webnovel

The Third Eye(Sebuah Cerita Mengenai Kematian) (Tamat)

mayhard20 · ホラー
レビュー数が足りません
10 Chs

Part 3 Lembar Dunia Baru

Part 3

Lembar Dunia Baru

Part sebelumnya :

Dengan senyum yang menakutkan makhluk itu tersenyum ke arah Hanes sembari berkata, "Bagaimana tidurmu? Apakah nyenyak malam tadi, Hanes? Hihi ... hihi ...," kontan saja Hanes terperanjat kaget melihat kenyataan tersebut.

***

"Kau!! kau benar-benar nyata?" terlihat Hanes tergagap melihat kenyataan yang ada di depannya saat ini. Sosok bermuka pucat dengan wajah cantik itu kini ada dan melayang tepat di depan matanya. Dengan tatapan yang kosong, terlihat Lysa menatap Hanes lekat-lekat.

"Hmm ... tidak usah terlalu terkejut begitu ini masih pagi," ucap Lysa dengan santainya.

"Menggapa kau datang lagi? Bukankah ini sudah siang? Harusnya hantu sepertimu takut dengan matahari bukan?" Hanes terlihat sangat terkejut dengan kehadiran Lysa saat itu.

"Ya ... jika tidak terlalu panas dan masih terhalang matahari, aku masih bisa menampakkan wujudku terutama kepada orang sepertimu ini," ucap Lysa pelan.

"Seperti aku? Apa maksudmu?" tanya Hanes dengan sejuta pertanyaan di kepalanya saat itu.

"Tidak usah terlalu memikirkan hal yang terlalu berat. Aku takut kejiwaanmu terganggu sekali lagi. Bukankah semalam kau mencoba untuk bunuh diri?" terlihat Lysa mulai mengolok-olok Hanes.

"Hmm ... aku tidak menyangka hantu sepertimu ini suka juga meledek orang lain. Yang aku ketahui tugas hantu itu adalah menakut-nakuti orang?" Hanes membalas perkataan tersebut dengan nada sinis.

"Hihihi!!! hihihi!!! aku punya caraku sendiri dan keinginanku sendiri. Setidaknya ucapkanlah terima kasih kepadaku. Jika bukan karena aku yang menghalangi pisau itu memotong lehermu, aku yakin kau sekarang sudah dibawa malaikat pencabut nyawa untuk menemui yang kuasa," balas Lysa sembari menghela nafas.

"Baiklah ... terima kasih atas bantuanmu semalam. Jika bukan karenamu mungkin sekarang aku juga sudah menjadi arwah penasaran," terlihat Hanes sedikit menyadari apa yang sudah diperbuat Lysa untuknya.

"Nah jika seperti itu kau terlihat sedikit lebih dewasa! Hari ini kau sekolah bukan? Pergilah ke sekolah. Bukankah kau memiliki janji dengan mendiang Kakekmu? Kamu tidak akan mengkhianati janji yang sudah kau buat dengan Kakekmu bukan?"Hanes terkejut dengan apa yang barusan diucapkan oleh Lysa. "Dari mana kau mengetahui semua itu? Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?" tanya Hanes penasaran.

"Suatu saat kau akan tahu sendiri jawabannya! Kurasa bukan sekarang waktu yang tepat untuk menjawab pertanyaan konyolmu itu, sekarang cepatlah pergi ke sekolah sebelum terlambat! Bukankah kelasmu akan dimulai sebentar lagi?" balas Lysa.

Mendengar hal tersebut, Hanes pun segera bergegas mengganti pakaiannya dan bersiap untuk pergi sekolah. Hanes mendapatkan kelas siang, karena sekolah tempat Hanes saat ini adalah sekolah yang serba kekurangan. Ia sekolah disalah satu sekolah negeri tertinggal di kota ini. Boleh dibilang sekolah ini sangat biasa dan hanya diisi oleh kalangan bawah hingga menengah saja. Hanes dengan cepat mengganti pakaiannya dan mengisi tasnya dengan beberapa buku kosong. Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah di tahun ajaran baru. Tapi sayang, Kakek Purnadi tidak bisa melihat Hanes menggunakan pakaian putih biru itu sekali lagi.

