9 Chapter 8

~Author POV On~

"Hm…" Andrew bergumam rendah. Ia menatap daun kering di hadapannya dengan berbagai macam tatapan. "Hmmm….." Ia kembali bergumam rendah. Namun kali ini, ia juga memasang pose berpikir.

"Gimana caranya ya?" Ia berjongkok sembari terus menatap daun kering itu. "Ah! Mungkin begini." Setelah mendapatkan ide, dengan cepat ia bangkit dari posisi berjongkoknya.

"Ehem." Ia berdeham sejenak sebelum mengarahkan kedua tangannya pada daun itu. "Dengan kekuatan bulan, aku memerintahkanmu untuk bergerak." Ujarnya lantang.

"Hmm… Kok gak gerak ya?" Andrew kembali memasang pose berpikirnya. "Ah. Apa karena ini masih pagi ya, jadi tidak ada bulan? Hmm… kalau begitu-"

"Dengan kekuatan matahari aku memerintahkan kau untuk bergerak..!!" Teriaknya lantang.

Dan bukannya bergerak karena di gerakkan oleh Andrew. Daun itu malah kabur terbawa angin bersamaan dengan suara burung gagak yang tiba tiba lewat di atas, seakan mengejek kegagalannya.

"AKKKK…..!!! Sial…!!!" Andrew menggaruk kepalanya frustasi. "Bagaimana cara aku menggerakkan benda..??!!!" 

"Expecto patronom..!!"

"Simsalabimm…!!"

"Abracadabra…!!"

"Pim pim pom…!!!"

"AAKKKKK…!!!"

*In Other Side's*

"Hm?"

-

"Iya, Anda benar. Keadaan rumah akhir akhir ini sangat ramai."

-

"Anda benar. Menjadi sangat hidup dan lebih hidup dari pada sebelumnya. Walaupun, Lady tidak mau mengakuinya dan tampak tidak peduli tapi-"

-

"Iya. Lady Olivia pasti menikmati suasana yang hidup ini."

-

"Kenapa Anda bisa berpikir seperti itu?"

-

"Semoga, firasat buruk Anda tidak terjadi tuan."

-

*Back To Andrew Side's*

Andrew terus berteriak heboh. Entah itu meneriakkan jurus jurus aneh. Mantra mantra tidak jelas. Atau sekedar berteriak frustasi karena tidak ada satupun dari jurus dan mantra yang diucapkannya berhasil.

Brakkk…

Suara pintu yang terbuka dengan keras membuat sosok arwah penasaran itu terlonjak kaget. Ia membalikkan tubuhnya cepat dan menemukan wanita itu sedang tertunduk sembari mengatur nafasnya.

"Berisik." Ujar wanita itu, Olivia, sembari menatap Andrew tajam.

"Ehehehe…" Andrew menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dengan cepat, ia segera mendekati Olivia. "Aku hanya sedang belajar cara menggerakkan benda. Kau tau, aku ini sedang belajar untuk menjadi hantu yang baik." Jelasnya.

"Aku tidak peduli." Balas Olivia sarkas, hingga membuat sosok arwah penasaran itu tersentak kaget karena balasan yang di dapatkannya tidak mengenakkan.

Andrew yang mendapat balasan yang tidak terduga itu langsung menutup mulutnya rapat rapat. Ia memang sudah biasa mendapat balasan cuek dan dingin dari Olivia. Tapi untuk pertama kalinya, wanita itu membalasnya begitu. Sejujurnya, ia merasa sakit hati sekarang. Tapi ia tau, wanita itu pasti tidak akan peduli dengan perasaannya.

Olivia kembali menegakkan tubuhnya. Ia menatap Andrew sejenak sebelum membalikkan tubuhnya dan mulai berjalan menuju ke ruangan bawah tanahnya. Lebih tepatnya di laboratorium pribadinya.

~Skip~

"Kali ini, mayat siapa yang kau gunakan?" Tanya Andrew sembari mengamati mayat yang ada di depannya. Merasa tidak ada jawaban, ia menatap ke arah Olivia yang sedang menatap monitor dengan tatapan kosong. 

Andrew berjalan mendekat dan menggoyang goyangkan tangannya di depan Olivia. "Olivia. Apa kau mendengarku?" Tanyanya sembari terus menggoyangkan tangannya. Karena masih tidak merespon, ia menarik nafasnya panjang. "Olivia!" Teriaknya keras.

