"Angkat tangan!" Lantang suara yang dikeluarkan perempuan berambut hijau itu. Memaksa keempat orang lainnya membuka mata lebar-lebar dan reflek melakukan perintah.
Akan tetapi, sekian detik kemudian, keempatnya justru saling tatap dan baru menyadari keadaan yang tengah mereka alami. Aeghys-lah yang pertama hendak menurunkan tangan, namun suara tembakan logam mencegahnya.
"Jangan berani-berani kalian melawan! Atau aku tak segan melepas-landaskan mereka!" Gadis itu, dengan tangan bergetarnya, menunjuk pistolnya sendiri. Ia mengancam, dengan tubuh yang berguncang hebat.
Lagi, keempatnya kembali bersitatap, seperti saling berbicara lewat telepati. Sayangnya, hal itu tak berlangsung lama, acara tatap-menatap berakhir ketika El buka suara.
"Apa perlu ku lemparkan pisau kearahnya?" El memancarkan aura serius saat mengucapkan kalimat itu. Mengakibatkan kawan lainnya kebingungan menafsirkan. Apakah sebuah candaan, atau memang hal yang akan dilakukan?
"Kau gila, El." Myra membuat kedua alis-nya menukik tajam, tak percaya dengan apa yang barusan musuh bebuyutannya ucapkan.
Sebagai balasan, El mengendikkan bahu tak acuh. Ia lalu kembali fokus menatap si Rambut Hijau yang sepertinya tak mendengar percakapan mereka. Sebab memang lumayan jauh juga jarak antara Pelaku dan para Korban.
Tiba-tiba saja suara tawa yang terasa amat dipaksakan, terdengar. Itu si Rambut Hijau.
"Tak usah kalian repot-repot mendiskusikan rencana untuk melawanku. Karena itu mustahil. Mungkin kalian memang pentolan besar di angkatan kalian. Tetapi, di mataku saat ini, kalian hanyalah adik kelas yang tak tahu sopan santun!"
Myra dan El saling bertatapan, kemudian mereka menatap Zen dan Aeghys yang nampak tak terkejut dengan penjelasan tadi.
"Hei, kalian berdua mengenal dia?" Tak acuh, Aeghys dan Zen seakan tuli terhadap bisikan Myra yang terpaut satu meter jaraknya dari mereka. Sedangkan El, ia tengah memindai situasi.
"Myra, tutup mulutmu." Sekejap, dahi Myra menyusut drastis. Ia tak bisa lagi menyuarakan ke-tidak pahaman nya, sebab hak miliknya telah dibatasi.
"Tenang, Arify. Bukankah itu namamu?" Itu Zen. Dia segera meloloskan kata dari mulutnya, tepat setelah kalimat El dilontarkan. Hasilnya, perempuan berambut hijau yang diduga mempunyai nama Arify tersebut, hanya diam menyimak sembari masih menodongkan pistol miliknya.
Zen menghela nafas melihat respon yang amat sesuai dengan dugaannya.
"Pertama-tama, turunkan pistol milikmu. Kalau kau tahu siapa kami, apa aku bisa mengatakan bahwa kau juga tahu bagaimana sifat kami? Tentu kami tidak akan membekuk mu dan membalik keadaan ketika kau meletakkan pistol itu, bukan? Jadi sekarang—"
"Psikopat, Sosiopat, kepribadian ganda, gila kuasa. Apa itu dapat membuatku percaya pada perkataan kalian? Cih. Aku tak sebodoh yang kalian kira! Jangan remehkan aku!"
Terkejut, keempatnya lagi dan lagi saling pandang satu sama lain. Hingga kemudian secara bersamaan menggelengkan kepala dan menghela nafas panjang.
"Sial. Aku tak menduga sama sekali, ternyata gosip di sekolah kita amatlah mengerikan." gumam El tak habis pikir.
"Anu, sepertinya ada sedikit kesalahpahaman yang terjadi. Sebenarnya, kami sama sekali bukan orang yang seperti itu. Itu sepenuhnya berita yang mengada-ada dan hanya disimpulkan—"
"Hentikan bualanmu! Sudah ku katakan jangan meremehkanku!" Zen terlihat frustasi. Ia hendak kembali meyakinkan namun segera ditahan Myra. Gadis itu mengedipkan sebelah matanya dan berbisik kecil, 'Percayakan padaku.'
