webnovel

BAB 11: LET ME HOLD YOU TO FIREWORKS

"Terima kasih telah membuatku merasa beruntung, Mile. Ini adalah hal yang takkan pernah kulupakan."

[Apo Nattawin Wattanagitiphat]

Apo pun terdiam. Namun, meski dia memikirkan perkataan Mile berkali-kali, tetap saja tak paham apa makna "Anniversary". "Eh--apa?" tanyanya.

"Hmph, hari jadi pernikahan, Sayang," kata Mile dengan gelengan pelan. "Jadi pada tanggal dan bulan yang sama persis, hari ini acara resepsi kita digelar beberapa tahun lalu."

"Oh ...." Apo pun mengangguk pelan. "Maaf, aku benar-benar tidak ingat." Malahan baru tahu ada yang seperti ini, imbuhnya dalam hati. "Tapi apa yang bisa kulakukan untukmu? Atau kita akan merayakannya?"

"Merayakan? Tentu." Mile tak bosan mengesuni pipinya. "Tapi versi meriahnya masih besok lusa."

"Kenapa seperti itu?" tanya Apo penasaran.

"Kubawa kau pulang dulu ke Huahin," kata Mile. "Bukankah kau sendiri yang pernah menginginkannya? Makan-makan dengan keluarga. Tidur serumah bersama mereka. Atau main dengan adik dan kucingnya di sana."

Seketika ingatan Apo lari ke awal dirinya baru bangun. Ada sang Ayah Man, ibunya May, dan adiknya Ran yang ikut menyambut. Namun, sampai sekarang Apo tidak merasa dekat dengan mereka. Hmm, ini jadi kesempatan bagus untuk lebih saling kenal.

"Apa kita akan pulang cukup lama?" tanya Apo.

"Empat hari apa menurutmu lama?" Mile malah bertanya balik. "Aku sudah atur jadwalnya sebaik mungkin. Kalau lebih dari itu sepertinya tidak bisa."

"Mn, oke. Aku senang kok meski tidak lebih," kata Apo. Dia pun balas memeluk, tapi sang suami tidak tahu apa tujuannya. Apo hanya ingin menyembunyikan kegelisahan. Dia teringat sosok Miri yang ditemui tadi siang, atau sang Ayah yang ternyata sangat dekat. Ahh, memang agak membingungkan. Apo jadi merasa punya 4 orangtua. Duanya angkat, duanya lagi yang melahirkannya. Ralat. Malahan 6 kalau ditambah para mertua.

"Kalau begitu happy anniversary," kata Mile sembari mengelus punggung Apo sayang. "Maaf seharian hectic sampai tidak memperhatikanmu. Untung aku selalu pasang alarm kalender. Ya Tuhan, lega sekali bisa pulang cepat."

Apo pun tertawa kecil dengar perkataan Mile. Dia jadi penasaran apa Mile pernah marah, sebab sejak bangun tak pernah melihatnya.

"Hm? Marah? Jangan coba-coba saja," kata Mile sambil memandangnya. "Kurang apa aku bertahan denganmu. Kalau tidak dilatih ahlinya, mungkin sekarang kita sudah bercerai."

"Hmm?"

"Kau membentuk aku yang sekarang, Apo. Ha ha ha. Kau pikir dulu aku tak pemarah? Berani sumpah tanya saja pada keluargaku."

Apo sungguh-sungguh tak menyangka. "Serius?" tanyanya.

"Dua rius pun tidak masalah," kata Mile dengan kekehan pelan. "Yaaa, kalau aku tidak mengalah, mungkin kau sudah memilih pergi. Jadi, buat apa? Orang egois itu tidak cocok berpasangan, jadi kubuang sejak kau mau denganku."

"Ah ...." desah Apo. Tiba-tiba dia segan, padahal ini hasil kelakuan "Apo" yang dulu. Dia meraih pipi Mile dengan mata yang sulit berkedip. Dipandanginya bibir sang suami yang masih dihias luka, lalu dibelai dengan jarinya. "Aku mau menciummu."

