webnovel

Bulan Putih

Pagi hari setelah Andi ditemukan di halte beberapa hari yang lalu, Nara masih di sana, di dalam sebuah kamar rawat di rumah sakit tempat ayahnya dirawat. Duduk di sebuah kursi di samping ranjang ayahnya. Enggan untuk meninggalkan keluarga satu-satunya.

Pria itu menatap Nara, tapi bukan tatapan dingin seperti biasanya. Namun kali ini ia menatapnya lembut. Selayaknya seorang ayah kepada anaknya.

Anak itu menunduk, menatap sendu tangannya yang disimpan di sisi ranjang. Jika memang semua kasus pembunuhan yang selama beberapa minggu belakangan ini terjadi berhubungan dengannya, ia ingin itu semua cepat terselesaikan. Jika hal tersebut sampai melibatkan ayahnya seperti ini, ia ingin ini cepat berakhir. Ia tidak ingin kehilangan siapa-siapa lagi. Ibunya sudah tiada, Dimas pun belum siuman karena kecelakaan, dan sekarang ayahnya. Nara ingin menangis sebenarnya. Apa salahnya hingga nasibnya seperti ini? Siapa yang harus ia salahkan?

Tangan ayahnya yang tidak terluka meraih tangan anaknya, kemudian menggenggamnya. Yah, untung saja orang yang hendak mencelakainya tidak membunuhnya. Namun orang itu mengancamnya. Mengatakan sesuatu padanya sebelum ia pingsan. Mengancam sesuatu tentang hal yang tidak ia sukai. Itu juga berhubungan dengan keselamatan anak satu-satunya dari orang yang sangat ia cintai. Satu-satunya peninggalan istrinya.

"Kamu nggak usah khawatir. Ayah baik-baik aja. Mending kamu sekolah dulu yang benar. Kamu ada keperluan kan yang harus diselesaikan?" Ucap pria itu lembut. Nara menatapnya, kemudian menggeleng.

"Kalau orang itu datang lagi, gimana?" Nara sangat mengkhawatirkan ayahnya itu. Bagaimana jika orang misterius itu datang lagi dan kembali mencelakai ayahnya? Siapa yang akan menjaga ayahnya? Ia sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi.

Andi tersenyum tipis. "Tenang. Ada Steve yang datang nanti. Pak Rizky juga datang."

Nara menimbang. Ia memang ingin secepatnya menyelesaikan masalah ini. Di samping itu juga ia ingin menjaga ayahnya. Tapi jika ia tetap berada di sini, masalah tidak akan bisa cepat selesai dan akan muncul korban lainnya. Jadi Nara menghela nafas. Ia memutuskan untuk kembali ke sekolah. Menemui Alvin.

Pemuda itu beranjak. Mengambil tasnya, kemudian pamit pada ayahnya. Ia harus menyelesaikan ini secepatnya. Hari ini harus selesai jika memungkinkan.

***

Kelasnya tetap ramai seperti biasa. Orang-orang pun masih seperti biasa, sering menyapanya. Dan ia pun harus tetap menjalani hari-harinya seperti biasa. Walaupun hanya berpura-pura.

Nara melangkah menuju bangkunya. Di sana sudah ada Alvin menunggunya. Menatapnya khawatir.

"Jadi, gimana keadaan ayah kamu?" Tanyanya langsung begitu Nara menyimpan tasnya di atas meja. Nara mengernyit. Alvin tahu tentang kondisi ayahnya? "Waktu itu Wali Kelas kasih tahu kalau ayah kamu kecelakaan. Terus kami disuruh berdoa." Lanjutnya membuat Nara menghela nafas tenang.

Nara menggeleng pelan, kemudian duduk. Kepalanya ia tolehkan pada Alvin. "Nggak terlalu parah." Jawabnya sambil tersenyum.

"Hmm. Syukurlah." Dan Alvin balas tersenyum. "Oh iya, kemarin ada tugas kelompok, dikumpulin dua minggu lagi, dan kelompoknya teman sebangku."

"Oh." Nara mengangguk mengiyakan. "Tugas apa?"

Alvin terlihat mengeluarkan buku catatannya dari dalam tas, bersampul coklat seperti murid-murid pada umumnya. Kemudian ia membuka halaman demi halaman, mencari catatan untuk tugas kelompok yang ia tulis kemarin.