Pertama-tama, gadis berambut merah itu menetralkan pita suaranya. Tentu saja dengan berdeham. Kedua, gadis itu mulai menatap mata Arify telak. Ketiga, dia mulai berbicara.
"Begini, Kak Arify terhormat.." ucap Myra dengan senyum-nya yang melengkung sempurna, yang sampai-sampai membuat anggota lain geleng kepala. Merasa keputusan yang mereka ambil, salah besar.
"Myra, Myra, hentikan. Biarkan Zen yang bicara, kau diam dan amati saja." El mencoba menengahi, sayangnya tindakannya yang seperti itu justru di klaim meremehkan bakat oleh Myra. Ya, gadis itu mendengus sebal.
"Kau tak percaya pada bakat alamiah ku, El?" El menggeleng, dan detik itu juga, Myra meledak. Sial, seharusnya El tahu bahwasanya itu adalah pertanyaan dengan satu jawaban pasti.
"Baiklah. Taruhan, jika si Kakak Kelas ini tak kunjung menurunkan pistolnya setelah mendengar penjelasanku, kau boleh menjitak kepalaku sebanyak yang kau mau. Begitupun sebaliknya. Deal?"
"Deal."
Dan tepat setelah kesepakatan antara dua manusia itu di ambil dan disahkan, Myra, menghabiskan satu jam lebih dengan mulut nya yang tak henti berkomat-kamit. Gadis itu berusaha menjelaskan dengan berbagai metode, dari empat ayam yang difitnah mengambil jatah berkokok di pagi hari, hingga penjabaran terperinci yang disetiap kalimatnya minimal menggunakan satu kata teknis.
Itu sudah cukup membuat kaki-kaki temannya terasa mati rasa. El terus mengeluarkan peluh di dahi, walau udara angin malam yang sejuk sudah menyapu wajahnya berulang kali. Ia begitu sebab tak tahan dengan tatapan membunuh Zen dan Aeghys padanya.
Tak! "Tolong berhenti, aku sudah mengerti." Arify menyerah, di letakkan nya pistol itu di atas meja, diikuti dengan dirinya yang juga ikut duduk.
Myra tersenyum puas, raut wajahnya seperti seseorang yang telah amat beruntung mendapatkan lotre kapal pesiar. Bersorak lah ia, mengatakan 'yes' berulang kaliw sembari menarik tangannya sendiri.
***
"Jadi maksudmu, yang membantai seluruh manusia—ah, maksudku Zombie dan menjejerkan mereka di lapangan hanya satu orang?" Simpulan Zen diangguki mantap oleh Arify.
Hening menyelimuti, tak ada lagi yang berniat buka suara setelah apa yang baru saja Arify paparkan panjang lebar. Tentang sahabatnya yang dipenggal hidup-hidup di depan matanya, dan nyawanya yang hampir saja direnggut jikalau ia tak menyebutkan unsur-unsur kimia secara lengkap dan cepat.
Mereka berempat masih mencoba mencerna, sambil menerka-nerka siapakah orang yang telah dengan amat beringas nya membantai sesamanya sendiri.
"Ah tunggu." Aeghys menjeda perkataannya, mencoba terlebih dahulu mendapatkan seluruh atensi agar pendapatnya benar-benar di dengar. Dan benar saja, semuanya menoleh, menatap penasaran kearahnya.
"Apa kau yakin hanya satu orang? Dan dia terbang dari satu dinding ke dinding yang lain, demi menebas leher para Zombie itu?" Arify sekali lagi mengangguk.
"Ya! Aku melihatnya! Kau masih berpikir aku mengada-ada?! Camkan! Aku melihatnya dengan mata kepala—!"
"Cukup. Rambut Kuning hanya memastikan, dan kau tak perlu emosi. Hanya kata 'ya', yang ia perlukan. Selebihnya kau simpan di benakmu saja, buat jadi kenangan kalau perlu." potong El sebal. Sepertinya, ia sedikit tidak suka dengan sifat Kakak Kelas nya itu.
"Jelaskan lebih rinci."
Arify hendak kembali membantah, sebab ia merasa bahwa penjelasannya barusan sudahlah amat lengkap. Namun, niatnya urung ketika Aeghys menatap nya dengan penuh intimidasi.
"B-baiklah."
***
"Sampai kapan kita akan terus sembunyi disini, Fy?" Lagi, entah untuk yang keberapa kalinya temanku ini bertanya hal yang sama. Aku mendengus, tidak bisakah dia melihat situasi dan mendapat jawabannya sendiri?