Olivia yang diteriakki begitu sedikit tersentak kaget. Dengan cepat, ia segera menolehkan kepalanya ke arah Andrew berteriak. 

Olivia terdiam dengan datar. Andrew juga terdiam dengan semburat merah yang mulai memenuhi wajahnya. Mereka sama sama terkejut karena jarak antar wajah mereka sangat dekat. Bahkan hidung mereka saling bersentuhan. Walaupun, lebih tepat dikatakan kalau hidung Olivia menembus hidung Andrew.

"Apa?" Tanya Olivia datar tanpa memalingkan wajahnya ataupun menjauhkan wajahnya dari Andrew.

"Ka- kau melamun." Cepat cepat, Andrew memalingkan wajahnya yang semakin memerah. Ia segera beringsut menjauh dari Olivia dan lebih memilih mendekati mayat itu. "Ka- kau tidak menjawab pertanyaanku barusan." Lanjutnya.

"Ah. Maaf." Ujar Olivia sembari kembali berkutat dengan tab dan peralatan medisnya.

Andrew kembali terdiam. Bukannya apa apa, masalahnya baru pertama kali ini dia mendengar kata 'maaf' dari mulut Olivia. Kan, kaget.

"Jadi apa yang ingin kau tanyakan?" Tanya Olivia sembari mendekati mayat itu dan memasangkan beberapa kabel di tubuhnya.

"Eh? Oh." Andrew menatap Olivia sejenak sebelum kembali menatap ke arah mayat itu. "Siapa dia?" Tanyanya.

"Namanya Ares Georgie. Usia 25 tahun. Penyebab kematiannya adalah gagal jantung." Jawab Olivia.

"Ohh…" Andrew mengangguk mengerti. "Rambutnya indah." Ujarnya sembari menyentuhkan jemarinya pada surai mayat itu, walaupun bukannya tersentuh malah menembus.

"Kombinasi lemak sapi, minyak jarak, lilin lebah, getah pinus, dan minyak pistachio aromatic, yang membuatnya bisa bertahan seperti itu." Jelas Olivia.

"Untuk tubuhnya?" Tanya Andrew kembali.

"Untuk apa kau bertanya hal itu?" Olivia menaikkan sebelah alisnya.

Andrew menggedikkan bahunya ringan. "Hanya ingin tau. Tidak ada alasan khusus." Ujarnya santai.

"Garam, ekstrak tumbuhan, minyak, resin, dan berbagai macam bahan lain yang tidak akan kau ketahui." Olivia menggedikkan dagunya ke arah kaki mayat itu. Mengkode Andrew agar bersiap di posisinya.

Andrew menganggukkan kepalanya. "Apa kau selalu menggunakan metode yang sama untuk setiap mayat?" Tanyanya saat sudah sampai di tempat yang di tunjuk oleh Olivia.

"Tidak." Jawab Olivia singkat sembari memposisikan dirinya di depan Andrew. "Oh iya." Ia menggantungkan tangannya di udara.

"Hm?" Andrew memiringkan kepalanya dan menatap Olivia bingung.

"Kalau kau ingin menyentuh sesuatu, cukup fokuskan saja pikiranmu dengan apa yang akan kau sentuh. Seperti-" Olivia menyentuh dahi Andrew santai. "-ini. Dan berhentilah, meneriakkan kata kata tidak jelas." Lanjutnya.

"Kau- kau bisa menyentuhku?" Andrew menatap Olivia tidak percaya.

"Sedari awal, aku memang bisa menyentuhmu. Kau saja yang tidak menyadarinya."

"Ja- jadi, aku juga bisa menyentuhmu?" Andrew menatap Olivia penuh harap. "Bo- bolehkah aku menyentuhmu?" Tanyanya.

Olivia menatap Andrew datar. Ia menghela nafas sejenak sebelum mengulurkan tangannya tepat di depan arwah penasaran itu. "Sentuhlah." Ujarnya singkat, jelas, dan padat.

Andrew yang sebelumnya menatap langsung ke arah Olivia, kali ini ia mengalihkan pandangannya menuju ke tangan wanita itu. Dengan kedua tangan yang bergetar, ia mencoba untuk menyentuh tangan itu. Setelah berada di jarak yang cukup dekat, ia menarik nafasnya sejenak. Ia memejamkan kedua matanya dan-

Tap..