"Ha ha ha, just do it." Mile pun meraih tengkuk Apo untuk meraup bibirnya. Dia menerobos belahan seksi sang istri tanpa basa basi, dan menekan kepalanya agar tidak geser kemana pun. Ternyata bukan hanya Mile yang rindu. Seharian tak bertemu saja sudah sebegini dalam, apalagi jika Apo berpisah dari Mile. Tidak bisa. Dia ingin egois bersama lelaki ini sampai kapan pun.

"Mmm," gumam Apo diantara decapan lidah mereka. Dia berjengit merasakan tangan Mile masuk ke baju dan meraba-raba kulit hangatnya. Sensasinya intens, panas. Padahal ini hanya cuddling sederhana di atas sofa. "Ahh." Desahan Apo mulai terdengar dengan rintihan. Namun meski dia dimonopoli, tangan tetap tak diam di tempat. Apo balas menurunkan restleting Mile untuk merogoh isinya. Dia memanjakan penis berat itu dengan gerakan terburu, padahal Mile santai menyentuh.

"Hmmh, rileks," kata Mile. Dia menurunkan bibir ke bagian leher yang masih dihias merah. Ditariknya kerah Apo hingga turun beberapa senti lalu mengecup tanda-tanda di sana.

Hmm, sunset membuat biasan tubuh mereka semakin gelap. Semisal ada orang lewat di halaman belakang, mereka pasti melihat pasangan ini sedang bercumbu intim. Namun, meski itu terjadi berkali-kali, pelayan dan tukang kebun segera pergi untuk pura-pura tidak tahu.

Mereka sudah terbiasa sejak bekerja di tempat itu. Resiko melihat Mile memuja lelaki tercintanya jadi makanan sehari-hari, walau baru-baru ini saja suasana rumah sangat tenang. Tidak ada ribut-ribut cekcok ringan seperti dahulu. Mereka cukup senang dengan perubahan Apo, walau beberapa rindu juga dengan suasana itu.

Brugh!

Apo dibanting ke sofa, meski pergerakan tangannya masih berlanjut. Dia terpaksa melepaskan penis Mile karena kaget berpegangan, lalu melenguh karena serudukan rambut-rambut halus itu. "Mm, mm." Dia meremas di sana karena tidak tahan dengan sensasi dijilat. Perutnya menegang karena pijatan di pinggul dan makin menjambak karena mulut sang suami meraupnya habis.

"Sebut namaku, yang keras."

"Mile ... nnnh!"

"Lagi."

"Nngh ...." Napas Apo tersendat di leher. Dia berusaha mempernyaman diri meski sofa itu sempit. Tapi tetap saja sulit. Jemarinya gemetar karena Mile melepas ketegangan di penisnya tiba-tiba. Dia menatap langit-langit dengan rintihan merdu dan terus bertahan di sana.

Rasanya sedikit sakit, memang. Mile baru saja mengguncangnya semalam, tapi jari sang suami sudah menjamahi lubangnya lagi. Lelaki itu tidak menunggu hingga celana Apo lolos semua. Dia langsung memasukkan lidah ke dalam lingkaran berwarna kemerahan Apo hingga menjadi basah dan licin.

"Mile--hhnnhh ... nnh ...." desah Apo.

Mungkin karena ingin ganti suasana, Mile pun membalik tubuh Apo setelah melakukan penjarian singkat. Dia memasuki tubuh itu dengan tusukan yang keras sampai-sampai Apo kesakitan karena putingnya menggesek sofa.

"Akkh! Mile, tunggu. Panas--akhh!" kata Apo sembari meremas pinggiran pondasi. Beberapa bantal mungil di depan wajahnya berjatuhan karena guncangan tersebut, tapi Mile sepertinya agak lupa diri.

Sang suami mempercepat gerakannya karena sudah kepalang nafsu. Dia baru mendekap Apo dari belakang setelah beberapa saat. Lalu mengecup sudut bibirnya.

