webnovel

WITCH'S LOVE

-Selesai- Sebuah pertemuan yang tidak pernah diduga terjadi, Amara Iris, seorang Penyihir yang terjebak selama ratusan tahun di rawa kematian bertemu dengan Thomas Phyla, Pangeran dari Kerajaan Megalima yang terbuang dari tahta dan dikutuk oleh Penyihir Putih. Iris awalnya hanya memanfaatkan Thomas agar bisa keluar dari rawa kematian, tapi melihat penderitaan Thomas dengan kutukannya, ia bertekad untuk membantu sang Pangeran untuk mematahkan kutukan Penyihir Putih dan mempertahankan laki-laki itu di sisinya sebagai Pasangan jiwa. Karena kutukan Penyihir Putih, Thomas selalu berjalan mendekati kematian, ia sekarat dan berkali-kali hampir mati. Keadaan menjadi kacau dengan kemunculan Morgan Lloyd, manusia serigala yang diyakini telah membantai packnya, laki-laki itu dengan seenaknya menjadikan Iris sebagai pasangan sehidup sematinya, membuat Iris kebingungan. Apa yang akan dilakukan oleh Iris? Akankah ia tetap bersama Thomas sampai akhir dan membantunya mematahkan kutukan dari Penyihir putih atau pergi bersama Morgan sebagai kekasih dari sang serigala? "Selama kita terhubung, kamu adalah milikku!" Iris. "Apa pun yang terjadi aku tidak akan pergi darimu." Thomas. "Kita harus bersama, kau adalah pasanganku, jangan melirik laki-laki lain!" Morgan. Pilihan manakah yang akan Iris pilih? Petualangan penuh pengorbanan, kehangatan, keromantisan dan pertumpahan darah segera dimulai! Ig : Winart12

Winart12 · ファンタジー
レビュー数が足りません
517 Chs

Pemburuan Malam 1

"Dia penyihir."

Iris mengepalkan kedua tangannya, ia berdiri mematung di depan pintu.

"Aku tahu." Thomas kembali bergumam, suara langkah kaki kecil mendarat di lantai. "Aku percaya padanya."

Alita mengerang, ia menggumamkan beberapa kalimat protes, suara derap sepatu dan langkah Thomas mendekat, Iris segera membuka pintu kamar dengan sedikit kasar.

"Tomy, ayo pergi makan daging!" Iris berseru riang, bersikap seolah ia tidak mendengar apa pun.

Thomas mengangguk pelan, ia hendak menyambut uluran tangan Iris sebelum Alita segera menangkap tangannya.

Iris melotot kepada gadis vampir itu, ia benar-benar membenci Alita sekarang. Thomas menarik tangannya, ia masih tidak terbiasa dengan dinginnya tangan seorang vampir, lagipula ia tidak suka diperlakukan seperti anak kecil.

"Ayo."

Thomas berjalan lebih dulu, ia membiarkan dua wanita beda ras itu berjalan berdampingan dengan raut wajah yang aneh. Ia melihat Morgan yang sedang memanggang daging bersama para kurcaci, langsung ikut duduk di dekat manusia serigala itu.

Iris menyipitkan matanya ke arah Alita, ia duduk tepat di belakang Morgan dan Thomas, sikapnya seolah menandakan kalau dua laki-laki itu adalah miliknya.

Putri Salju tidak peduli dengan tatapan setajam silet yang dikeluarkan Iris, ia duduk diantara mereka berdua sambil memegang semangkuk sup buah, Si datang sambil membawa ukulele, ia duduk di atas batu dan mulai memainkannya.

Putri Salju bernyanyi dengan suara lembutnya, Do bertepuk tangan diikuti kurcaci yang lain, suasana malam yang dingin menjadi hangat dan bersahabat, membuat Iris merasa nyaman.

Iris mendongak menatap langit, bintang bertaburan memenuhi langit yang gelap, ia menyipitkan matanya melihat burung gagak berputat-putar di langit.

"Hei bocah, kau harus makan lebih banyak sebelum mati." Morgan menyindir Thomas sambil memamerkan daging yang sudah matang di depan wajah bocah itu.

Thomas mengambil daging itu dan mendengus, sang manusia serigala terkekeh pelan.

Iris mengambil irisan apel yang diserahkan oleh Mi kepadanya, ia memakannya dengan pelan, sesekali ia melirik Alita, gadis vampir itu hanya duduk dengan mata sayu, ia terlihat bosan.

"Aku ingin tidur dulu." Alita berdiri, kurcaci bertopi biru mengambil tangannya dan menunjukkan kamar tempat Alita beristirahat.

Iris meletakkan piring yang berisi irisan apel ke tangan Putri Salju, ia berdiri dan mengikuti Alita, wajahnya terlihat gusar.

Morgan dan Thomas saling pandang, dua laki-laki itu kembali memakan daging dengan lahap, Putri Salju yang duduk anggun itu menyentuh apel yang ada di tangannya, ia tersenyum samar.

Alita sampai di kamarnya, terletak paling ujung dari kamar yang di tempati Thomas, ruangan itu tidak luas, hanya dua kali dua meter, ada sebuah ranjang beralaskan kain putih dan bantal serta sebuah meja kecil.