Setelah mengambil air putih dari dalam kulkas dan satu potong roti, Hanes pun memutuskan untuk segera berangkat menuju sekolah. Tidak dilihatnya lagi sosok Lysa yang tadi duduk di bangku tempat biasa Kakek Purnadi duduk. Ia lenyap tanpa bekas dan entah pergi ke mana saat ini. Hanes pun tidak terlalu memikirkan masalah itu dan segera berangkat ke sekolah.

Seperti biasa, sebelum berangkat ke sekolah Hanes akan melewati rumah bercat putih di seberang jalan. Rumah ini adalah milik Theo, salah satu sahabat Hanes pada masa SMP. Theo adalah seorang anak keturunan Tionghoa dengan wajah yang ganteng tentunya. Ia anak yang cukup pintar di sekolah dan selalu mendapatkan ranking. Karena buah kepintarannya tersebut, sedangkan Hanes sendiri selalu berada di ranking 5-10 di SMP. Hubungan mereka sangat erat, dikarenakan kecocokan yang mereka miliki. Keduanya senang membahas pelajaran di sekolah dan juga masalah-masalah yang sedang terjadi disekitar mereka seperti hari ini contohnya.

"Permisi ... selamat siang. Theo ... Theo!!!" terlihat Hanes memanggil-manggil Theo dari luar pagar. Tidak lama kemudian, sosok dengan pakaian putih biru dan sebuah tas ransel pun keluar dari rumah. Dengan melambaikan tangannya ke arah Hanes, ia pun segera berpamitan dengan kedua orangtuanya. Hanes melemparkan senyum kepada kedua orangtua Theo tersebut. Sudah menjadi kebiasaan sehari-hari antara Hanes dan Theo selalu berangkat sekolah berbarengan seperti ini. Setelah memberi salam kepada kedua orangtua Theo. Hanes dan Theo pun segera berangkat menuju sekolah.

"Tumben kau telat menjemputku di rumah, Nes?" Theo pun bertanya kepada Hanes.

"Oh itu ... aku kesiangan karena menangis semalaman," balas Hanes pelan.

"Yang sabar ya!!!Aku akan sering bermain ke rumahmu nanti setelah pulang sekolah," Theo pun merasa iba dengan keadaan Hanes sekarang.

Bagaimana tidak, kini Hanes terpaksa tinggal sebatang kara setelah kematian Kakek Purnadi. Hanes diserahi sebuah buku tabungan dan juga sebuah kotak perhiasan sebelum kematian Kakek Purnadi, menurutnya itu adalah peninggalan dari orangtua Hanes yang asli. Ia sudah lama menjaga hal tersebut dan kini adalah giliran Hanes untuk mengetahui sebuah titik terang. Di dalam kotak perhiasan itu terdapat sebuah kalung berbentuk bintang dengan bandul nama terukir nama Hanes. Kalung ini pun kini selalu dikenakan oleh Hanes kemana pun ia pergi termasuk ke sekolah.

Akhirnya, Hanes dan Theo pun sampai di sekolah. Di mana biasa mereka menimba ilmu setiap harinya. Seperti biasa, Hanes yang ramah selalu menyapa teman-temannya yang lain. Hanes adalah sosok yang periang dan juga memiliki banyak teman. Walau sebenarnya ia memiliki masalah yang pelik, tapi ia selalu menyembunyikan kesedihan tersebut kepada orang lain. Karena menurut Hanes sendiri,

"Setiap orang pasti memiliki masalahnya masing-masing. Terlepas berat atau tidak itu tergantung dari mana kita menyikapi masalah tersebut!"

Hal itulah yang selalu dipesankan oleh Kakek Purnadi terhadap Hanes. Tidak jarang Hanes juga menerapkan pesan tersebut ke dalam kehidupannya. Merasa kesepian karena hidup sebatang kara sekarang benar-benar terasa oleh Hanes. Di sekolah ini mungkin ia bisa bercengkrama dan tertawa bersama teman-temanya. Tetapi di rumah ia akan kembali merasakan kesepian tersebut.

Tidak lama bel berbunyi sebagai tanda kelas pagi telah usai. Hanes pun menunggu para siswa keluar dari ruang kelas dan segera masuk ke dalam setelahnya. Ia dan Theo segera menaruh tas mereka masing-masing ke bangku di mana mereka biasa duduk. Sebenarnya sedari tadi, Hanes sudah merasakan bahwa ia harus buang air kecil. Karena sudah tidak tahan lagi, ia pun segera bergegas menuju ke toilet yang berada di sudut sekolah.