"Um, kita disuruh buat kunjungi situs bersejarah, dan nanti kita wawancara petugas di sana tentang tempat itu, terus foto-foto. Boleh di mana aja, asal bisa tanggung jawab dengan keselamatan diri sendiri dan teman kelompoknya." Jelas Alvin sambil membaca catatannya itu. Setelahnya, ia kembali menatap Nara.

"Tugas sejarah, ya?" dan Alvin mengangguk. 

"Jadi, kita mau ke mana? Oh, mau ke Taman Sari Gua Sunyaragi di Cirebon? Tempatnya bagus." Mungkin untuk saat ini Nara perlu menenangkan diri terlebih dahulu dan tidak langsung menuduh Alvin. mengikuti permainan anak itu dan pada akhirnya mengungkapkan semuanya.

"Hm!" Alvin kembali mengangguk menyetujui usul Nara.

Nara menatap Alvin yang sedang memasukkan bukunya kembali ke dalam tas. Kini ia kembali mencurigai Alvin sejak ia melihat video CCTV waktu itu. Tapi ia tetap tidak bisa menemukan jawaban dari persoalan yang membingungkannya mengenai Alvin.

***

Waktu istirahat saat itu Nara memutuskan untuk berdiam di kelas. Namun ia harus membeli minum terlebih dahulu untuknya juga Alvin. Pemuda putih itu pun membawa bekal lagi hari ini. Untuk mereka berdua. Dan Nara ingin berterima kasih pada Alvin dengan membelikannya minum.

Alvin masih berada di kelas. Menunggu Nara yang membeli minuman. Selama itu, ia sudah menyiapkan dua kotak bekal di atas meja beserta alat makan lainnya. Dan telinganya mendengar. Ia tengah dinilai oleh teman-teman sekelasnya. Betapa kekanakannya ia membawa bekal. Memang apa salahnya membawa bekal sendiri? Dibanding memakan makanan yang belum tentu higienis. Ia juga bisa menghemat uang.

Ia menghela nafas. Tidak apa. Ini ia lakukan bukan karena mereka. Ia melakukannya demi dirinya sendiri dan juga Nara.

Matanya beralih. Refleks. Seperti ada yang menarik matanya untuk melihat ke arah sesuatu. Alvin melirik arah jendela kelasnya yang mengarah ke balkon. Dan di sana ia melihatnya, yang tengah melengkungkan bibirnya membentuk sebuah seringaian.

Nara melangkah kembali menuju kelasnya dengan dua botol air mineral dalam sebuah kantung plastik putih. Ia berpikir, bagaimana caranya ia membongkar identitas Alvin yang sebenarnya? Mungkin ia harus meminta bantuan Rizky?

Ia melamun, sehingga tidak menatap arah depannya.

Tidak. Ia tidak menabrak siapapun seperti halnya di sinetron atau drama manapun. Walaupun memang koridor sedang ramai saat ini. Tapi yang menjadi masalah, ia sekilas melihat ada seseorang yang berlalu melewatinya. Dengan rambut hitam kelamnya, dan surgical mask yang menutupi hidung hingga dagunya.

"Ayo, main."

Dan Nara menoleh. Ia seperti mendengar suara Alvin berlalu melewatinya. Jadi ia berusaha mencari pemuda putih itu. Seharusnya akan sangat mudah untuk menemukan Alvin, tapi ia sama sekali tidak melihatnya. Ia hanya melihat seorang siswa setinggi Alvin yang berjalan menjauh. Rambut yang hitam legam. Sangat indah.

Nara mengejarnya. Namun koridor yang ramai sedikit menghalanginya untuk tetap bisa mengawasi orang tersebut. Orang itu berbelok, begitu pun dengan Nara yang mengikutinya. Dan ia berhasil menyusulnya saat mereka berada di dekat tangga. Dengan segera, Nara menarik paksa lengan orang tersebut dan membalikkan tubuhnya untuk menghadapnya.

"Ngapain, sih?"

"Eh?" Dan ia salah orang. Nara salah mengira. Orang ini bukan orang yang sedang dikejarnya. "Sorry, sorry. Salah orang." Dan siswa tersebut pergi.

Nara menghela nafas. Kepalanya mendongak. Dan ia dapat melihat orang yang sedang ia kejar berada di sana, di atasnya, hendak menuju lantai di atasnya.

Menatapnya.

Persis dengan surgical mask yang dipakainya.

