"Baiklah. Tapi aku masih kepikiran Arumi, Kak. Aku gak bisa bersenang-senang sedangkan temanku menghilang tanpa jejak.", ucap Tiara yang tampak lesu.
"Kita gak bersenang-senang. Aku hanya mengajakmu untuk nonton weekend ini. Gak masalah kan?", sahutnya Regar memantapkan.
"Iya.","By the way, apa Kakak bisa temani aku setelah nonton?"
"Boleh."
"Terimakasih. Sampai jumpa Sabtu nanti, Kak."
"Iya, aku pulang ya."
"He-em.", sahut Tiara wajahnya mengiyakan dan pergi menuju kamarnya.
"Dean. Aku pamit!", serunya pada Dean.
"OKE! Tutup pintunya, Gar!", sahut Dean dari balik kamar yang sedari tadi menguping pembicaraan Tiara dan Regar. "Gak habis pikir. Kenapa sih Tiara ini mau saja di ajak kesana kemari sama orang lain?!", gumamnya. Seketika, roh Brenda muncul dan merangkul Dean membisikkan kata, "Ga..li.. Hi..lang.. Di..ngin..", Ia tidak peduli dengan roh maupun ucapan roh Brenda. "Persetan!"
'Wusssh...'
Roh Brenda menghilang. Tiba-tiba, sesosok makhluk berpakaian merah darah membelai Dean dengan tangan yang penuh darah. "Li..hat.. A..ku..", kata sosok itu dengan badan yang gontai, dengan rambut yang putih menutupi sebagai wajahnya dan tatapan matanya seram, lalu menyunggingkan senyumnya selebar mungkin hingga mulutnya robek. Dean menatap makhluk itu.
'Blam!'
Pintu kamar Dean tertutup dan matanya menjadi putih. "I..ku..tii.. A..ku..", kata sosok itu lagi mengajak Dean ke arah rubanah. Ia mengikutinya ke arah rubanah dan mengambil tali, tongkat besi dan beberapa perlengkapan. "Ha..hahaha..", pekik sosok itu melengking.
Hati Dean sudah kotor dan dirasuki berbagai macam pikiran jahat. "Lihat saja kamu.", gumamnya lagi. Dean menjadi orang lain. Seperti alter ego yang berganti pola setiap hari. Ia berjalan menuju lantai atas meninggalkan rubanah.
'BRAKK!!!'
Pintu kamar Tiara di dobraknya keras. Sontak, Tiara terbangun dari tidurnya. Dengan gugup Ia memanggil kakaknya, "DEN!!?", teriaknya nyaring. "DEAN?!!", tanyanya berseru.
'BRAKK!!!'
Kali kedua Tiara tidak memanggil kakaknya lagi. Ia bergegas bangkit dari kasurnya. Mundur perlahan mendekati jendela kamarnya.
'BRAKK!!! BRAKK!!!'
Benturan dobrakan kamar semakin keras dan suaranya semakin riuh. Tiara ketakutan. Saat Ia hendak mengambil ponsel yang tergeletak di meja komputernya, tiba-tiba..
'Brak..'
Pintu kamar Tiara sudah menjadi puing-puing kayu bertebaran. Dean terlihat berdiri di depan pintu. Bola matanya masih memutih. Rambutnya teracak tidak karuan. Di belakangnya terlihat seorang wanita bergaun merah berlumuran darah. Tiara jatuh terduduk menangis. "De..an..? Hiks.. Kak..", ucapnya.
Dean mengambil dan meraih perlengkapan yang berada tak jauh dari kaki kanannya. Ia tersenyum mendekati Tiara. Makhluk itu menghilang seketika.
"Kamu mau apa???!!", kata Tiara menangis.
"Ikut aku!", seru Dean keras sambil mencengkeram tangan Tiara.
"Gak!", sahut Tiara lantang.
Dean tidak tanggung-tanggung. Ia menarik lengan adiknya, menjambak rambutnya dan menyeretnya ke rubanah.