"Aku ke toilet dulu ya," ucap Hanes pelan.

"Oke ... tapi aku titip air mineral ya ini uangnya!" sembari menyerahkan selembar uang lima ribuan kepada Hanes.

Dengan santai, Hanes pun segera menuju ke arah toilet untuk menuntaskan hajatnya yang tertunda. Ia pun segera menutup pintu bilik toilet tersebut dan kemudian segera buang air kecil. Rasanya indah sekali bagi Hanes yang memang sudah kebelet untuk buang air kecil. Hingga tidak terasa tubuhnya bergetar sendiri saat itu. Tapi di saat momen-momen seperti itu, sesosok bayangan berwarna hitam kini berada di belakang Hanes. Terlihat sosok ini memperhatikan Hanes yang sedang buang air kecil dengan santainya.

Kontan bulu kuduk Hanes segera meremang setelah merasakan ada sesuatu di belakangnya. Memang sudah menjadi gosip di sekolah ini jika ada hantu di toilet sekolah. Tapi, selama ini Hanes tidak pernah merasakan hal aneh yang terjadi seperti ini. Karena merasa bulu kuduknya kian meremang, Hanes pun mencoba untuk menoleh ke arah belakang, tapi tidak ada apa pun di belakang Hanes kecuali pintu yang terkunci rapat.

Kini bulu kuduk Hanes masih terasa meremang seperti tadi, seolah ada sepasang mata yang memata-matai Hanes dari arah belakang. Bayangan hitam tadi segera bersembunyi setelah Hanes menoleh lagi ke arah belakang. Dengan cepat Hanes mengunci rapat resleting celananya dan kemudian segera pergi meninggalkan toilet tersebut dengan setengah berlari. Dengan tergesa-gesa, Hanes pun segera masuk ke dalam kelas.

"Mana air mineral yang aku pesan, Nes?" tanya Theo yang kebingungan dengan Hanes yang tidak membawa air mineral yang ia pesan.

"Ya Tuhan! Maaf Yo, aku sampai lupa," balas Hanes.

"Ya sudah, lagi pula sebentar lagi pelajaran akan di mulai. Nanti saja waktu jam istirahat!" terlihat Theo menghela nafas.

Tidak lama kemudian, Bu Silvy pun masuk ke dalam kelas. Bu Silvy adalah seorang guru Bahasa Indonesia yang sudah biasa membimbing Hanes dan Theo. Ia termasuk guru yang cukup killer di angkatan mereka. Mungkin hal ini disebabkan oleh umurnya yang sudah menginjak angka 30 tahunan, tapi sampai saat ini belum juga menikah. Seperti biasa dengan tampang masam, Bu Silvy pun masuk ke dalam kelas, kemudian mulai menjelaskan pelajaran yang akan ia ajarkan dan kelas hari ini pun di mulai.

Sudah setengah jam pelajaran ini di mulai, di mana sebenarnya apa yang dipelajari hari ini adalah pengulangan beberapa materi di semester yang lalu. Hanes pun merasa sangat bosan dengan penjelasan Bu Silvi yang bertele-tele. Tanpa sadar kedua matanya pun mengatup dengan sendirinya. Ia mulai tertidur tanpa memperhatikan sekitar hingga tiba-tiba sebuah tangan halus pun membangunkannya. Tangan itu begitu dingin dan menyentuh pipi Hanes. Karena terkejut, ia pun bangun dan menyadari apa yang membangunkannya tersebut. Terlihat seorang wanita dengan pakaian sekolah penuh darah tersenyum kepadanya.

"Kenapa kamu tertidur?" tanya wanita tersebut.

Hanes pun melihat ke kiri dan kanan, tapi tidak ada seorang pun di dalam kelas ini kecuali Hanes dan wanita ini. Dengan penasaran, Hanes pun bertanya kepada wanita tersebut. "Siapa kau ini? Aku sedang berada di mana? Kenapa bajumu berdarah seperti itu?" Hanes memberikan wanita ini banyak pertanyaan. Dengan senyum santai wanita ini pun membalas, "Justru aku yang harusnya bertanya seperti itu kepadamu. Mengapa kau bisa sampai di sini?" Hanes pun tercekat dengan jawaban tersebut sebenarnya ada di mana ia saat ini? Kebingungan itu pun menjelma di dalam otak Hanes saat ini.

Bersambung