Nara kembali mengejarnya, dan orang ber-masker itu melangkah cepat, hampir berlari, untuk menghindari Nara. Bukannya ia takut, justru pemuda bersurai kelam itu terlihat gembira. Terlihat dari caranya tertawa.

Dan pada akhirnya, mereka berhenti di rooftop. Angin yang berhembus meniup setiap helai surai masing-masing kedua orang itu. Nara bertumpu pada lututnya. Kelelahan. Cukup lelah untuknya mengejar pemuda ini hingga ke lantai paling atas.

Pemuda berambut hitam kelam itu berbalik, kemudian menatap Nara. Ia tidak bisa kabur ke mana-mana lagi sekarang. Yah, ia memang berniat membawa Nara ke tempat itu.

Nara menegakkan tubuhnya setelah sekiranya ia sudah bisa bernafas lancar. Ia pun menatap pemuda itu. Menatapnya tajam.

"Lu yang ada di balik kasus pembunuhan akhir-akhir ini, kan?" Nara berterus terang. Namun, tetap bisa mengendalikan emosinya. Ia sudah harus bisa secepatnya menyelesaikan ini.

Pemuda bersurai hitam indah itu memiringkan kepalanya, tampak berpikir. Kemudian menggidikkan bahunya.

"Mungkin?"

Nara geram. Ia merasa dipermainkan. Tangannya sudah terkepal kencang di sisi tubuhnya.

"Sebenernya lu siapa?!" Ia berteriak, dan itu malah membuat pemuda berambut hitam itu tertawa kencang.

Pemuda yang menggunakan surgical mask itu terkekeh pelan setelahnya, kemudian terdiam. "Siapa, ya~?"

Ngeselin. Pikir Nara. Jadi ia berpikir bahwa untuk menghadapi orang seperti ini ia hanya perlu bersikap tenang dan tidak terbawa emosi. Itu hanya akan membuat orang misterius itu merasa senang. "Jadi," Nara memulai. Ia berusaha untuk tenang. "Apa hubungan lu sama gue? Kalau dipikir lagi, semua korban pembunuhan sejak kasus di konser Ratu itu ada hubungannya sama gue. Dan yang terakhir, lu celakain ayah gue." Nara memasukkan tangan ke saku celananya.

Pemuda bersurai hitam itu terdiam. Namun, di balik surgical mask yang dipakainya, ia membuat sebuah seringaian. Seringaian yang membuat siapapun akan merinding jika melihatnya.

"Hee~ 'Udah sadar kalau semuanya ada hubungannya dengan kamu?"

Nara mencengkram tangannya kencang. Tidak, ia tidak boleh terbawa emosi. Tenang. Tenanglah, Nara. "Dan yang bunuh semuanya itu lu, kan?"

Sekali lagi orang itu mengangkat bahunya. "Mungkin?"

Nara diam. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana. Ia tidak boleh gegabah dan asal bertindak. Lalu ia menghela nafas, melangkah mendekat dengan perlahan. "Alvin, tolong berhenti. Gue ngga tahu salah gue apa. Tapi, tolong berhenti. Gue ngga mau ada pembunuhan lagi di sekitar gue."

"Pfft!" Orang misterius itu menahan tawanya. "Ne~ menurut kamu aku ini siapa? Aku bu-"

Seseorang membuka pintu yang terhubung ke rooftop, dan menampilkan seorang pemuda yang sering dipanggil dengan sebutan "Ketua Kelas". Pemuda itu menatap Nara dan menghampirinya. Tidak menyadari situasi yang sedang terjadi di sana.

"Ngapain?" Tanya pemuda itu. "Nyari angin? Angin kok dicari?"

Nara tidak menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke arah tempat si pemuda bersurai hitam berdiri. Namun, tidak ada siapapun di sana. Orang itu menghilang. Tidak. Kemungkinan masih berada di sana. Mungkin bersembunyi? Tidak mungkin kan kalau dia rela terjun dari rooftop untuk kabur?

"Ada apa?" Tanya Nara pada Ketua Kelas setelah kembali menatap pemuda tersebut.

"Oh. Gue diminta Alvin nyusul lu ke sini tadi."

"Hah?" Nara heran. Alvin meminta Ketua Kelasnya ini untuk menyusulnya. Padahal kurang dari tiga menit yang lalu 'Alvin' sedang bersamanya. "Itu... beneran?"

Ketua Kelas mengangguk mantap. Kemudian mengajak Nara untuk kembali ke kelas bersama. Nara hanya mengikutinya dengan dahi mengkerut. Ia bingung.