Andrew membuka kedua matanya cepat bersamaan dengan melepaskan nafas yang sempat ia tahan tadi. "A- aku menyentuhmu." Ia menatap Olivia dengan mata berbinar binar layaknya anak kecil yang baru saja menunjukkan pencapaiannya pada ibunya. "A- aku berhasil menyentuhmu." Ulangnya sembari menggenggam tangan Olivia dengan kedua tangannya.

"Olivia, aku berhasil menyentuh tanganmu." Ujarnya dengan senyuman lebar miliknya. "Tanganmu hangat. Sangat hangat." Ia membawa tangan wanita itu pada sebelah pipinya.

"Sangat hangat dan nyaman." Ia tersenyum tulus hingga membuat kedua matanya ikut tersenyum.

"Dan tanganmu sangat dingin." Balas Olivia datar. Ia balik menggenggam tangan Andrew yang memegang tangannya. "Berhenti menyentuh tanganku." Ujarnya.

Andrew mengangguk. Ia melepas tangan Olivia dari genggamannya. "Terima kasih." Ujarnya.

Olivia menaikkan sebelah alisnya sejenak. "Ada kata kata terakhir?" Tanyanya datar.

Andrew tersenyum hangat. "Aku menyukai tanganmu yang hangat." Ujarnya.

Olivia terdiam sejenak. Ia mendesah lelah sejenak sebelum mendorong tubuh Andrew, hingga membuat dirinya terjatuh memasuki tubuh mayat itu.

Ia segera berjalan cepat dan mengambil alat pemacu jantung. Dia mengatur kekuatan alat pacu itu sejenak sebelum mengarahkannya pada tubuh mayat itu. "Hiduplah." Ujarnya sembari meletakkan alat pacu jantung itu di tubuh mayat itu.

Jdakk...

Duaarr...

Brakkk...

Tubuh Olivia terlempar hingga menabrak keras lemari besi di belakangnya. "Ugh." Ia menatap ke arah alat pacu jantung nya yang meledak dan sekarang mengeluarkan asap. "Shit." Umpatnya sembari memperhatikan mayat laki laki itu yang tidak bergerak sama sekali.

Ia menghela nafas panjang. "Kegagalan kah." Ia membenarkan posisi bersandar pada lemari besi itu. "Ini sudah cukup. Kembalilah, Andy." Ujarnya lirih sebelum terjatuh lemas.

Tak lama setelah Olivia mengatakan hal itu, sosok arwah penasaran itu segera keluar dari raga mayat itu. "Gagal lagi kah? Hey, Olivia penyebab kegagalan apa lagi in-" Ucapannya terhenti saat melihat wanita itu tampak lemas. "Olivia??" Ia segera mendekati tubuh wanita itu.

"Hey Olivia, apa yang terjadi denganmu?!" Tanyanya panic sembari sedikit mengangkat tubuh Olivia agar menghadapnya. "Apa- apa yang terjadi denganmu? Apa kau luka? Mana yang sakit?" Tanyanya bertubi tubi.

"Berisik." Gumam Olivia lirih.

"Apa yang terjadi denganmu?? Kau sakit???" Andrew menyentuhkan telapak tangannya pada dahi Olivia.

"Aku-" Olivia memegang tangan Andrew dan menurunkannya dari dahinya. "Baik baik saja. Aku, hanya butuh sendirian." Ujarnya.

~Skip~

"Kamu sudah bekerja sangat keras." 

Karena mendengar suara seseorang, Olivia memaksa dirinya untuk membuka kedua matanya. "Ugh~" Dia mengerjapkan kedua matanya perlahan. 

"Kamu terlalu memaksakan dirimu. Kamu harus lebih memperhatikan kesehatanmu, Olive." Sosok itu mendekati ranjang Olivia. Ia menaikkan selimut yang di kenakan oleh wanita itu hingga sebatas leher. "Lihat, kau jadi demam." Ia mengelus pelan sebelah pipi wanita itu.

Olivia memiringkan kepalanya, sehingga semakin menempelkan pipinya dengan tangan sosok itu. "Aku baik baik saja." Ujarnya pelan.

"Pembohong." Sosok itu tersenyum lembut. "Tidurlah. Aku akan tetap di sini sampai kau tertidur." Ujarnya setelah mencium kening Olivia pelan.