"Aku pun tak tahu, tunggu saja." Suaraku menggema di bilik kamar mandi. Ah sial sekali, seharusnya kami berlari kearah kamar mandi perempuan, bukan laki-laki. Baunya benar-benar membuatku ingin pingsan. Semuanya berubah menjadi kacau sebab Charise yang panik berlebihan.
"Tujuh kali aku menanyakan hal yang sama, tujuh kali Fy, tujuh kali! Tapi jawabanmu tak pernah berubah sedikitpun. Bahkan intonasi nya!" Aku menutup kedua telinga, mencoba bersabar dengan ocehan Charise yang rasanya hampir membuatku mati.
Apa dia tidak sadar? Atau tidak akan sadar? Bukan hanya dia yang panik disini! Bukan hanya dia yang ketakutan disini! Aku juga! Aku juga mengalami hal yang sama! Dan kenapa dia malah melampiaskan miliknya kepadaku? Kenapa?!
Seharian penuh kami terjebak di toilet ini. Untung saja kami selalu memikul ransel yang penuh pasokan, itu membuat kami bisa bertahan tanpa rasa lapar yang hinggap sekalipun.
"Arify! Kau pura-pura tuli?! Jelaskan padaku! Kapan kita akan keluar dari sini?!" bentak Charise. Aku tahu, aku tahu pasti siapa itu Charise. Dia baik, dan itu salah satu alasan yang membuat ku menjalin persahabatan dengannya. Aku tahu seluk beluk sifatnya. Demikian pula dengan sifatnya yang sekarang ini. Dapat kutangkap jelas ketakutannya yang tersirat dalam getaran bentakan. Aku tahu dia ketakutan, aku tahu dia cemas, panik, dan tak tahu harus apa. Aku tahu, mentalnya tak sekuat mentalku. Tapi, Aku tak bisa menoleransi nya.
"Arify!"
Cukup. Belasan jam aku diam dan bersabar dengan segala omelannya, bukankah seharusnya sekarang ia sudah harus mengerti situasinya?
"Arify!"
Cukup! Berhenti memanggil namaku.
"Arify!"
"Cukup! Kubilang cukup! Kau tak dengar, hah?! Kau kira hanya kau yang menderita disini?! Aku juga! Kau pun tahu, kita terjebak didalam sini secara bersamaan. Kau pun tahu! Keadaan kita sama. Keadaan kita sama! Jika kau cemas, aku pun sama cemasnya. Jika kau takut, aku pula. Dan jika kau tak tahu harus apa, aku pun sama! Kita sama, Charise! Kita sama!"
Nafasku tersengal hebat, dadaku naik turun. Selesai sudah. Aku tak sanggup membendung semua kesesakan itu. Dan kini, rasa bersalah menghampiri. Itu tiba ketika mulai terdengar isakan kecil dari bilik samping kanan ku.
"Maafkan aku, aku tak bermaksud membentakmu. Pikiranku benar-benar keruh sekarang, maaf." Satu-satunya cara agar hatiku tenang dan tidak tercipta kaca kecanggungan di antara kami, adalah meminta maaf. Dan hampir semuanya aku yang melakukan.
"Tak apa, terimakasih." Aku mengerutkan kening. Terimakasih? Apa maksudnya?
"Terimakasih sudah mau menyadarkanku. Ah, aku benar-benar bodoh dan menjengkelkan ya? Maaf-maaf, haha." Tanpa sadar, aku menarik garis pada bibirku.
"Ya, kau sangat bodoh dan menjengkelkan. Bahkan jika kita satu bilik, mungkin aku telah meninggalkan bekas telapak tanganku di pipimu." Charise tertawa kecil. Menyadari keadaan diantara kami yang semakin membaik, kami pun terus melemparkan gurauan-gurauan kecil yang walau garing, namun tetap kami paksakan untuk tertawa.
"Arify, kau tahu? Aku benar-benar mempercayaimu."
"Tiba-tiba? Disaat seperti ini? Kau dapat lelucon baru itu darimana, hah? Benar-benar flat, haha!"
"Cih, aku tak sedang melucu! Itu satu-satunya alasan mengapa aku terus membuatmu jengkel saat di toilet ini. Aku begitu mempercayaimu, hingga kepercayaan itu membodohi diriku sendiri. Aku bahkan percaya jika kau mengatakan nyawa kita ada sembilan."
