webnovel

Sejak saat itu

Sita memang bukan orang yang berkepribadian periang, tapi itu bukan berarti dia adalah pria yang dingin. Hanya dihadapan beberapa orang saja Sita menunjukkan sisi lembutnya. Orang yang paling mendapat banyak sisi kelembutan Sita adalah Kia. Satu-satunya adik perempuan yang selama ini hidup bersamanya.

Kedua orangtuanya telah bercerai, dan dari empat bersaudara, Sita dan Kia menjadi tanggung jawab Papanya. Sayangnya sang Papa yang sibuk bekerja jarang berada di rumah bahkan untuk sekedar makan bersama dengan anak-anaknya. Dua anak lain yang bersama dengan Mamanya adalah adik-adik Sita. Keduanya anak laki-laki.

Saat dirinya sedang nonton dengan Farani, Sita mendapat pesan dari Yoga, adik tertuanya, kalau Mama mereka mendapat musibah keceleakaan. Sayangnya Sita adalah orang kedua yang mendapat kabar tersebut. Orang pertama yang menerima kabar tersebut adalah Kia.

Kia menangis di telepon saat Sita menghubunginya. Dengan berat hati dia menenangkan Kia dan berjanji untuk segera pulang. Begitu sampai rumah, dia segera memesan penerbangan hari itu demi bisa mengantar Kia bertemu dengan sang Mama.

Belum sampai disitu saja, sebagai anak tertua, Sita harus membantu mengurusi kedua adiknya yang lain. Dan juga kewajibannya untuk kuliah. Tak ayal itu membuat Sita terlihat lelah.

"Nyokap gue kecelakaan."

Farani terkejut mendengar perkataan Sita. Seorang Sita yang irit kata dan pelit senyum secara mengejutkan mengajaknya berbicara.

"Trus gimana keadaannya?" dengan hati-hati Farani mencoba bertanya balik, berusaha untuk simpati.

"Not good, but it's better." memejamkan mata sebentar lalu melanjutkan, "gue abis balik dari bandara langsung jemput lo."

"Maaf." saat menundukkan kepalanya, perasaan bersalah menyelimuti hatinya. Membuat Farani merasa sedih dan mengutuk kebodohannya itu. Tak terasa air mata mengalir di pipinya.

Sepintas Sita melihat air mata mengalir di pipi Farani. Dengan refleks, dia mengusap air mata Farani. "Ini bukan salah lo. Simpan air mata itu buat hal yang lebih penting."

Perlahan Sita memeluk Farani. Rasa kasih sayang menyelimuti hatinya. Sesuatu yang jarang dia rasakan untuk orang lain. Seperti sudah dalam waktu yang lama perasaannya telah mati.

Setelah menenangkan Farani, Sita menyandarkan kepalanya di sofa dan segera terlelap. Menyadari bahwa Sita terlalu lelah, Farani hanya bisa duduk disampingnya tanpa banyak kata. Selain itu, sedari tadi Sita mengenggam tangannya, membuat Farani tidak bisa banyak bergerak. Bahkan untuk mengambil minum sekalipun.

Beberapa pesan dari Fareza menghampiri HP Farani, menanyakan keberadaannya. Tentu saja Farani tidak bisa memberitahu abangnya bahwa dia berdua saja di rumah Sita. Tapi dia juga bingung harus memberi alasan apa untuk kakaknya itu. Terkadang insting Fareza menjadi sangat tajam, sehingga bisa mendeketsi kebohongan yang Farani lakukan.

'Nanti kalo urusan adek udah kelar, adek kasih tau bang.' hanya itu yang Farani ketik sebagai balasan chat kepada kakaknya.

Sejam berlalu dan Sita belum menunjukkan tanda-tanda akan bangun. Selain sudah merasa bosan, Farani juga merasa lapar. Sedari tadi siang dia belum makan, bahkan dengan pedenya dia menolak traktiran Lulu saat di kantin.

Perlahan Sita membuka matanya, mengedarkan pandangannya ke sekitar rumahnya. Menemukan Farani masih setia duduk disampingnya.

"Bisa lepasin? Tangan gue kesemutan." itu kalimat pertama yang didengar Sita setelah terbangun.

Melihat tangannya masih menggenggam tangan Farani, Sita perlahan melepaskannya. "Maaf."

"Nyenyak?" Sita hanya mengangguk menjawab pertanyaan Farani.

'Seenggaknya gue bakal hemat tenaga saat pacaran sama orang yang pendiam kek gitu.' batin Farani yang mulai mencoba memaklumi sifat pria disampingnya itu sambil sedikit menahan tawa.

"Mau makan apa?"

Seperti mengetahui kondisi perut Farani, Sita menawarkan sesuatu saat berjalan ke arah dapur. Setelah membuka lemari es dan menyadari tidak ada isinya, Sita segera menutup lemari es dan berbalik. "Kita makan di luar aja."

"Kita pesen aja." Farani mencoba memberikan solusi lain untuk Sita. Apalagi Sita masih terlihat lelah, belum lagi dia habis bangun tidur. Jelas bukan waktu yang tepat untuk berkendara. Seperti biasa, Sita hanya mengangguk.

