webnovel

Prolog

Ada dua kata yang bertengger di dalam kepalaku; bagaimana jika. Dua kata itu sering muncul di segala situasi di dalam hidupku. Seperti, pada saat aku sedang memilah-milih pakaian di Nordstrom bersama Mom, saat aku sedang berjemur di pantai, atau saat aku sedang merasa bosan di dalam kelas ketika guru sedang menerangkan—aku akan mengalihkan perhatianku ke luar jendela, bahkan di saat aku sedang melakukan perenggangan otot di kelas pemandu sorak sekalipun. Aku akan melontarkan pertanyaan pada diriku sendiri. Bagaimana jika.

Bagaimana jika semua aturan Mom kulanggar. Bagaimana jika aku sudah belajar semalam suntuk tapi masih mendapatkan nilai jeblok untuk semua mata pelajaran di akhir semester. Bagaimana jika ternyata gerakan routine-ku tadi itu buruk sekali. Bagaimana jika Candice memakai rok pendek yang sama denganku. Bagaimana jika si kapten football itu nyatanya tidak begitu brengsek. Bagaimana jika kuterima saja ajakan kencan dari Morgan. Bagaimana jika aku, bagaimana jika dia, bagaimana jika ternyata, bagaimana jika…. Dan terkadang pertanyaan-pertanyaan itu membuatku gelisah.

Tapi tak ada yang lebih membuatku resah daripada setelah aku bertemu dengannya. Duniaku tiba-tiba saja terpusat padanya. Darahku selalu berdesir setiap kali aku ada di dekatnya. Tidak pernah ada yang membuat duniaku jungkir balik dengan hanya satu tatapan mata melainkan darinya. Permainan ‘bagaimana jika' yang kumainkan di dalam kepalaku semakin intens semenjak dirinya masuk ke dalam kehidupanku.

Bagaimana jika dia…

Dari banyak sekali pertanyaan, ada satu yang selalu menganggu pikiranku, yaitu;

Bagaimana jika suatu hari nanti dia pergi meninggalkanku?

Mike selalu membuatku khawatir, dari sejak pertama aku mengenalnya sampai kami berpacaran. Kau mungkin mengerti bagaimana rasanya jatuh cinta untuk yang pertama kali. Merasakan cinta yang garang dan memabukkan sehingga rasa waswas dan takut kehilangan sering sekali mengusik ketenangan.

Aku tidak menyangka pertanyaan itu menjadi kenyataan setelah kukira semua mimpiku telah terwujud; cita-cita, sebuah hubungan yang kuinginkan bersamanya, setelah kami tinggal bersama. Nyatanya semua pencapaian itu hanya sebagai titik awal menuju ke kehidupan lain yang tak pernah kubayangkan sama sekali sebelumnya.

Pertanyaan ‘bagaimana jika’ di dalam kepalaku akhirnya menghantamku tepat di depan wajah. Mike benar-benar pergi meninggalkanku.

Hidupku hancur dan kehilangan makna. Setelah kepergiannya, dengan susah payah aku berusaha keluar dari kehancuran dan penderitaan. Aku terbang ribuan miles dari rumah, mencoba untuk berpaling dari masa lalu dan memulai kembali sebuah kehidupan yang baru.

Tapi semua usaha yang telah kulakukan selama ini rasanya seperti sia-sia saja saat kulihat kembali sosoknya di hadapanku. Tiga tahun kemudian.

Dua kata itu kembali menyelinap masuk; bagaimana jika. Dan kali ini, saat kedua mata cokelat itu menatapku dengan tatapan rindu, saat senyuman yang menghantui hari-hariku selama ini terpampang kembali di wajahnya, pertanyaan itu pun muncul;

Bagaimana jika aku tidak mampu lagi menatap hari esok setelah melihatnya malam ini?

次の章へ