Setelah menghabiskan waktu di telfon bercanda bersama suami, meri melangkah ke dapur untuk melihat makanan yang akan di hidangkan untuk junior.
Baru saat ia akan mengiris bawang, perutnya sudah lebih dulu mual dan mulai memuntahkan isi perutnya.
Nanny yang juga berada di dapur untuk membantu nyonya rumah itu memasak dengan sigap memijat lembut tengkuk dan punggung bos nya itu.
"nyonya, apa perlu aku telfon tuan untukmu?" tanya nanny berhati-hati.
Meri melambaikan tangannya, menolak memberitahu ilham tentang kondisinya. Mual muntah yang tidak terlalu sering sangat normal bagi ibu hamil di usia trimester pertama jadi mereka tidak perlu khawatir.
Saat masih sibuk dengan perut yang terus saja mual, terdengar suara junior yang memanggil ibunya.
"ibu, aku pulang" teriaknya.
Sudah menjadi kebiasaannya ketika pulang sekolah dengan sapaan akrab itu. Anak kecil itu justru tidak pernah mungucapkan salam seperti anak kecil lainnya.
Kalimat itu seperti turunan dari meri yang juga selalu mengatakan hal itu saat pertama kali bertemu keluarganya.
Mendengar tuan muda berteriak, nanny menjawab dengan lantang karena tidak ingin meninggalkan meri yang masih di landa mual muntah.
"tuan muda, nyonya ada di dapur. Dia sedang muntah"
Mendengar hal itu, bukan hanya junior tapi andre yang saat itu juga datang bermaksud menjemput junior ikut khawatir.
Mereka dengan kompak berlari ke arah dapur. Andre yang sudah pernah masuk ke rumah itu cukup hapal di mana letak dapur. Meri masuk menundukkan kepalanya pada washtafle saat andre masuk.
Seperti biasa, meri hanya menggunakan pakaian rumahan dengan dres selutut dengan lengan pendek. Ia terlihat jauh lebih muda dengan balutan warna merah muda.
Andre mendekat dan mengambil alih mengusap punggung meri. Mereka bekerja sama dengan baik karena meri bahkan tidak menyadari bahwa andre yang memijatnya.
Tangan mantan suaminya itu sudah terlahir halus dan tidak pernah bekerja kasar hingga sentuhannya ibarat belaian ibu pada putrinya.
"apa sudah lebih baik?" tanya andre.
Terkejut mendengar suara itu, meri merangsek mundur ingin menghindar tapi lengannya sudah terkunci di genggaman andre.
"tidak masalah, aku hanya membantumu meredakan mual" kata andre lagi.
"pakaianku" meri berkata dengan sedih terkesan bersalah karena membiarkan pria lain melihatnya.
Kakinya benar-benar lemah dan bergetar karena muntah beberapa kali. Ia ingin segera berlari tapi bahkan untuk berdiri nanny harus menyangga salah satu tangannya di bahu.
"aku bukan dokter, tapi ini darurat. Biar ku bantu kembali ke kamar" andre lagi-lagi menawarkan bantuan.
Meri tersenyum kaku, "maaf merepotkanmu dan maaf membiarkanmu melihatku"
Dalam hati, andre merasa senang bisa melihat wajah nyata itu lagi. Ini ke empat kalinya ia di beri kesempatan langka itu setelah ia keluar dari penjara. Ia justru berterimakasih dalam hati. Hanya saja ia menyesal bahwa hal itu saat meri tak berdaya dalam keadaan sakit.
Ia memapah meri ke kamar dan junior mengikuti keduanya. Andre meminta junior mengambil lap untuk menyegarkan meri sementara andre keluar dari kamar itu.
Dia sedikit tahu bagaimana perasaan ilham yang merasa bersalah menyentuh istri dari saudaranya. Walau ia sangat menyukainya tapi bayangan penyesalan itu terus saja muncul.
Di masalalu, ilham melakukan hal ini demi andre dan di masa sekarang, andre melakukannya untuk ilham. Dunia mereka memang unik.
