Apo bergeser, mendaki naik walaupun tidak sempurna. Dia menimpa separuh tubuh Raja Millerius dan melumat amat agresif. Jika dihitung ini merupakan ciuman pertamanya sepanjang hidup. Bodoh amat di dalam game, Apo tetap akan menghitungnya. Rasa nikmat dari bibir sang dominan bukanlah candaan. Dia bebas bertukar saliva karena disambut baik. Apo tak menyangka bibir lelaki bisa selembut dan sehalus ini. Dirogoh lidah makin ke dalam, dia makin merasakan kelengkapan yang tiada tara. Di hatinya. Di tubuhnya. Kumis tipis-tipis Raja Millerius menggelitik bibirnya berkali-kali. Meski tampak bersih, habis dicukur, tapi tetap meninggalkan kesan erotis.
Apo pun meraba kerah sang raja yang mulia. Jemarinya turun ke bawah mencari puting, tapi tubuhnya justru dibalik.
Terbelalak, syok dan panik Apo tidak sempat bereaksi saat dibalas ciuman lain. Raja Millerius menggagahinya terlalu sigap dan meremas lengannya di sisi wajah. Apo pusing jiwa dominannya digampar habis-habisan. Meski bernama sama-sama ciuman, kali ini dia tidak menikmati.
Jantung Apo tidak berhenti memukul rusuk. Dia memberontak di tengah pagutan, tetapi sudah terlambat. Raja Millerius kini terlanjur menikmati permainan. Dia menggeram, dan ingin berteriak, tapi bibirnya penuh oleh adukan lidah yang hebat. Bukan dia, tapi sang raja lah yang meninggalkan kissmark di lehernya. Merah dua terlihat jelas dan terus turun ke bawah. Cravat tipis ditarik kencang agar akses didapatkan makin leluasa. "Akhh! Hhhh, Yang Mulia!" jeritnya dengan mata memanas. Netranya mulai menggenang dan berkaca-kaca karena takut.
Apo suka menyerang sesukanya, tapi bukan begini yang dia maksud. Si manis masih tidak menerima jika disentuh intim sebagaimana carrier harusnya berperan--
"No! Yang Mulia, saya berubah pikiran! J-Jangan terus--hhh ... kan, please--"
Darah mengalir deras di kulit putih yang membalut tulang selangka.
Apo pun mencerabut rumput di sekitar sungai itu. Kaki menendang heboh dan sadar-sadar matanya sudah menangis deras. Perih menjelajah di dada kiri usai pita bajunya dikoyak. Bibir kuat itu mengisap rakus puting Apo yang masih tertutup kain putih tipis. Selama ini para bangsawan memang memiliki banyak lapis baju, hanya saja yang barusan--
"Ahhh!"
Pekikan carrier itu dibarengi dengan
suara robekan lain.
Apa yang Apo takutkan pun mulai terjadi, bibir panas bertemu puting dan mulai menggigit kulit di sekitarnya.
Memang dia sendiri yang melepaskan binatang buas dari penjara, tapi Apo tidak berpikir sebuah ciuman akan mendorong sang raja menafsuinya di tempat seperti ini.
Maksud Apo, hei ... bukankah dulu mereka tak sampai berbuat jauh? Keduanya biasa bersentuhan pelan, halus, bertahap dan itu menjawab rasa penasaran Apo. Namun, Raja Millerius justru melebihi ekspektasi. Lupakan etiket kerajaan dan tetek bengeknya di depan sang pemilik hati.
Apo pun merinding dari ubun hingga ujung kaki. Tubuh belianya terbujur kaku seperti batu yang ditimpa beban satu ton. Setiap isapan membuat pandangan Apo memburam. Jemarinya yang mengepal, dijerat Raja Millerius dalam sela-sela jemarinya sendiri.
"Hnnnghhh--sudah, Ra ... ja ... Mile--hh ...." Apo pun berkedip-kedip tak nyaman. Secepat itu bibirnya pucat akibat menghempaskan napas beku yang semakin menyebar. Jika mulai serak, sang raja pun menciumnya lebih ganas. Apo tidak bisa melihat langit cantik di atas sana karena kadang pandangannya diblokade.
