15 September 1274 AG - 08:00 Am
Kota Tigris — Balai Kota
—————
Seorang pria paruh baya berambut pirang emas duduk tenang di kursi mewah. Tatapan analitis terlihat dari pupil hijau emerald saat dia menatap mata sang lawan bicara. Grall del Stauven yang menjadi lawan bicaranya, menunjukan ekspresi tidak sabaran. Dia balas menatap mata orang yang wajahnya mirip dirinya itu dan memberinya sedikit penjelasan.
"Ayah sudah membuktikan kata-katanya. Apalagi yang kamu pikirkan, Barlux?"
Pria itu bernama Barlux du Lumiere. Dia adalah adik kandung Grall yang merupakan Duke di Kota Tigris. Dia adalah salah satu dari tiga trias politica⁴ yang menguasai kota itu. Seperti halnya Solidi, Barlux adalah salah satu dari empat orang kepercayaan Grall. Duke itu adalah sosok yang selalu mendukung semua langkahnya dengan resiko apapun.
Persadaraan yang manis, bukan?
Akan tetapi, Barlux adalah orang yang kritis. Dia tidak asal menelan bulat-bulat informasi apapun sekalipun informasi itu keluar dari mulut kakaknya sendiri. Karena kejadian di Nerodia masih mustahil baginya, dia menoleh seseorang yang berdiri di sampingnya dan mengulang pertanyaan yang sama.
"Kamu yakin Kerajaan Atlantia tidak tahu mereka diserang?"
"Tidak, Tuan Duke. Saya yakin itu. Rumor yang beredar di sana hanya suara gemuruh aneh dan dentuman nyaring dari Selat Nerodia."
"Dan rumor benda terbang di atas awan itu?"
"Iya, Tuan Duke. Rumor itu sempat heboh. Tapi untunglah sebagian besar orang tidak percaya karena tidak melihatnya."
"Benda terbang ya?" Sejenak menghela napas, Duke Barlux menyuruh pergi para pelayan sebelum menatap ragu kepada Grall. "Sulit kupercaya, tapi aku tidak punya pilihan lain. Abang sudah terima semua pesan Ayah Tonos?"
"Iya," jawab Grall singkat dan menyodorkan selembar parchment. "Ada tiga permintaan Kota Maylon untuk kita. Permintaan pertama itu tugasmu."
Begitu kertas tebal itu Barlux baca, matanya langsung terbelalak.
"Ini gila!" Barlux berteriak dan langsung menaruh parchment itu di atas meja. "Aku tahu Kota Maylon berisi orang-orang gila. Tapi aku tidak menyangka permintaan mereka juga sama gilanya."
Grall mengambil kertas itu dan sekilas membaca meski sudah tahu isinya.
"Kamu tahu, Barlux? Kota sebesar Tigris saja hanya punya 120.000 populasi. Seluruh Propinsi Tigris hanya punya 300.000 jiwa. Tapi Kota Maylon membutuhkan 250.000 imigran. Entah untuk apa populasi sebanyak itu untuk kota sekecil Maylon."
"Coret itu. Kita tidak akan sanggup."
"Tenang saja, ini target mereka untuk lima tahun kedepan. Kamu yang akan membantu mereka cari imigran dari berbagai kerajaan."
"Baiklah, itu tugas mudah. Bagaimana permintaan kedua?"
"Yang kedua itu urusanku. Aku yang akan menghubungkan Kota Maylon dengan Kerajaan-kerajaan calon sekutu kita. Termasuk kerajaan Ysdeville."
Barlux melirik sekilas. Grall tahu adiknya pasti mengambil kesimpulan penting.
"Berarti perang besar tidak lama lagi?"
"Iya. New Age Order sudah gerah dengan pergerakan kita. Aku yakin mereka sudah tahu bahwa kita adalah pemberontak."
Barlux sekali lagi menunjukan gelagat berpikir.
"Abang yakin kita aman?*
"Aku sudah mempersiapkan semuanya."
"Ada hubungannya dengan permintaan ke tiga?" balas Barlux, melirik kertas yang Grall pegang.
Grall melirik paragraf yang Barlux maksud. Permintaan ketiga di surat itu memang transaksi yang sudah disepakati antara dirinya dengan Kota Maylon. Di surat itu tercantum bahwa kota itu menginginkan 10 generasi muda yang mana empat di antara mereka adalah ketiga anaknya dan anak tunggal Barlux.
"Puterimu sudah tahu ini?"
"Iya, dia justru ingin cepat-cepat ke kota itu." Barlux menjawab kalem. Dia pergi ke samping jendela dan menatap pemandangan yang ada di baliknya. "Tidak terasa sekarang giliran anak-anak kita. Waktu cepat berlalu, Abang."
"Kita memperjuangkan ini sejak kita masih seumuran mereka, Barlux. Kita punya tugas lain yang lebih berat. Biarkan anak-anak yang menyelesaikan sisanya.
"Sisanya? Di garis depan?"
"Iya. Perang besar nanti ada di masa mereka. Peran kita ada di belakang layar."
Barlux tersenyum tanpa memalingkan wajah dari apapun yang dia pandang. Matanya menerawang seakan mengenang sebuah perjalanan panjang. Dia berkata, "Tangan kita kotor, Abang. Apa dosa itu juga kita wariskan ke anak-anak kita?"
Grall tidak langsung menjawabnya. Dia mengambil dua gelas kristal dan menuangkan wine bertuliskan 'Made in Maylon.' Marquis itu menyerahkan salah satunya kepada sang adik dan bersandar di tepian jendela.
"Kamu terlalu banyak membaca buku, tapi belum tahu bahwa dosa itu letaknya tempurung kepalamu." Grall berkata sambil menyodorkan ujung gelasnya." Dunia ini harus berubah, Barlux..."
"Dan yang bisa mengubahnya hanya mereka yang berani menerima dosa?" Barlux membalas sambil membenturkan ujung gelasnya. "Dan dosa itu hanyalah konsep untuk memperbudak kebebasan kita? Aku sering membacanya, Abang."
Grall tersenyum. Dia ikut memandang hiruk pikuk Kota Tigris dari balik jendela ruangan itu.
"Iya, jangan pernah bicara dosa di dunia yang semakin membusuk!"