepalanya.

Dia berbicara dalam Bahasa Belanda dengan aksen aneh. Sepertinya dia baru bisa berbahasa Belanda.

Aku menganggukkan kepalaku untuk membalas sapaannya.

"Saya Nyai Betsy." dia mengucapkan namanya dengan lebih aneh lagi. Aku harus menahan mulutku agar tidak tertawa.

Serius dia bernama Betsy?

"Saya dipanggil genduk oleh ndoro, lalu Tuan Meniir memberi saya nama Betsy." Dia tersenyum semakin lebar.

Tunggu dulu, dia seorang "Nyai"? Apakah ini adalah nyai seperti yang diceritakan Dhayu? Wanita yang menjadi semacam istri dari lelaki asing yang ada di negeri ini?

"Kau Nyai?" tanyaku

"Iya benar."

Bahasa Belandanya benar-benar kacau.

"Kau orang mana?" tanyaku.

"Jawa... Saya Jawa.. "

"Pakai saja bahasamu." selaku.

"Inggih." ucapnya pada akhirnya.

Senyumnya menghilang dari bibirnya. Dia menatapku dengan wajah serius sekaligus kecewa.

"Tuan Meniir mengajari saya. Tuan Meniir meminta saya melayani Mevrouw sebaik-baiknya." katanya kemudian dalam bahasa Jawa.

"Aku paham bahasamu. Pakai saja itu. Lebih cocok untuk lidahmu."

"Inggih Mevrouw."

Genduk membawaku ke sebuah kamar besar dengan pintu yang mengarah ke taman samping yang indah.

"Ini kamar Mevrouw."

Dia menjelaskan banyak hal kepadaku. Hanya satu hal yang sebenarnya kuingin tahu, siapakah 'Tuan Meniir' yang dia maksudkan? Apakah Daniel?

Bukankah Daniel pernah bilang dia tidak menyukai wanita pribumi?

"Kemana tuanmu?"

"Oh, Tuan Meniir masih ada di keraton. Mungkin sebentar lagi akan kembali."

Aku menikmati senja di rumah itu. Aku berharap bisa segera menikmatinya bersama Aryo.

Teh sore itu terasa lebih manis dari sebelumnya. Dan itu membuatku mual. Genduk segera memarahi seorang pelayan wanita dan memintanya membuatkan lagi sesuai seleraku.

Genduk menemaniku dengan Dhayu yang masih tetap selalu disampingku. Genduk benar-benar berlaku seperti nyonya rumah.

Dia banyak bicara, sesekali menggunakan Bahasa Belanda yang kacau. Aku hanya sedikit menanggapinya.

"Apakah rumah Mevrouw di Belanda sangat besar?" tanyanya

"Aku tinggal di apartemen." jawabku sekenanya.

"Apartemen itu apa?"

Haaiiiss... bagaimana mungkin aku lupa sedang bicara di tahun berapa?

"Itu rumah yang besar dan berisi banyak orang." jawabku kemudian.

"Waaah... pasti sangat hebat...."

Aku bosan menanggapi pertanyaan-pertanyaannya, sehingga aku seringkali menjawab dengan jawaban yang lebih sulit dimengerti oleh manusia di jaman ini.

"Handphone..."

"Dengan pesawat."

Raut wajah Genduk semakin tampak buruk karena begitu tidak paham dengan kata-kata yang aku lontarkan.

"Ini tehmu."

Sosok yang sangat familiar itu datang dari balik pintu.

"Tuan Meniir..." sambut Genduk yang langsung berdiri yang membungkukkan badannya.

Readers yang sudah sabar luar biasa.. heel erg bedankt.. terimakasih banyak sudah bersabar menanti update... Tapi saya pasti akan menuntaskan cerita ini. Walau tidak bisa update setiap hari. Saya akan terus berusaha untuk update setiap ada kesempatan.. Happy reading...

Nice_Dcreators' thoughts
Próximo capítulo