03 Oktober 1274 AG - 6:50 Pm
Southforest Dungeon - Lorong Kubah
—————
CLANK ... CLANK ... CLANK—CLANK—CLAANK! CRAAASSSH!!!
Salah satu Qalamist itu oleng ketika seorang raksasa berzirah entah dari mana tiba-tiba menabraknya sekuat tenaga. Belum sempat Qalamist itu memperbaiki kuda-kudanya, lehernya sudah tertebas pedang panjang yang juga muncul dari udara tipis. Setelah menghilangkan nyawa seseorang, dua Stauven palsu itu langsung menghilang.
Tak berbekas ... menyisakan kesunyian.
Satu orang prajurit itu mungkin seimbang bertarung satu lawan satu dengan Simian. Pria berambut merah itu pun pasti menyadarinya. Namun strategi aneh itu memaksa Preponte mundur perlahan karena kondisi yang berbalik arah. Pertarungan berat sebelah itu spontan mengingatkan Preponte pada satu keistimewaan Simian yang menjadikannya seorang earl.
Bukan ototnya yang menakutkan. Tapi otaknya yang terlalu kreatif. Si rambut merah itu selalu punya cara cerdik menghadapi lawan yang lebih kuat. Karena terkejutnya, Preponte tidak bertanya-tanya sihir apa yang Simian gunakan. Dia hanya bisa menelan ludah saat menyadari Simian adalah lawan yang licik.
"La tamzah! Jaban!" Yazd berteriak penuh amarah ketika melihat satu anak buahnya kejang tanpa kepala. "Mana kehormatanmu, Kerapat!"
Dia perintahkan tiga anak buahnya menebas acak. Tapi seperti yang sudah-sudah, salah satu anak buahnya terdorong keras oleh zirah baja Vodi seperti sebelumnya. Anak buah itu tewas begitu dadanya tertembus pedang panjang yang menunggunya dari belakang.
Yadz menyuruh dua anak buahnya mundur. Dia dan delapan orang tersisa menghunuskan pedang ke arah Simian yang berdiri santai di depan mereka, di balik tubuh kokoh Vodi yang melindunginya. Pria berambut merah itu mencabut tusukan dari punggung korban keduanya dan memberi pesan menyebalkan di saat badannya perlahan menghilang.
"Keparat, bukan kerapat ... belajar Bahasa Camelota lagi, Yazd."
Rahang Preponte seakan mau copot. Merasa pertarungan itu akan jadi ajang pembantaian, dia menyuruh anak buahnya melindunginya untuk menjauhi arena pertarungan. Bulu kuduknya berdiri ketika mendengar suara Stauven Palsu itu menggema di seluruh lorong.
"Uuu ... kejutan!"
"Arrgghhh!!!"
Preponte melihat salah satu anak buah Yadz berteriak ketika anak panah menancap di lengan prajurit itu.
"Tunjukan dirimu, Pengecut!" Yadz murka karena luka ringan dari anak panah itu ternyata berakhir kejang-kejang dan mulut berbusa. "Khinzhir! Pengecut kau, Firehead!"
"Pengecut? Aku juga membenci petarungan tanpa kehormatan, Yadz ... dan orang yang paling aku benci adalah diriku sendiri, bhahahahahaha!"
Panah kedua meluncur setelah Simian berhenti bicara. Hanya saja kali ini bukan anak buah Yadz yang menjadi sasarannya, melainkan menancap tepat ke jidat pengawal terdekat Preponte sehingga Stauven kapalan itu langsung mencret di celana.
"Lindungi aku!" Dia berteriak panik.
Preponte kehilangan minat menonton pertarungan. Dia menyuruh prajurit pengawal mengerumuninya dan mengangkat tameng. Dia merangkak seperti kura-kura demi menghindari anak panah Mascara. Dia tahu betul seakurat apa bidikan si jalang itu.
"Gunakan hidungmu! Lacak mereka!" Dia memerintah Ottuso.
"Tapi Tuan..." Ottuso menjawab lirih, memegangi hidungnya yang masih mimisan.