Aku tak mampu menahan tawaku, pecah seketika saat Charise selesai menuntaskan kalimatnya. Benar-benar.. sahabatku yang satu ini..
"Arify." Aku berdehem, menjawab panggilannya.
"Apa kau akan selalu melindungi ku? Bahkan dalam keadaan terdesak sekalipun?" Aku mengernyitkan dahi. Tiba-tiba? Namun kemudian aku segera mengangguk mantap.
"Hei! Jawab aku!" tagih Charise. Aku tertawa terbahak-bahak, bodohnya aku melupakan fakta bahwa kami berbeda ruangan.
"Tentu saja. Aku akan menjadi benteng yang kuat untuk sang Putri. Ah tapi, berhubung kita hanya sebatas sahabat. Maka jika dalam keadaan terdesak dan aku diharuskan memilih antara nyawa atau dirimu, aku tentu memilih nyawaku."
"Kau serius?"
"Tidak, aku hanya bercanda. Tentu saja aku akan selalu melindungi mu dalam keadaan apapun. Kau tahu aku kuat kan?"
"Berani berjanji?"
"Janji."
"Hei, Arify. Kau mendengarnya?"
"Apa?"
"Suara teriakan, kau dengar?"
Aku tak menjawab, sibuk menajamkan pendengaranku sendiri demi mendapat apa yang Charise sebutkan tadi. Nihil, aku menggelengkan kepala. Ah, aku menepuk dahi. Lupa lagi.
"Tidak, aku tak mendengar apapun."
"Kau yakin?"
Tak yakin sebenarnya, maka dari itu aku lagi-lagi tak menyahuti pertanyaannya. Ku tajamkan pendengaranku, dan dapat! Walaupun suaranya tersamarkan oleh raungan para Zombie di lapangan sana, namun jeritan itu tetap terdengar.
"Ya! Aku mendengarnya!" Sorakku.
"Kita keluar sekarang! Dia sepertinya membutuhkan bantuan! Kita harus menyelamatkannya!" Aku baru saja hendak menentang ide buruk Charise, tapi ternyata aku kalah cepat. Gadis itu telah keluar dari bilik persembunyiannya, berlari cepat meninggalkan toilet.
Terpaksa, aku mau tak mau menyusulnya.
Dan setibanya aku di pelataran, ku lihat Charise yang berdiri mematung entah menatap apa. Aku mengikuti kemana arah tatapannya, dan disana terlihat seseorang dengan pakaian dan wajah yang telah terlumur darah.
Begitu beringas membantai satu-persatu Zombie yang ada. Lempengan besi yang tajam itu tak henti memotong leher, dan ia sendiri tak berhenti meraung kesetanan. Matanya hitam gelap, dapat ku lihat gigi nya yang mengeras kuat.
Aku menatap Charise, gadis itu tetap setia mematung ditempatnya. Tak bergerak satu senti pun dari posisinya yang tadi.
Bahaya. Kami bisa saja 'tidak sengaja' ikut terbantai jika tetap disini. Sebab yang kami lihat sedang terbang kesana-kemari, dan terus mengayunkan pedangnya, bukanlah manusia. Melainkan iblis.
Kemana? Kemana?! Mataku memindai sekitar dengan cepat dan cermat. Tak satu sudutpun yang terlewatkan. Hingga suatu ide cemerlang hinggap di kepalaku secara cuma-cuma, ini adalah kesempatan emas!
Aku segera berlari menghampiri Charise, memegang tangannya erat dan mencoba menarik nya untuk mengikuti ku. Namun, Charise tak bergeming. Ia seperti benar-benar terkejut atas apa yang ia pandang.
"Charise! Charise! Sadarlah! Kita harus segera pergi dari sini!" Sia-sia, Charise masih tak hirau. Ia layaknya tuna netra yang juga tuna rungu.
"Charise Boyland!" Berhasil. Charise berkedip, ia kemudian menatapku keheranan. Namun aku tak sempat menjelaskan, si Penjagal sudah hampir menyelesaikan misinya. Di lapangan itu, kini tinggal beberapa Zombie yang tersisa.
Aku tanpa aba-aba segera menarik tangan Charise, kami berlari di pinggir lapangan menuju sisi lain sekolahan. Rencanaku adalah segera keluar dari sekolah neraka ini secepat mungkin.
Nahas, si Penjagal telah berdiri menghalang jalan kami.
—BERSAMBUNG— 22.00 — 04-04-2021 —