"Alvin masih di kelas sekarang. Tadi dia kelihatan panik dan nyuruh gue buat ngikutin lu ke sini sebenernya. Nggak tahu juga kenapa. Dia kelihatan takut dan panik gitu." Jelasnya sambil melangkah menuju kelas mereka. Nara yang berjalan di sampingnya tidak mengucapkan apapun, saking bingungnya.

Lalu, yang tadi itu siapa? Ah, benar. Bukankah dia pernah menghilangkan anggapan bahwa Alvin adalah si pelaku pembunuhan sejak kasus terbunuhnya Mawar?

***

Nara kini sedang duduk di sebuah kursi di kantin rumah sakit tempat ayahnya dan sahabatnya di rawat. Di hadapannya ada Rizky yang sedang melihat suatu berkas. Mereka masih terdiam setelah 15 menit berlalu sejak keduanya berada di sana. Di atas meja ada segelas cappuchino dingin milik Nara dan secangkir kopi hitam panas milik Rizky.

Setelah membaca berkas di tangannya, Rizky menaruhnya di atas meja, di sebelah cangkir kopinya. Kemudian menatap Nara.

"Kami menemukan bahwa kasus bunuh diri siswi bernama Mawar di sekolah kamu ada hubungannya dengan kamu sendiri. Benar?" tanya Rizky. Bukan maksudnya ia menuduh Nara dan menginterogasi anak itu, ia hanya ingin mendapatkan petunjuk lebih banyak mengenai hal tersebut. "Oh, bukannya siswi ini temannya.... siapa? Alvin?"

Nara mengangguk mengiyakan. Kemudian ia mengeluarkan ponselnya. Ia membuka aplikasi chat, lalu membuka obrolannya dengan Mawar beberapa hari yang lalu. Setelahnya, ia menunjukkannya pada Rizky.

"Dia mau bicara sesuatu dengan saya. Dan kayaknya saat obrolannya berhenti itu, kejadian itu terjadi."

Rizky mengangguk-angguk sambil membaca isi dari obrolan tersebut. Walaupun ia sedikit melenceng ke arah obrolan Mawar dan Nara di masa lampau. Tapi ia sedikit terpaku pada obrolan terakhir yang dikirim oleh Mawar. Bukan, sudah jelas itu bukan dari Mawar. Ia juga tidak bisa menemukan ponsel milik gadis tersebut saat ia menyelidiki kasus bunuh diri Mawar kala itu.

"Saya mau dengar pendapat kamu tentang kasus bunuh diri Mawar."

Nara diam. Ia mencoba mengingat kejadiannya waktu itu. Kemudian ia mulai membuka mulutnya. "Dia... dibunuh. Bukan bunuh diri."

"Kenapa bisa begitu? Pergelangan tangannya terluka, kan?"

"Iya, pergelangan tangan kanannya. Tapi Mawar bukan kidal."

Dan mereka terdiam setelah itu. Benar. Yang terluka adalah pergelangan tangan kanan Mawar. Jika Mawar adalah pengguna tangan kiri, atau kidal, itu bisa menjadi kasus bunuh diri. Tapi nyatanya, Mawar adalah pengguna tangan kanan. Bagaimana caranya ia bisa menyayat pergelangan tangannya sendiri menggunakan tangan kiri? Mungkin bisa. Tapi bagaimana jika keadaan saat itu sedang mendesak? Siapapun akan reflek menggunakan tangan yang biasa ia gunakan, kan?

"Lalu, menurut kamu siapa pelakunya kalau itu benar-benar kasus pembunuhan?" Tanya Rizky lagi, kemudian meminum kopinya yang sudah menghangat.

"Pelaku yang saya sebut sebagai orang misterius. Mungkin. Awalnya saya kira Alvin karena dia mencurigakan. Mawar juga kelihatan bersikap aneh saat ada Alvin."

Rizky menaruh cangkir kopinya kembali. "Alvin, yang pernah diduga membunuh Pak Guntur, kan? Yang rambutnya putih, temannya Mawar? Dulu juga dia sempat jadi tersangka di kasus pembunuhan Guntur, kan?" Nara mengangguk untuk menjawabnya.

"Tapi nyatanya saat saya dapat chat dari pembunuhnya, Alvin lagi sama saya."

"Hmmm. Begitu." Dan mereka kembali terdiam. Kembali sibuk dengan bermacam pemikiran.

