28 September 1274 AG - 07:30 Am
Kota Tigris - Pasar Alun-Alun
—————
Pagi yang indah di hari Selasa, kecuali bagi Simian.
"Bisa lebih pagi lagi menjemputku? Aku masih ngantuk!"
Simian mengeluh. Panggilan di pagi buta itu memaksanya menuruti kemauan Mascara yang akhir-akhir ini semakin tidak jelas. Sesuai pembicaraan dengan ayahnya, pagi ini dia menemani gadis itu untuk menemui Conna yang baru tiba di Kota Tigris.
"Apa susahnya menemui dia sendirian? Kenapa pula ayah melibatkanku ke drama pertemuan gadis-gadis?"
Mascara tidak mau menjawab. Dia masih ketus kepada Simian. Pagi ini pun dia tidak banyak bicara selain protes untuk hal-hal yang tidak masuk akal.
"Terserah kamu lah mau percaya atau tidak. Aku merasa idiot bicara dengan orang keras kepala," tukas Simian mengawali sikapnya menutup mulut.
Apa yang terjadi padanya akhir-akhir ini?
Misi terakhir itu membekas dalam di hati Simian. Dia baru tahu bahwa dia telah kehilangan beberapa anak buahnya yang dia libatkan di misi itu. Dia sangat terpukul karena tiga prajurit itu adalah bagian dari dua peleton pribadinya.
Simian menjalani masa-masa berkabung itu dengan selalu bersama mereka. Komandan muda itu makan bersama, tertawa bersama, dan tidur di lantai yang sama dengan 47 anak sisa buahnya. Semalam pun dia tidur bersama mereka di camp penjagaan 2 km dari pintu gerbang. Tapi Mascara berprasangka lain. Gadis itu menuduh dirinya mencuri kesempatan untuk bisa tidur lagi bersama Rineta di guild petualang. Dia sampai putus menjelaskan faktanya karena Mascara masih saja tutup telinga.
"Kamu terlihat capek, Simian, pasti seru ya tadi malam sama Rineta." Mascara bertanya sambil mengendus badan Simian.
"Aku tidur di camp."
"Memangnya apa yang Rineta lakukan?"
"Enggak tahu! Aku tidur di camp. Kamu sendiri yang menjemputku tadi."
"Kalian pasti ... ehem," ujar Mascara tanpa mau mendengarkan alasannya. "Masih mengelak? Toh, tanganmu yang cabul sudah tidak perjaka."
"Enggak tahu, aku di camp! Pakai akal sehatmu! Apa yang salah denganmu!?"
"Kamu menyuruhku percaya omongan monyet cabul yang suka remas-remas dada perempuan?"
Simian benar-benar kesulitan menahan kesabaran. Mascara selalu saja mengulik kejadian itu meski dia sudah menjelaskan bahwa itu hanyalah strateginya. Dia memilih diam karena sudah malas menjelaskan.
Wajah dingin Mascara semakin dingin. Gadis itu mengambil belati dan menempelkan ujungnya ke jakun pria itu.
"Ayah sudah membebaskanmu sesukanya. Kamu juga pernah memegang dada besar enggak berguna pelacur itu. Salah kalau aku curiga kamu mau coba-coba gituan sama Rineta? Jujur padaku atau lehermu berlubang!"
Bulu-bulu di sekujur tubuh Simian berdiri. Dia belum pernah melihat ekspresi gadis itu seseram sekarang. Dia menahan diri untuk tidak menelan ludah karena jakunnya dipastikan bisa berdarah.
"Jujur padaku, kamu tidak menyentuh perempuan lain, kan?"
Simian bergeleng perlahan setelah Mascara sejenak menarik ujung belatinya.
Sebelah alis Mascara terangkat. Hidungnya bergerak saat mengendus bau mencurigakan di tubuh Simian. Gadis itu semakin mengernyitkan dahinya karena pria itu selalu saja menghindar setiap kali dia endus tubuhnya lebih rinci.
"Kamu atau pisauku yang diam?"
Simian langsung berdiri membatu. Mascara berjongkok dan mengendus bagian paling mencurigakan dari pria itu.
"Sniff sniff ... hmmm?"
"Mascara, jangan buat orang salah paham."
Simian panik saat semua orang di alun-alun itu melihat tingkah kakak perempuannya. Sekujur tubuhnya merinding saat Mascara mulai menempelkan hidungnya bagian depan celananya.
"Berhenti endus celanaku dan jangan oles-oleskan hidungmu! Geli tahu!"
Mascara terperanjat. Wajahnya langsung memerah karena sadar baru saja berpose memalukan. Gadis itu berdehem beberapa kali dan mulai berbasa-basi.
"Baiklah, kamu selamat sekarang. Conna pasti sudah di tempat ini. Ayo menyebar."
"Memangnya kita sedang cari kutu kasur? Sudahlah! Kita pasti ketemu Conna sebentar lagi!" kata Simian kesal bercampur geli karena sisa sentuhan tadi.
"Kalau begitu temani aku belanja."
Sejenak, suasana senyap. Simian pura-pura tuli karena paham betul gelagat Mascara itu nanti arahnya kemana.
"Ayo kita menyebar!"
"Apa salahnya menemani aku belanja?"
"Tidak ada yang salah. Aku cuma merasa umurku lebih pendek menunggumu pilih-pilih barang. Apalagi tawar-menawar."
Simian hendak melangkah pergi. Tapi Mascara lebih dulu mencubit ujung jaketnya.