Cup.

"Nnhh ... ahhh! Nngh ...."

"Maaf, apa aku agak kelewatan? Tapi aku benar-benar lapar ...."

Apo hanya menggeliat karena bajunya sudah ditarik lagi. Dia dibuat acak-acakan di atas sana, padahal mereka tidak benar-benar melepas pakaian.

"Ahhh, Mile, lebih cepat--mhh." Apo pun terbungkam karena Mile sudah paham apa maunya. Lelaki itu tahu tubuh Apo lebih responsif jika sudah dalam kekuasaannya, maka kesakitan itu timbul tenggelam dengan nikmat yang menghantam mereka.

Drrt ... drrt ....

Tiba-tiba ponsel Mile bergetar di dalam saku. Tak hanya vibrasi, tapi lagu "Linkin Park - In The End" juga mulai berbunyi. Suaranya memang tidak nyaring, tapi cukup mengganggu karena tetap bunyi setelah diamatikan berkali-kali.

"Shit, siapa?" kata Mile yang mulai kesal. Dia pun mengecek layar dengan raut yang berkerut-kerut, lalu mengangkat sambungan karena itu dari sang manager. "Ada apa, cepat, katakan," perintahnya sembari terus menghentak.

Apo pun menggigit punggung tangannya sendiri karena malu, tapi kadang dia tidak bisa menahan desahan. "Ahh! Mile--rrh ...."

Mile pun menyimak perkataan sang manjer tentang permohonan klien yang mendadak. Dia mengusap rambut yang mulai lepek ke belakang dengan jari, dan hanya menjawab singkat. "Hm, hm, lalu?"

"Intinya kami buntu jadi bernegosiasi ulang. Beliau ingin diajukan dua hari, Tuan Presdir. Jadi, Anda besok belum bisa mengosongkan jadwal. Apa tidak apa-apa?"

Mile pun mendesis lantas menjawab kesal. "Ya, terserah. Tapi jangan kurangi harinya. Aku ini ada acara dengan istriku."

Plak! Plak! Plakh! Plakh!

"Nnhhh ....."

Sepertinya sang manajer juga peka dengan betapa ributnya suara yang dia dengar. Wanita itu pun merona karena membayangkan berbagai adegan, lalu segera mengangguk. "B-Baik. Baik. Nanti akan saya kabari kelanjutannya. Maaf ini urgen jadi saya berpikir Anda lebih baik tahu secepatnya."

"Hm, ya sudah. Begitu saja."

"Iya, Tuan--"

Tuuuts.

Blukh!

Mile pun melempar ponselnya sofa seberang, lalu menarik pinggul Apo agar menumbuk semakin dalam.

PLAKH!

"AAAAAH! MILE!"

"Sekarang kau bisa lepaskan suaramu, Sayang. Oh, sial. Tanganmu ...." kata Mile yang buru-buru menunduk untuk menjilati darah di tangan Apo. Lelaki itu pun membalik tubuh istrinya yang kini mengalirkan air mata, padahal tidak ada isakan sedikit pun darinya.

"Peluk ...." kata Apo yang segera merengkuh Mile. Dia pun mendekap di sana seerat-eratnya, berharap bisa memaafkan sang suami yang berbisik meminta maaf.

Cup.

"Kalau begitu besok kau ikut saja," kata Mile karena dia tak tega. Jemarinya menelusup dalam helaian lembut Apo Nattawin, dan dia terus membelai agar suasana membaik. "Ke Jepang, mau? Tapi aku cuma punya waktu denganmu ketika malam."

"Ummm ...." gumam Apo yang cepat mengangguk. "Ajak aku lihat kembang api, Mile. Mau."

Mile pun tersenyum lega karena Apo tidak membentaknya atau marah seperti dahulu. "Tentu. Dengan memakai kimono? Akan kupastikan pekerjaanku di sana selesai tepat waktu."