"Dasar tidak berguna! Cepat mundur!"
***
Di tempat berbeda.
"Sudah ketemu? Jangan lama-lama, Marcelli!" Seseorang berteriak dari bawah.
Suaranya menggema menelusuri sebuah lorong sempit. Suara itu berkelana menuju telinga seseorang yang sedang kesal.
"Hidungku tidak setajam Aero, bersabarlah!" teriak Marcelli di antara gelap.
Dia mengayunkan obor ke berbagai arah sambil sesekali mengumpat. Lorong lembab setinggi satu meter itu memaksanya harus terus membungkuk di antara ratusan atau mungkin ribuan kecoa sebesar telapak tangan.
"Cih, tua bangka itu main suruh saja."
Bau khas kecoa dan cairan kental menjijikan itu bahkan membuat rank-S berpengalaman seperti Marcelli tidak tahan untuk mengumpat. Tapi si tua Fiduci masih saja melontarkan pertanyaan sama, karena sesuai informasi yang pak tua cerewet itu sampaikan, di ujung lorong itu pasti ada omegra sumber uang.
"Jangan lama-lama, Marcelli!"
"Cari sendiri kalau tak sabaran, Pak Tua!"
Beberapa saat sebelumnya, Marcelli dan Fiduci mengamati lubang besar di atas lorong panjang stage ke dua. Melihat kecoa besar yang jumlahnya tidak main-main, Fiduci memberi Marcelli informasi bahwa di atas sana bukan lah kumpulan blattodeax biasa. Sebagai rank-S, Marcelli juga tahu bahwa para blattodeax itu bukan sekedar omegra yang diusir kecoa lain.
Lord maha adil. Walaupun omegra dirancang untuk membunuh manusia, mereka terlahir tanpa organ berkembang biak. Para omegra itu akan berkumpul dengan sesama spesiesnya yang terusir dari berbagai tempat. Dungeon adalah sarang bagi para omegra yang membentuk koloni dari kumpulan yang terusir tadi. Tapi ada kasus tertentu yang sangat langka ketika omegra bisa berkembang biak dan membentuk koloni mereka sendiri. Kasus itu hanya terjadi pada omegra spesies serangga yang memiliki spesies "core", atau disebut juga spesies raja.
Meski spesies serangga yang bisa menjadi omegra jumlahnya sangat kecil, tapi jika mereka memiliki core, maka core itu akan memilih betina dari salah satu omegra yang dia pilih. Karena core sendiri sangat langka, maka langka pula lah betina yang menjadi ratunya. Betina itu lah yang Marcelli cari karena harganya juga cukup tinggi.
Rank-S itu merangkak 200 meter jauhnya setelah tadi menaiki lubang besar di langit-langit. Hidungnya mengendus, telinganya mencari suara-suara mencurigakan. Matanya juga awas melihat apapun di sekitarnya. Meski tidak ada satupun kecoa yang bergerak, dia tidak pernah melepaskan penjagaan.
"Ayolah Marcelli, inderaku tidak setajam punyamu."
"Aku cuma Akvo, Pak Tua! Jangan samakan seperti Aero!" balas Marcelli semakin tidak sabaran dengan si tua yang masih cerewet.
"Bagaimana?"
Marcelli menoleh ke belakang. Dia menaruh dua tangan di sekitar mulutnya dan berteriak, "Ngomong sekali lagi kamu cari sendiri!"
Dia semakin kesal. Dia melanjutkan perjalanannya sampai menemukan ujung lorong yang nampaknya sarang kecoa. Setelah mengintip apa yang ada di baliknya, dia berteriak, "Ada Blattodeax seukuran kereta kuda. Kamu yakin kita ambil sekarang, Pak Tua?"
"Turun dulu, Marcelli! Kita punya uang lain!"
"Duh, si tua serakah itu."
Ogah-ogahan, Marcelli merangkak kembali menuju lubang. Setelah turun dari lubang itu dia melihat Fiduci bicara dengan seseorang.
Marcelli langsung menyapa orang itu.
"Ada perkembangan, Tuan Preponte?"