Mereka memulai makan siang yang kesorean setelah menunggu pesanan datang sekitar 20 menit. Meski mulai terbiasa dengan keheningan bersama Sita, tetap saja ada yang terasa kurang bagi Farani karena dia terbiasa berada di suasana yang ramai. Apalagi keluarganya tipe yang selalu ribut dimanapu mereka berada.

Tergambar jelas di wajah Farani bahwa dia merasa tidak nyaman dengan keheningan ini. Ingin Sita membahas sesuatu dengan Farani, seperti teman-temannya, tapi dia sendiri tidak tahu harus membahas apa. Terlebih, dia bukan tipe yang banyak bicara.

"Gue bukan tipe yang seneng ngobrol."

"Bisa ditebak."

"Abis ini gue anter balik."

Setelah membersihkan meja makan, mereka berjalan beriringan menuju mobil. Sebelum masuk mobil, Farani berbalik, melihat rumah yang besar dan terlihat sepi.

"Ntar kalo Kia udah balik, gue kabarin." Sedari tadi Sita memperhatikan Farani, seperti ada yang belum bisa dia lepaskan.

Diperjalanan pulang, satu-satunya suara adalah dari playlist Sita. Kali ini bahkan Farani belum pernah mendengarnya.

"Gue belum pernah denger yang ini." rasa penasaran Farani memecah keheningan di dalam mobil.

"Requiem For A Dream, tapi gue nggak tau sapa pemainnya."

"Lo dapet dari mana?"

"Nggak sengaja pas buka youtube. Soundtrack film kayanya."

"Boleh gue minta?"

Sita lalu membelokkan mobilnya, ke arah kafe yang belum pernah didatangi olehnya maupun Farani. "Ayo."

Melepas seatbelt, Farani lalu mengikuti Sita dari belakang.

Di dalam kafe yang tidak begitu rame, tapi karena ruangannya tidak terlalu besar, hanya menyisakan beberapa bangku kosong. Saat pintu dibuka, terdengar bunyi bel yang menandakan ada pelanggan yang masuk. Otomatis semua kepala lalu menoleh untuk melihat siapa yang masuk.

Beberapa perempuan yang duduk di sudut berbisik setelah melihat sosok Sita.

'Yah, dia emang sempurna' batin Farani berusaha, mengira-ira bahwa para perempuan itu jelas sedang membicarakan Sita.

"Mana HP lo?"

Tanpa banyak tanya, Farani memberikan HPnya kepada SIta. Setelah beberapa saat diutak-atik, Sita meletakkan HP mereka berdampingan. Ternyata Sita mengirimkan beberapa lagu yang ada di playlistnya ke HP Farani.

"Jam berapa lo balik sekolah? Mulai besok gue jemput lo."

"Hah? Ngapain?" Farani berbalik bertanya.

"Pengen aja."

"Kayanya terlalu berlebihan. Gue aja pake sepeda cuma 10 menit coba." melihat ekspresi Sita yang sedikit kecewa, Farani segera menambahkan, "tapi terserah lo juga sih. Gue ngikut."

"Tiap hari apa lesnya?

"Senin sampai Kamis, dari jam 2 siang sampai jam 4."

Mendengar jawaban Farani, Sita langsung tercengang. 'Lah kalo gitu gimana gue mau jalannya coba?'

Tak terasa waktu menunjukkan puluk 6 sore, saatnya Farani untuk pulang. Memang tadi Farani sudah pamit ke Ayah dan Bunda, tapi tetap saja akan sedikit mencurigakan kalau ada yang tahu dia pulang diantar oleh seorang laki-laki.

"Nanti turunin di depan gerbang aja." dengan hati-hati Farani mengatakannya.

Sita hanya menoleh tanpa berkata. Dan bisa dipastikan kalau Sita tidak akan menuruti kata-kata Farani. Mobil terus melaju setelah memasuki gerbang. Diujung jalan itu, terlihat Beethoven no 15 yang terang benderang.

Hati yang karuan dirasakan oleh Farani. Alasan apa yang harus dia katakan untuk menjelaskan situasi yang sedang terjadi. Kalau hanya abangnya, dia bisa diajak kompromi. Tapi bagaimana dengan Ayah dan Bundanya? Alasan macam apa yang harus dia lontarkan?

Ragu-ragu Farani membuka pintu. Betapa kagetnya saat pintu dibuka dari dalam, terlihat Rere yang membuka pintu. Baik Farani dan Rere sama-sama kaget saat pintu terbuka.

"Ngapain kalian di luar aja?" Rere bertanya dengan sedikit penasaran.

"Nggak, ini tadi baru mau buka pintu."

Rere lalu melanjutkan jalannya untuk membuang sampah. Setelah selesai membuang sampah, Rere menghampiri kedua orang yang tampak mencurigakan itu. "Ada apa?"

Dengan berbisik, Farani mendekati Rere, "Didalam ada sapa aja?"

"Cuma ada gue sama abang lo. Gimana?"

Otomatis Farani menghela napas. Seperti perkiraannya, kalau hanya abangnya, masih bisa di kondisikan.

"Kenapa kalian bisa bareng?"

"Tadi ketemu di gerbang." Sita berusaha menyelamatkan Farani, juga membuat skenario yang dibuatnya telah direncanakannya berjalan lancar.

Próximo capítulo