Nara menghela nafas. Ia masih dibuat bingung dengan Alvin dan si orang misterius, yang memiliki rambut sekelam malam. Mereka satu orang yang sama, atau berbeda? Jika mereka satu orang yang sama, apa bisa rambut Alvin dapat berubah menjadi hitam seketika? Dan memangnya Alvin mempunyai kepribadian lain? Ia benar-benar bingung. Bagaimana ia bisa menguak identitas dari pembunuh itu?

"Nek! Aku mau makan nasi goreng!"

"Aku mau makan roti bakar!"

"Iya, iya, cucu nenek yang ganteng-ganteng. Nenek pesan dulu, ya."

Nara menoleh ke sumber suara. Suara tersebut berasal dari dua bocah yang tengah berdiri di depan counter bersama neneknya untuk memesan makanan di kantin tersebut. Nara menatapnya. Anak kembar, ya? Mereka memiliki wajah yang begitu sama. Identik? Ah, tidak juga. Walaupun nyaris seluruh bagian tubuh mereka begitu mirip, tapi hanya model rambut kedua anak itu yang berbeda. Warna rambutnya pun berbeda. Jika yang satu memiliki warna rambut coklat terang, maka yang satu lagi pirang. Mereka juga sangat lucu-

Tunggu. Kembar?

"Pak," panggil Nara tiba-tiba pada Rizky yang sedang berkutat pada tablet-nya. Rizky berdehem dan mengangkat kepalanya untuk bisa menatap Nara. "Bapak bisa cari identitas murid baru yang daftar ke sekolah saya baru-baru ini?"

"Eh? Hm..." Awalnya Rizky bingung melihat Nara yang seakan mendapat suatu pencerahan. Memang, sih. Dan kemudian mengangguk untuk mengiyakan pertanyaan yang dilontarkan Nara untuknya.

"Saya minta tolong."

***

Nara membisu. Di tangannya sudah ada beberapa lembar kertas tentang siswa yang baru saja daftar menjadi murid baru di sekolahnya beberapa minggu yang lalu. Kini sudah terjawab kebingungannya tentang Alvin. Ia sangat berterima kasih pada Rizky karena bisa membantunya.

Sewaktu di kantin bersama Rizky, Nara meminta bantuan pria itu untuk menemukan identitas murid baru di sekolahnya. Rizky menyetujuinya. Ia pun meminta bantuan rekannya untuk meminta langsung pada pihak sekolah atas nama kepolisian. Setelah mendapatkan hal yang ia minta, Rizky segera menyerahkan berkas itu kepada Nara malam harinya. Setelah berdiskusi, mereka dapat menduga identitas asli dari si pembunuh yang selama ini mereka cari, dan mereka mulai mencari cara untuk mengetahui kebenarannya sebelum mereka dapat menangkapnya.

Mata pemuda berambut kecoklatan itu terus terpaku pada sebuah foto seorang pemuda berambut malam di dalam berkas yang ada di tangannya. Ia merasa pernah melihat orang ini. Namun saat ia memejamkan matanya untuk mencoba mengingatnya, hanya akan membuat kepalanya merasakan sakit. Ia tidak dapat mengingatnya.

Ia kembali menatap berkas itu. Di tangannya pun ada berkas mengenai identitas Alvin, bersama dengan foto 4x6 di pojok kertas. Di sana jelas tertera nama Alvin Eiji dan informasi lainnya. Kemudian di lembar berikutnya, ada lagi satu murid baru selain Alvin. Oh, Nara baru ingat. Bu Suryati pernah berkata "Mereka" saat ia dan Dimas menanyai tentang murid baru di kasus pencurian kunci jawaban. Jadi, ada murid baru lainnya selain Alvin.

Nara memperhatikan lagi wajah yang ada di foto 4x6 di berkas satunya. Wajah dari seorang pemuda dengan rambut hitam. Benar-benar mirip Alvin. Dan nama yang tertera di sana ialah "Tsuki Eiji". Kemungkinan kembar. Mereka berdua memiliki nama belakang yang sama. Nama orangtua yang sama. Tanggal lahir dan alamat yang sama.

Mereka benar-benar kembar seperti dugaannya sebelumnya. Dan kemungkinan, orang yang ia lihat di CCTV, yang melukai ayahnya adalah Tsuki. Tidak, bukan hanya itu, bisa jadi semua kasus pembunuhan pun berhubungan dengan pemuda berambut sekelam malam ini.