"Kamu sudah lama tidak menemani aku belanja."
"Ayolah, Mascara, lagipula kamu mau beli apa? Hari ini hari terakhir fair! Orang-orang cuma jualan bahan makanan, rempah-rempah dan pakaian tebal. Besok sudah musim dingin!"
"Temani aku belanja. Kamu sudah bikin salah."
"Apa salahku?"
"Tidak tahu. Pokoknya kamu salah." Mascara menjawabnya dengan tatapan yang makin galak. "Ini kesempatanmu mendapatkan maaf dariku."
Simian masih belum tahu punya dosa apa dia padanya. Beberapa hari ini Mascara sering uring-uringan dan seenaknya main kekerasan. Sekarang pun gadis itu terus saja bersikap dingin. Dia menyerah. Simian diam saja ketika Mascara menunjuk lapak pedagang sesukanya.
"Kamu lihat mantel wool itu? Cantik bukan?"
Simian gelisah ketika matanya melirik lapak pakaian yang hanya tersisa beberapa barang.
"Bagus kan, Simian?"
"..."
Mascara langsung menghunuskan pisaunya.
"Katakan bagus atau ..."
"Baiklah-baiklah, mantel wool itu bagus. Kamu pasti cantik pakai itu. Beli sana, pakai uangku."
Mascara masih menatapnya seram hingga Simian merasa tidak nyaman. Dia takut salah bicara karena Mascara suka mengambil sepotong-sepotong saja dari semua kalimatnya. Dia semakin gelisah ketika gadis itu mendekatinya perlahan dan meraih kerah lehernya.
"Kamu semakin kurang ajar sekarang."
Simian memejamkan matanya menerima tamparan atau pukulan. Dia menanti detik-detik itu dengan perasaan semakin kalut. Tapi yang dia rasakan justru kecupan lembut di pipi kanannya.
"Muaachhh! Nanti aku cium pipi satunya sebelum tidur."
Ada perasaan berdesir. Meskipun gadis itu sering melakukannya, tapi ciuman kali ini terasa berbeda sekali. Dia sekilas melihat wajah manis Mascara sebelum kembali dingin seperti biasa. Gadis itu pun berjalan ceria menghampiri lapak pakaian, meninggalkan Simian yang terpana hingga mengelus sendiri pipinya.
"Satu gold, Nona Mascara. Ini harga cuci gudang, saya mohon."
"Kamu pikir aku gila? Dua silver."
"Saya mohon, Nona, penawaran Nona tidak masuk akal!"
"Dua silver dan satu copper."
Karena kegigihan Mascara, negosiasi pun berjalan lama. Simian yang bosan tak kuasa berdiri mendengkur di depan lapak pedagang. Dia kedip-kedipkan mata ketika menyadari baru saja tertidur di tengah pasar.
Kepalanya menoleh kesana kemari mencari sesuatu yang segar untuk mengusir kantuk. Tapi tidak ada satu gadis pun yang menarik matanya selain seorang gadis di bawah umur.
Sosok gadis imut itu membuat Simian main colek Mascara yang masih sibuk tawar-menawar.
"Lihat gadis kecil itu?"
Mascara menoleh mengikuti arah jarinya. Si tomboy itu juga melihat gadis kecil berambut pirang emas yang sedang berlarian kesana kemari mengunjungi setiap lapak. Mengenal dia siapa, Mascara melambaikan tangannya.
Tapi gadis berpupil hijau emerald itu tidak melihat. Dia masih sibuk mengunjungi satu persatu lapak dengan wajah penasaran dan berlarian dengan tangan terentang seperti layaknya anak-anak.
"Perlu aku panggil dia, Simian?"
"Jangan dulu. Kamu seperti enggak kenal dia saja."
Gadis yang nampaknya berusia 12 tahun itu berpenampilan cukup mewah. Dia mengenakan gaun kurung berenda yang sedikit di bawah lutut, serta memiliki garis leher melingkari dadanya yang nampak berbentuk. Dari kualitas surcoat-nya saja orang-orang bisa menebak dari kelas sosial mana dia berasal. Apalagi jika dilihat dari kepang mahkota yang melingkari bagian atas rambutnya. Gaun dan tata rambut mewah itu jelas menunjukan bahwa si gadis imut bukanlah bangsawan biasa.
Semua mata menatap gemas padanya. Tubuh kecilnya, mata bulatnya, senyum manisnya, serta gerak geriknya yang kekanakan memberi kesan menyenangkan bagi siapapun yang memandang.
Namun, jangan tertipu dengan penampilannya. Itu karena gadis itu bukanlah gadis kecil betulan. Siapapun tidak akan salah memperkirakan usianya ketika melihat sepasang dada yang coba gadis itu sembunyikan, sesekali memantul di balik renda-renda korset.
"Wah, tambah montok sekarang."
"Jangan celometan," tegur Mascara pada Simian. Tanpa memunda dia panggil gadis itu dengan nama," Connaaaaa!!!"
Gadis kecil itu pun menengok.
"Kyaa! Mascaraaa! Simiaaann!!!"
Gadis yang bernama Conna itu antusias melambaikan kedua tangannya sambil melompat-lompat kecil. Dia berlari mendatangi Mascara dan saling berpelukan. Setelah melepas rindu, gadis pirang emas itu merentangkan dua tangannya ke arah Simian.
"Simian, gendong!"
"Ogah!"