Meri keluar dengan dandanan tertutup dan menyapa andre dengan malu.
"ilham belum pulang, dia masih ada pertemuan" meri membuka percakapan.
"tidak masalah. Aku hanya ingin menjemput junior tinggal di apartemenku. Ku dengar kalian sudah setuju"
"aku tahu, nanny sedang membantu mengepak pakaian junior"
"Mmm, apa kau sedang sakit?" tanya andre.
"tidak, hanya mual biasa. Sepertinya masuk angin" kilah meri.
Ia masih enggan memberi tahu kondisi sebenarnya karena takut akan terpisah dari junior. Walau tidak selamanya ia bisa menyembunyikan kehamilannya, ia masih bisa menunggu dua atau tiga bulan lagi untuk itu.
"kau harus banyak istirahat"
Percakapan mereka tampak kaku. Sudah sekian lama terakhir kali mereka berbicara berdua. Pembicaraan pribadi mereka hanya berlangsung di telfon dan itu bisa di hitung jari.
Tak banyak yang bisa mereka bicarakan.
"aku akan menjemput junior minggu depan" kata meri mengantar ayah dan anak itu hingga di depan pintu.
Ia hanya di tinggal satu minggu tapi hatinya masih merasakan tidak rela berpisah dari anak kesayangannya.
Sepanjang hari, meri mengurung diri di kamar menangisi kepergian junior. Sejak kecil, mereka tidak pernah terpisahkan. Perpisahan mereka pertama kali saat andre merebut junior dan membawanya ke amerika untuk pengobatan.
Saat itu, ia hampir saja depresi berat dan gila hingga berusaha mengakhiri hidupnya. Kali ini, ia hanya merasa sedikit tertekan dengan perpisahan yang tak berapa lama itu.
"nyonya, anda belum makan siang" nanny memanggil meri karena khawatir dengan kehamilannya.
Nyonya rumahnya itu adalah berlian berharga di mata tuan rumah. Jika terjadi sesuatu maka mereka juga akan mendapat imbas dari hal itu.
Saat junior makan siang, meri hanya menemaninya dan kehilangan nafsu makannya. Jadilah perutnya ksong setelah memuntahkan sarapannya.
"aku tidak lapar" jawab meri dari dalam kamar.
"nyonya, anda sudah memuntahkan banyak makanan dan belum makan siang. Apa akan baik untuk bayimu?" nanny berusaha membujuknya.
"aku tidak apa-apa. Tidak perlu khawatir"
"baiklah. Makanan ada di meja makan jika nyonya merasa lapar tolong beritahu aku"
"Mmm"
Hari mulai gelap saat ilham kembali. Dia di sambut dengan wajah suram nanny yang becampur aduk dengan takut.
Ia berlari segera setelah melihat tuannya sudah pulang. Memberitahunya lebih dulu adalah pilihan tepat daripada membiarkannya mengetahui semuanya setelah melihat kondisi istrinya.
"tuan, nyonya dari siang mengunci dirinya di kamar. Nyonya bahkan belum makan siang"
Ilham mengernyitkan alisnya tampak heran tapi justru memabukkan. Nanny yang melihatnya seperti meleleh dari kebekuan tatapan tuannya itu.
"apa terjadi sesuatu?" tanya ilham.
"tadi tuan andre datang membawa tuan muda pergi. Nyonya juga tadi muntah tapi melarangku memberitahu siapapun"
"kalau begitu jangan beritahu padaku"
Nanny "...."
Ilham meninggalkan nanny yang masih berdiri dengan kebingungan di kepalanya. Tuan dan nyonya rumah ini benar-benar aneh.
Sebagai suami, seharusnya ia akan marah jika istrinya menyembunyikan sesuatu tapi tuannya justru menyetujui perkataan istrinya agar merahasiakan apa yang ingin di rahasiakan istrinya.
Dan sebagai istri, seharusnya ia ingin di manja oleh suami di saat hamil muda tapi nyonya rumahnya itu justru menelan kesulitannya sendiri.