"Nara,"

Nara menoleh, menatap ayahnya yang memanggil.

"Maafin ayah, ya." Ujar pria yang masih terbaring itu. "Kalau saja ayah nggak jauhin kamu sama teman kamu waktu dulu."

"Teman?" Dahi Nara mengkerut. Andi mengangguk mengiyakan.

"Sebenarnya kamu punya teman waktu sebelum pindah ke kota ini. Dan Ayah minta Steve untuk hilangin ingatan kamu tentang anak itu. Jadi, sebagai permintaan maaf Ayah, kamu bisa minta dia buat balikin ingatan kamu itu."

Nara terdiam. Jadi benar, ingatannya memang hilang sewaktu ia kelas tiga di Sekolah Dasar. Bukan tidak disengaja, tapi ingatan itu memang sengaja untuk dihilangkan. Jadi...

"Siapa nama teman Nara itu, Yah?"

***

Nara sudah berada di depan gerbang sebuah bangunan. Itu Rumah Sakit Jiwa. Tempat yang sering dikunjungi oleh Alvin. Hari itu ia sudah membuat sebuah janji dengan salah satu dokter kejiwaan di sana. Jadi ia hanya perlu meminta izin untuk masuk ke gedung itu pada satpam penjaga gerbang. Pria itu mengizinkan. Ia juga sudah diberitahu oleh Pak Steve jika ada seorang anak berumur sekitar 16 tahun akan menemuinya.

Sesampainya di depan pintu sebuah ruangan, Nara mengetuk pintu tersebut beberapa kali. Dan seseorang dengan balutan jas putihnya segera membuka pintu dan menyambut Nara dengan senang hati. Kemudian ia mempersilahkan pemuda itu untuk masuk.

Nara duduk di sebuah sofa di ruangan itu, dan memberitahu alasannya menemui Steve. Pria itu mengangguk dan menaruh secangkir teh hangat di hadapan Nara.

"Terima kasih." Dan Nara menyesap tehnya.

Steve ikut duduk di hadapan Nara, memperhatikan pemuda itu. Sebelumnya Steve sudah diberitahu oleh Andi bahwa anaknya akan mendatanginya dan meminta untuk mengembalikan ingatannya sewaktu dulu.

Memang semenjak kepindahan Andi dan Nara ke kota ini dulu, Andi langsung meminta Steve untuk melakukan hipnotis pada Nara agar anaknya itu bisa melupakan teman kecilnya. Namun itu berdampak pada ingatannya yang lain tentang kenangan semasa Nara duduk di bangku kelas satu Sekolah Dasar hingga kelas tiga. Semua hal mengenai kenangan Nara bersama teman semasa kecilnya dihilangkan oleh Steve. Itu pun dapat menghilangkan ingatannya tentang hal-hal yang dilakukannya semasa SD dan juga teman-temannya saat itu.

Nara sendiri pun ketika baru-baru pindah ke kota tempatnya tinggal saat ini, merasa bingung tentang ingatannya sebelumnya. Ia mengeluhkan hal tersebut pada ayahnya, namun ayahnya bersi keras tidak ingin menjawabnya dengan jujur. Andi berkata pada Nara bahwa anaknya itu mengalami amnesia karena sebuah kecelakaan. Nara yang masih kecil saat itu pun hanya mengiyakan tanpa bisa mengerti.

"Kabar ayah kamu gimana?" Tanya Steve setelah menyesap tehnya. Nara yang sebelumnya melamun, mengangkat wajahnya dan menatap Steve.

"Baik. Lukanya sudah hampir tertutup." Jawab Nara pelan.

Steve beranjak dari duduknya dan menyimpan cangkirnya di sebelah dispenser di pojok ruangan. Kemudian ia beralih pada Nara yang menatapnya, lalu mempersilahkan pemuda itu untuk berbaring di sebuah ranjang yang ada di ruangan itu.

Setelah melepas sepatunya, Nara berbaring di atas ranjang tersebut dan menghela nafas gugup. Setelah ingatannya kembali, apa yang akan muncul diingatannya itu? Apa yang akan ia lakukan demikian?

Begitu siap, Nara diperintahkan Steve untuk memejamkan matanya dan membuat rileks tubuh dan pikirannya. Setelah dirasa Nara sudah rileks dan fokus, Steve mulai melakukan hal yang harus ia lakukan pada pemuda ini.