Pintu terbuka dan menampilkan sosok Iris, Alita mendongak dan mengangkat alisnya. "Ada apa?"

Iris duduk di kasur kecil itu sambil bersedekap, ia menatap tajam Alita. "Kau yang membuat Litzy berputar-putar di luar?"

Sesaat setelah Iris bangun, ia menyuruh Litzy agar memantau keadaan, ia tidak khawatir jika peliharaannya itu tidak kembali, namun ketika ia melihat Litzy berputar-putar di langit dengan bingung ia sadar sesuatu yang tidak beres.

"Ya, itu aku." Alita melepas sepatunya dan mendudukkan dirinya di kasur. "Aku harus berjaga-jaga agar mereka tidak merasakan keberadaan desa ini."

Iris menoleh, ia paham mereka yang dimaksud Alita, itu adalah Pangeran Andreas dan rombongannya.

"Aku hanya ingin bersama Thomas, tolong jangan salah paham." Alita bersandar di dinding, Iris mendengus, ia berdiri dan merapikan rambutnya.

"Kekuatanku adalah penyembunyian ruang, kita aman selama semalam. Kecuali … penyihir putih yang datang."

"Terserah. Besok kami harus segera pergi dari sini, kau ikut atau tidak bukan masalah besar."

"Aku ikut." Alita mengusap rambutnya yang pendek, ia tersenyum, matanya melirik jendela yang belum di tutup tirainya, dari kejauhan titik-titik cahaya terlihat, senyumannya langsung memudar.

Iris tidak berkata apa-apa lagi, berbicara lebih lama bersama Alita membuat ia emosi, dengan cepat ia melangkah keluar dari kamar si gadis vampir itu, ia mengusap lengannya yang dingin.

Iris berjalan keluar rumah, ia melihat ke langit, Litzy terbang berputar-putar semakin cepat dan menukik turun naik, ia merasakan firasat buruk.

"Iris!" Alita datang dari kamarnya dengan tersenggal, gadis vampir yang baru saja ditinggalkannya itu raut wajahnya berubah sepucat mayat.

"Ada apa?"

"Penyihir putih, aku merasakan dia mendekat kemari."

Iris mematung dengan mata terbelalak kaget, bibirnya menjadi kaku segera, itu berarti Pangeran Andreas telah memanggilnya untuk menemukan Thomas.

"Kita harus segera pergi!" Iris berseru, Alita mengangguk dengan cepat, dua wanita itu segera menuju halaman tempat mereka membakar daging tadi.

"Kita harus segera pergi dari sini!" Iris menarik tangan Thomas, bocah itu menjatuhkan gelasnya ke tanah karena kaget.

Morgan berdiri dan memegang bahu Iris, ia memperhatikan wajah gusar sang penyihir. "Apa yang terjadi?"

Iris hendak membuka mulutnya, sebelum Alita berseru dengan panik. "Dia akan segera datang, penyihir putih!"

Putri Salju menjatuhkan apelnya, ia menatap tajam ke arah langit, cahaya merah muda masih melingkupi desa ini, ia melirik Alita dengan sinis.

"Kalian harus pergi dengan segera."

Do dan beberapa kurcaci lain membawa kuda Morgan dan Iris, Morgan naik ke kuda diikuti oleh Iris sedangkan Thomas bersama Alita. Iris menatap Putri Salju, sang putri legenda itu dengan tegas menunjuk ke arah berlawanan.

"Apa kalian akan baik-baik saja?" Thomas bertanya dengan khawatir.

"Mereka tidak ada urusan dengan kami lagi, itu kamu …."

Putri Salju diam tak melanjutkan kata-katanya, ia melirik Iris, sang penyihir itu membulatkan matanya dan mengangguk. Morgan memacu kuda, begitu pula dengan Alita, Iris kembali menatap wajah Putri Salju yang berada jauh di belakang mereka, ia dapat melihat mulut sang putri legenda membentuk kata-kata.

Kuda mereka melesat kencang, Iris mengeluarkan sihirnya, aroma mawar pekat menguar menyembunyikan bau mereka, Litzy terbang mengikuti mereka. Alita memacu kudanya di belakang Morgan, ia berusaha menyembunyikan keberadaan mereka dengan kekuatannya.

Iris menelan ludah, mereka menembus pekatnya malam yang berkabut, hawa dingin menusuk sampai ke tulang, dadanya berdebar dengan kencang, ia benar-benar tidak siap jika harus bertemu penyihir putih sekarang, kekuatannya tidak sebanding jika dibandingkan ia bertemu Sarah.

Penyihir putih adalah penyihir yang kekuatannya di atas segala-galanya, ia tidak bisa menghadapinya sekarang. Iris pasti akan kalah.

"Tenang, kita akan baik-baik saja." Morgan yang sedang memacu kudanya bersuara, seolah mengerti kegelisahan sang penyihir, Iris di belakang Morgan mengeratkan pelukannya dan mengangguk pelan, ia menyandarkan kepalanya di punggung laki-laki itu dan merasakan denyut jantungnya.

Iris menarik napas panjang, ia merasa tenang seketika.