Tolong ... aku ... kumohon, siapa pun hentikan lelaki ini!
Aku tidak mau--diperkosa, Yang Mulia--!!
JANGAN BERCANDA!! CEPAT KEMARI! AMPUN AKU TIDAK MAU--!!
"Hiks ...."
Anjing!
Raja Millerius pun terpatung mendengar isakan carrier favoritnya. Sejak tadi, dia terpejam sangking bergairahnya memberikan balasan yang mungkin Apo suka.
Lantas kenapa sekarang malah--
"Hiks, hiks ... mmm ... saya takut sekali sama Anda, please ... Ibu ...." sebut Apo, yang mentalnya kembali merosot drastis. Dia benar-benar mirip porselin yang baru tersenggol pecah. Padahal suasana sudah baik, tapi sorot matanya sungguh terluka.
Raja Millerius benar-benar tidak paham isi pikiran si manis. Air mata Apo tak mau berhenti dan wajahnya makin basah seperti guyuran hujan.
"Natta? Hei, Natta ...."
Sang dominan meraih pipi kanannya amat hati-hati. Kenikmatan barusan serasa lenyap karena Apo tremor parah. Dia meringkuk seperti kucing dengan lengan yang menutupi seluruh muka. Apo mulai meraung tidak sanggup sambil menjambak baju depannya.
"Hiks, hiks, hiks ... benciii ... hhmggh, tidak mau ... benciii ...." rengek Apo tak henti-henti.
Sang raja pun langsung duduk, dan mendekapnya di dada. Kening dominan itu berkerut dalam, karena memikirkan apa yang baru terjadi.
"Natta, hei ... shhh, tenang dulu takkan kulanjutkan. Nattarylie ...."
Apo benar-benar ingin meninju seseorang yang mau dia remukkan. Lelaki carrier itu tahu betul dia jatuh cinta, tapi tubuhnya cemas dan marah. Konsep menjadi submissive rupanya masih belum diterima otak rasionalnya. Jangan lupakan 42 tahun sudah dia hidup dengan membayangkan menjadi suami yang diandalkan.
"Hiks, hiks ... hiks ... ugh, saya mau pulang saja. Pulang ...." rajuknya sambil meremas bisep sang raja. "Cepaaat ... pulaaang ... hiks, hiks ... antar saya pulang, Yang Mulia. Sekaraaang ... hiks ... mmhh, hiks ... saya tidak mau tahu, hiks ... capek ... ingin pulang ...."
"Iya, ssshh ... habis ini kita pulang ya. Cup dulu, Natta. Sudah hei jangan menangis begini. Shhh ...."
Lupa diri, Apo tetap menangis hingga puas demi menuntaskan ketakutannya. Setelah yakin takkan disentuh lagi dia baru diam anteng.
Sang Raja pun geleng-geleng tidak habis pikir. Dia menggendong Apo ke kereta dan memangkunya sepanjang jalan hingg tib di kediaman Livingstone.
"Nattarylie? Sayang?" kaget Phillip, yang kebetulan baru pulang kerja. Dia disambut sang istri di depan pintu. Matanya nyaris melompat melihat penampilan kedua oknum sama-sama kotor lumpur sungai.
"Bayi? Lho--eh, Yang Mulia?"
Pasangan itu buru-buru mengambil postur hormat santun. Koper Phillip bahkan diletakkan di lantai begitu saja. Mata-mata penuh penasaran itu ditahan kuat karena sang raja nyaris tak pernah berantakan. Habis diapakan dia oleh si bayi yang nakal?
"Maaf, Natta menangis. Tadi kami main di sungai dan menangkap banyak kunang-kunang," kata Raja Millerius apa adanya. Dilihat dari mana pun memang begitu kelihatannya. Apalagi lantai teras ikut kotor karena sepatu mewah sang raja dipakai naik. Philip pun menerima bayinya sigap, begitu diulurkan perlahan. Apo ganti fokus, mendusel ke ayahnya, dari yang tadinya di dada Raja Millerius. "Semoga takkan terulang lagi kedepannya. Aku sungguh minta maaf dan undur diri karena waktu makin larut. Selamat malam."