Tok tok tok (suara pintu di ketuk)
"nanny, aku sudah bilang aku tidak lapar" teriak meri kesal karena seharian nanny terus saja membujuknya untuk makan.
"meri, ini aku"
Meri segera menghapus bekas air matanya dan merapikan diri berdiri ke pintu dan menyambut suaminya dengan senyum yang di paksakan.
"maaf, aku pikir nanny yang datang..."
"tidak perlu bicarakan hal itu. Kemarilah, ada yang ingin aku katakan"
Ilham menarik meri duduk di atas pangkuannya di atas ranjang. Keduanya tampak mesra berdua.
"Ada apa? Kau terlihat antusias. Apa ada kabar bagus?" tanya meri.
"bukan kabar bagus. Ini masalah tapi karena kau ada di sampingku, aku merasa semua adalah kesempata. Rumah sakit di paris mendapat perhatian pemerintah akhir-akhir ini. Dan auditor mendapati kecurangan dalam laporannya. Jadi intinya, aku dalam masalah"
Meri "..."
Suaminya mulai aneh, dia menjelaskan segala sesuatu yang buruk dengan senyum mengembang di bibirnya. Dia seperti psikopat gila yang tersenyum setelah berbuat buruk.
"sayang, aku tahu junior akan tinggal bersama andre satu minggu ini. Jadi aku ingin membawamu ke paris selama satu minggu. Aku harus ada di sana dan aku ingin kau di sampingku"
"aku tidak bisa. Junior ada di sini, bagaimana bisa kita meninggalkannya" meri menolak meninggalkan putranya.
"dia bersama ayahnya. Kita akan kembali tepat saat dia harus kembali ke rumah"
"bagaimana dengan pekerjaanku?" meri masih enggan untuk pergi.
Jika mereka akan pergi berlibur bersama dengan junior, ia tidak akan berpikir dua kali dan langsung menyetujuinya. Tapi jika hanya pergi berdua tanpa junior, ia masih berat mengatakan iya.
"kita akan mulai bekerja bersama minggu depan"
"bersama?" meri merasa ada hal tersembunyi di balik kata itu.
Ilham mengeratkan pelukannya di pinggang istrinya dan menarik wajahnya mendekat.
"Mmm, bersama. Kau dan aku akan menjadi profesor dan dokter di rumah sakit yang sama. Kau berada do bawah bimbinganku jadi aku bisa menjagamu setiap waktu"
"tunggu dulu. Apa kau melakukan ini agar kau bisa berdekatan dengan para penggemarmu?" meri menatap dengan pancaran menuduh.
"aku hanya ingin menjagamu dari mereka. Tapi sayang, karena tidak mengakui hubungan kita aku harus menghukummu"
Hukuman yang di maksud ilham selama ini tidak akan jauh dari hubungan ranjang. Tapi dia sedang hamil dan tadi pagi mereka melakukannya.
Ini baru dua belas jam berlalu dan mereka tidak bisa melakukannya secepat itu.
"suamiku, aku tadi stres karena pertanyaan mereka. Kau tahukan ibu hamil tidak boleh stres. Sekarang kau malah ingin menghukumku"
"hahaha, sayang. Saat kau mengatakan suamiku, aku sudah tahu kau akan memohon dan menggodaku. Kau merasa itu akan bekerja untuk menipuku" ejek ilham menatap lembut istrinya.
"jadi, apakah ini bekerja?"
"Mmm, kau menang. Tapi, temani aku makan. Aku sangat lapar"
Ilham tidak ingin mengungkit bahwa istrinya itu menahan lapar karena menangis seharian.
Wajah putihnya berubah merah dan bengkak setiap kali ia menangis dalam waktu lama lama ia sudah tahu apa yang terjadi.
Saat pertemuan, ilham sudah makan bersama dengan investor tapi untuk membujuk istrinya agar makan maka ia mengorbankan dirinya yang mungkin akan sakit perut atau sesak akibat kekenyangan. Tapi tidak masalah selama istrinya bisa makan dan tidak kelaparan.