Olivia mengangguk. Dengan perlahan, ia mulai memejamkan kedua matanya dan terlelap ke alam mimpi. 

"Aku menyayangimu, Olive." Sosok itu kembali mencium kening Olivia dengan lembut dan lebih lama dari sebelumnya.

~Skip~

"Percobaan kali ini gagal lagi." Andrew menghela nafasnya panjang. "Bahkan sebelum aku bangkit, sudah gagal." Ia menatap ke arah rerumputan yang di pijaknya.

"Olivia, juga sudah sangat bekerja keras." Ia kembali mendesah lelah. "Dia benar benar memaksakan dirinya. Dia benar benar membuatku tidak tega." Ujarnya sembari menggosok tengkuknya.

"Hey..! Apa kau tau..??" Suara seorang gadis yang sedang berjalan bersama temannya mengalihkan perhatian Andrew. "Ini soal Amy." Arwah penasaran itu langsung memutar kepala cepat, menatap ke arah kedua gadis itu.

"Ada apa? Ada apa dengan, Amy?" Tanya teman gadis itu.

"Ku dengar, Amy belum pulang ke rumahnya sejak kemarin-"

"APA?!"

"APA?!"

Andrew dan teman gadis itu sama memberikan respon yang sama pada gadis pertama. Mereka sama sama tidak bisa menyembunyikan wajah terkejutnya. Terutama, Andrew.

"Ku dengar kemarin ia pergi dengan seorang laki laki. Dan sampai sekarang ia belum pulang." Gadis pertama itu menggenggam tali tasnya resah. "Kumohon, Tuhan. Lindungilah Amy." Ujarnya.

Setelah mendengar hal itu, Andrew segera melesat menuju ke bangku tempat ia biasa bertemu dengan Amy. Dan benar saja, bangku itu kosong. Namun, tidak benar benar kosong.

"Shit!" Umpat Andrew saat melihat sebuah kertas yang tertempel pada bangku itu. Dengan penuh amarah, ia ambil kertas itu dan segera melesat kembali ke rumah Olivia.

~Skip~

"Olivia..!!" Andrew berteriak keras saat ia memasuki kamar Olivia. "Olivia, tolong aku." Ia berjalan cepat mendekati ranjang king size itu.

"Olivia." Ia menyentuhkan sebelah tangannya pada sebelah pipi Olivia. "Kumohon, tolong aku." Ujarnya sembari menepuk nepuk pelan pipi berwarna putih pucat itu.

"Ugh… Carla…" Secara tiba tiba, Olivia menggenggam tangan Andrew yang ada di pipinya. Dan secara tidak sadar, ia semakin menekankan tangan arwah penasaran itu pada pipinya. "Kumohon… Biarkan aku beristirahat… Aku janji akan segera sembuh, Carla…" Igaunya.

"U- Uh~" Semburat merah memenuhi pipi Andrew. "A- aku Andrew. Bu- bukan orang yang kau panggil, Carla." Ujarnya sembari menarik tangannya hingga terlepas dari genggaman Olivia.

Karena gerakan tarikkan itu, membuat Olivia terkejut. Ia segera membuka kedua matanya dan mendapati Andrew sedang duduk di tepi ranjangnya dengan wajah memerah.

"Ada apa And-"

"Aku bukan Carla." Potong Andrew cepat.

Olivia yang mendengar perkataan Andrew terdiam sejenak. Ia menghela nafas panjangnya sejenak sebelum bangkit dari posisi tidurannya. "Maaf aku mengigau. Abaikan igauanku tadi." Ia menyugar surai blondenya. "Ada apa?" Tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur.

"Ma- maafkan aku karena telah mengganggu waktu istirahatmu. Tapi, hanya kau yang dapat membantuku saat ini." Andrew menatap Olivia serius.

"Ada apa?" Tanya Olivia kembali.

"Amy- Amy di culik." Andrew menunjukkan kertas berisi pesan dari sang penculik itu pada Olivia. "Kumohon- kumohon bantu aku." Ia menggenggam sebelah tangan Olivia dengan kedua tangannya.

"Olivia?" Ia menatap Olivia bingung karena merasa tidak mendapat tanggapan dari wanita itu. "O- Olivia??" Ia bergidik ngeri saat menyadari perubahan aura pada wanita di hadapannya itu.

"Well, sepertinya kita akan mendapatkan boneka baru."

To Be Continued

avataravatar
次の章へ