"Selamat malam, Yang Mulia."
"Selamat malam, Yang Mulia."
"Permisi."
Tidak ada percakapan lain yang menyusul, sebab memang begitu tindak-tanduk kepada raja yang seharusnya dipakai. Jika tak ditanya, harus diam, kecuali terbiasa bertugas di sebelahnya. Jika ada suatu hal, harus menunggu dijelaskan dan tidak bertanya pertama kali.
Phillip dan Phelipe saling pandang dengan isi pikiran yang sama. Mereka kompak menginterogasi Apo setelah si bayi mandi dan menggulung diri dalam selimut.
"Natta, shhh. Natta, Ayah tahu kau belum tidur jam segini. Baru jam 10 loh. Bangun dulu," kata Phillip sambil menepuki lengan Apo. "Ayah mau ngobrol sama kamu. Sayang ...."
"Bayiiiiiii," panggil Phelipe di dekat kepala Apo. "Ayo dong ah. Curhat dulu sama Ibu. Tadi ada apa sama Yang Mulia? Bagi-bagi rahasia yuk, siapa tahu Ibu bisa memberi solusi, hm?"
Apo keukeuh diam saja. Dia hanya bergerak-gerak jika tubuhnya agak diguncang. Butuh 15 menit percobaan hingga si manis menyerah. Mukanya bengkak nan pucat lesu kala membuka selimut.
"Bu ...."
"Iya?"
Phillip pun memperhatikan, sementara Phelipe mengusap-usap rambut si manis.
"Kalau Yang Mulia suka Natta, itu wajar tidak sih?" tanya Apo, tanpa berani menatap balik.
Bajingan, kenapa aku dramatis sekali?
Lelaki carrier itu meremas piama hitamnya yang halus. Jujur memang ngeri kalau ingat ada yang menyedot putingnya sebrutal itu.
Haruskah soal "awikwok" kubahas sama orangtua? BEDEBAH!
"Eh? Memang iya?"
"Umn."
Apo mengangguk setengah hati.
"Terus Yang Mulia bilang apa sih, kalau boleh Ibu tahu? Benar-benar cinta sama kamu?"
ANYING!
GELI BANGET!
BISA TIDAK SIH KOSA KATANYA DIGANTI?
CINTA-CINTA TAI KUCING RASA COKELAT!
"Ya itulah, anu ...." gumam Apo. "Pokoknya beliau ingin Natta jadi ratu di Istana Pusat. Kalau sampai orang lain bisa-bisa beliau sedih," jelasnya. "T-Terus kan ... umm, kami sempat berciuman?"
"Apa?"
"Heh?"
Apo merona hebat mendengar orangtuanya kompak terbengong. "Leherku digigit-gigit sakit sekali, itu." Dia baru berani menunjukkan bekas kissmark yang ditutupi pose miring kiri. "Dadaku juga, Bu. Berdarah," katanya, sambil melirik Phillip yang tegang. "Terus Natta nangis, soalnya aku kan punya titid juga di bawah. Kok--harus beliau sih yang nyerang, ugh ... aku ingin jadi suaminya."
Perut Phillip pun seketika geli, namun lelaki itu segera membuang muka -sok- datarnya.
".... aih, serius Yah. Natta mau jadi suaminya. Yang suamiiiiiiii," tegas Apo. Dia pun menjambak baju Phillip uring-uringan. Tersinggung sekali curhat serius malah dianggap lelucon. "Natta punya titid, loh. Titid besar! Itu rahimnya bisa tidak sih dipindah saja? Biar Yang Mulia yang hamil bayiku. Natta tidak mau menjadi istrinya. HARUS SUAMI!"
Phillip pun meledak tak tahan lagi. Untuk pertama kalinya malam itu dia tertawa terbahak-bahak di depan sang buah hati.