Sambil terus berkata tidak jelas, "Su..dah..je..las..kan.. aku.. mau.. KAMU! Aku memenuhi standar.. dan kebutuhanmu! Kamu mau pergi begitu saja ninggalin aku??! IYA??! Aku bisa ngelakuin apa aja buat dapatin semuanya! Tapi kenapa kamu gak BISA!", katanya sambil memegang tongkat besi. Matanya sudah kembali normal.
"Hiks.. Tolong.. Lepasin.. Hiks.. Lepasin.. Hiks.. ", Tiara cuma bisa menangis merengek padanya dengan tangan dan kaki yang terikat.
"Kenapa aku harus lepasin!?? Kamu pergi lagi kalau kulepasin kan... Iya kan.. Haha. Kamu itu dungu! Dia itu gak cinta sama kamu! Cuma aku! Aku..!","Sayangku.. Jangan ngeluh.. Ya..?? Kamu mau makan?? Ini aku sudah siapin.. Hehehehehe..", dia mengelus pipiku dengan tangannya.
"Kamu mau apa..Kakk..???!!", Tiara mulai ketakutan lagi. "Jangan sentuh.... Hikss... Jangan.... Tolong...", pinta Tiara yang terisak. Dean mengelus dan meraba wajah dan tubuh Tiara.
"Aku ga lakuin apa-apa kok... Aku.. Aku kan sayang kamu.. Aku.. Hahahahaha.", dia sekilas melihatkan wajahnya yang polos. Tapi tawanya mengerikan. Dia melemparkan tongkat besinya ke kaca yang berada tepat di samping Tiara terikat. Dean membelakangi Tiara. Mulai bergumam dengan bahasa yang tidak dimengerti Tiara.
"Kak.. Kamu masih ada disitu kan??!", tanya Tiara yang tahu bahwa saat ini Dean bukan menjadi dirinya sendiri.
Dean tidak menghiraukan apa pun yang dikatakan adiknya. "Kak!", serunya Tiara lagi memanggil sembari menggoyangkan tangannya untuk melonggarkan tali ikatan. "Kak! Jangan tinggalin aku di sini!", mata Tiara liar melihat kesisi setiap sudut rubanah yang sangat kotor dan banyak bercak darah.
Dean berjalan menuju kamarnya. Menarik tiga mayat yang berada dalam lemari pakaiannya. Ia mencari karung. Satu persatu mayat dimasukkan ke dalam karung. Di seretnya dan di gulingkannya ke bawah menuju rubanah.
'Brak!'
'Brak!'
'Brak!'
Tiara terkejut menyipitkan matanya. Ingin melihat dengan jelas apa yang baru saja jatuh.
Dean menuruni anak tangga rubanah. Menarik ketiga karung berisi mayat perempuan. "kamu temani mereka ya, sayang?", ujarnya menghampiri dan mengelus pipi kanan Tiara.
"A..pa.. Itu.. Den?", tanya Tiara terbata-bata.
"Kamu mau tahu?","Hahahaha. Mereka adalah para pacarku. Hahahaha."
Tiara hanya terdiam dan terkaku membisu. Air matanya terus mengalir. "Sudah.. Jangan menangis, Kamu gak ingin kan jadi seperti mereka? Hehehe."
"Hiks.. Ka.. H..huu..huu..hu.. Ka.. Kamu bukan pembunuh.. Kakakku sangat baik dan perhatian.. Kakak gak akan berbuat yang aneh-aneh. Ka.. Kumohon lepasin aku..", pinta Tiara yang semakin bergidik ketakutan.
"Hei, hei, hei.. Cup.. Cup.. sayang.. Kamu tahu gak, kamu paling aku sayang?", katanya seraya melepas pakaian kasualnya.
"Ka.. Kamu mau apa??! Hiks..", tanya Tiara yang masih terus menangis. Dean memegang wajah Tiara. Memaksa untuk mencium bibir Tiara. Mencengkeram leher Tiara sampai Ia sulit bernafas. Tiara pasrah dan menerima kenyataan pahit yang dilakukan kakaknya.
Ia meronta dengan sekuat tenaga tetapi tidak dapat Ia tepis. Tangan dan kakinya terikat, pakaian sudah tidak terbalut di tubuhnya. Dean hanya terus menatap tubuh Tiara tanpa busana.